“Kamu yakin dengan keputusanmu, Nin?”
Bang Reza menatapku lurus-lurus setelah kuungkapkan hasil keputusan hasil seminggu penuh berpikir dan berdoa meminta keputusan terbaik dari Yang Mahatahu. Akhirnya hari ini dengan keyakinan penuh aku berani mengambil keputusan yang berpengaruh bagi hidupku.
Aku mengangguk mantap menjawab pertanyaan Bang Reza.
“Udah sholah istikharah belum? Jangan main-main loh ya… Abang, Ibu, dan Ayah akan mendukung apapun keputusanmu.” Bang Reza memperingatkan.
Mendengar nadanya yang meragukanku, aku jadi berdecak kesal. “Iya, Anin serius Abang!”
“Sebelum kalian lanjut ke tahap selanjutnya, kamu apa gak mau ngobrol langsung sama dia?” tawarnya.
“Boleh, ya?”
“Ya, boleh aja selama ada mahramnya. Namanya juga ta’aruf. Nanti ayah aja yang nemenin kamu. Abang yang nyuruh dia main ke rumah.”
Kubenarkan posisi dudukku agar dapat menatap wajah Bang Reza. “Abang beneran rela kalau Anin nikah sama dia?”
Ia mengangguk tanpa ragu. “Dari semua temen Abang cuma dia yang Abang kasih SIM sama kamu.”
“SIM apaan, Bang?”
“Surat Izin Menikah.”
Aku memutar bola mataku, jengah dengan selera humornya yang terkadang basi. “Anin mah gak butuh SIM dari Abang. Masa iya yang ngasih SIM ternyata belum nikah? Ck!”
Tangan Bang Reza mendorong lenganku menjauh darinya. Aku berusaha menepisnya namun gagal. Tenaga lelaki memang lebih besar. “Eh, kalau kamu nungguin Abang nikah duluan kamu bakal jadi perawan tua.”
Aku terlonjak sambil menyilangkan tangan dan mengibas-ngibaskannya. Setiap wanita normal gak ada yang mau jadi perawan tua. “Astaghfirullah! Na’udubillahimindzalik, Abang! Ngomongnya yang baik-baik dong!” tegurku.
“Jangan banyak bacot makanya.” Bang Reza mengucapkannya dengan nada datar dan pandangan tidak beralih dari televisi yang ia tonton. Siapa yang kelak bisa menaklukkan pria satu ini? Semoga istrinya kelak punya kesabaran maksimal untuk menghadapinya.
Terdengar bunyi geseran gerbang pagar disusul dengan pintu ruang tamu yang terbuka. Ibu masuk ke dalam rumah setelah mengikuti senam pagi yang diadakan setiap hari Minggu di taman komplek.
“Apa sih ini anak Ibu udah pada ramai pagi-pagi begini?” tanya Ibu setelah mengucap salam. Sudah bukan rahasia lagi kalau suaraku dengan Abang sangat sering menghiasi rumah bahkan terkadang terdengar hingga luar pintu.
“Si Anin udah mau terima ajakannya Hamas, Bu!” Bang Reza mengadu kepada Ibu yang berjalan menghampiri kami. Langkahnya langsung terhenti mendengar penuturan Bang Reza. Mungkin kaget karena setelah kedatangan Hamas ke rumah seminggu lalu, kami tak pernah sekalipun membahasnya.
“Serius, Nin?” Ayah yang baru datang langsung menyahut.
“Ayah sama Ibu udah sholat istikharah buat Anin, belum?”
“Nah… kamu ambil keputusan itu memangnya belum istikharah?” tanya Ibu. Ia mengambil posisi untuk duduk di sampingku.
“Sudah, tapi tetep aja masih ada rasa ragu-ragu.”
“Ya sudah, dijalani saja. Nanti kalau dalam prosesnya diberi kemudahan sama Allah berarti ya kalian berjodoh,” ucap Ayah sambil berjalan ke meja makan untuk mengambil segelas air.
“Gitu ya, Yah?”
“Iya… udah gak usah dipikirin terus. Nanti kamu stres kaya waktu sidang TA tahun lalu,” Ibu menambahkan.
“Aduh, Bu! Jangan diingetin lagi, ih!” Aku memberengut kesal.
Aku malu kalau diingatkan lagi bagaimana stresnya aku seminggu sebelum sidang tugas akhir. Aku tidak nafsu makan, isomnia, dan gejala stres lainnya. Tepat di hari aku telah dijadwalkan sidang TA, aku dilarikan ke UGD akibat dehidrasi karena diare juga kekukarangan asupan makanan dan mineral. Akhirnya jadwal sidangku tertunda dan kabar masuknya aku ke UGD menjadi headline gosip di jurusan. Benar-benar memalukan!
“Suruh Hamas makan malam di rumah hari ini, Za!”
