Waktu berjalan bergitu cepat. Panti asuhan ini menjadi tempat yang semakin sepi. Sudah banyak anak-anak yang diadopsi oleh orang tua baru mereka, bahkan bimo anak yang sering menjahilikupun sekarang sudah hidup bahagia bersama orang tua angkatnya.
Sekarang hanya tinggallah aku, Bunda dan 3 anak lainnya. Mereka adalah Cici, Tono, dan Fresla. Mereka adalah anak yang mempunyai kekurangan fisik sama sepertiku.
Cici dia anak yang cantik dan imut juga ceria, namun sayangnya ia tunawicara. Tono anak yang sangat periang dan percaya diri, sementara Fresla dia anak yang sangat pemalu dan juga pendiam, dia memikiki kekurangan yang sama sepertiku. Ia cacat, salah satu kakinya tidak bisa digerakkan. Namun kami memiliki perbedaan, aku bahkan baru mengetahuinya setelah kami memeriksakan diri ke dokter beberapa waktu yang lalu. Kakiku masih bisa disembuhkan, hal itu membuatku begitu bahagia, masih ada harapan untukku tumbuh normal seperti anak lainnya. Namun tidak begitu dengan Fresla, kakinya tak dapat kembali normal. Akupun menjadi sedih karenanya.
Suasana di taman panti asuhan ini menjadi begitu