Aku langsung menoleh cepat ke arah Ayah yang mengusulkan ide gila itu. Orang-orang di keluarga ini memang sangat luar biasa! Antusiasime dan penghargaan terhadap waktunya harus diacungi jempol.
“Harus malam ini banget, Yah?” protesku.
“Iya, lah. Ayah gak mau kita nunda-nunda niat baik. Mumpung kamu belum plin-plan,” ucapnya enteng. Aku melihat ekspresi Bang Reza dan Ibu yang menahan tawanya.
“Ya Allah… ” Aku hanya bisa beristighfar berkali-kali dalam hati. Betapa cobaan sebagai anak bungsu yang rawan menjadi korban bully sangatlah menguras emosi.
Malam harinya Kak Hamas benar-benar datang ke rumah. Ibu sudah memasak masakan yang disajikan untuk makan malam. Aku membantu juga sih sebenarnya, membantu mengacaukan. Entah efek grogi atau kurang fokus, apapun yang kukerjakan di dapur bukannya membuatnya cepat selesai malahan membuatnya kacau. Akhirnya Ibu mengusirku dari dapur ketika melihat potensiku memorak-porandakan dapur sangatlah besar.
Satu meja makan dengan Kak Hamas sukses membuat nafsu makanku hilang akibat jantungku tak mau berdetak dengan normal. Makan yang seharusnya nikmat menjadi menegangkan. Padahal semua orang kecuali aku tampak menikmati hidangan bahkan melemparkan gurauan untuk membangun suasana kondusif.
Aku sempat memergoki Kak Hamas yang mencuri pandang ke arahku, begitu pula sebaliknya. Akhirnya kami sama-sama menunduk karena malu. Bodoh sekali, bukan? Aku pun geli sendiri melihat tingkah konyolku.
Setelah makan malam usai, aku, Kak Hamas, dan Ayah duduk di ruang tamu. Sedangkan Ibu dan Bang Reza berada di dalam, beralasan membersihkan meja makan. Padahal itu hanyalah skenario yang disusun supaya aku dan Hamas dapat saling mengenal tanpa teralihkan fokusnya dengan hal-hal lain.
“Jadi begini lho, Nak Hamas. Anin sudah mengambil keputusan mengenai tawaranmu.” Ayah mulai membuka percakapan mengenai tujuan utama undangan makan malam yang baru saja terlaksana.
Ayah mengendikkan dagunya ke arahku bermaksud melempar kode. “Kamu yang bilang sendiri atau Ayah, Nin?”
Aku mengarahkan jempolku ke arah Ayah, mempersilahkan beliau untuk berbicara.
Ayah berdeham untuk mengusir suasana canggung yang ada di ruangan. “Jadi… Anin bersedia untuk melangkah ke jenjang selanjutnya dengan Kak Hamas. Sebelum khitbah, Ayah mau kalian saling mengenal terutama mengenai pandangan tentang pernikahan.
“Pernikahan itu gak gampang. Hidup dengan pasangan sampai maut menjemput itu tidak semudah dan seindah yang ada di bayangan kalian. Akan lebih mudah jika kalian satu pandangan atau satu visi dalam membangun pernikahan,” jelasnya.
Kemudian obrolan mengalir begitu saja. Ternyata Kak Hamas bukanlah orang yang kikuk. Ia dapat mencairkan suasana canggung menjadi lebih hangat. Beberapa kali kami bertukar pertanyaan dan pendapat. Ayah hanya menimpali sesekali.
Aku menyukai caranya menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Mimik wajah dan intonasi suaranya membuatku terhipnotis sesaat dan mendengarkan secara sungguh-sungguh. Seperti ketika aku bertanya mengenai hal yang selama ini ada di kepalaku.
Mengapa aku? Mengapa ia memilihku untuk menjadi istrinya padahal di luar sana banyak wanita yang lebih di bidang apapun daripada aku si payah?
“Karena aku percaya bahwa kamu yang dapat mendampingiku, menjadi ibu dari anak-anakku. Aku percaya dengan didikan dan pembinaan yang diberikan Ayah, Ibu dan Abangmu.” Dia menjawab dengan lugas dengan tatapan yang tak lepas sedetik pun dariku.
Aku menjadi semakin yakin dengan hasil sholat istikharah yang kulakukan. Meskipun aku tidak bermimpi apapun, namun tiga hari berturut-turut setelah aku menjalankan sholat istikharah, pagi harinya aku terbangun dengan perasaan bahagia. Padahal aku tidak mengingat mimpi yang membuatku terbangun dengan mood baik seperti itu.
Haruskah aku melanjutkan proses ini? Jawabanku adalah YA!
-T B C-
Pasuruan, 16 Juli 2018
Pake proposal donggg.... :""""
Comment on chapter [1] Todongan Keluarga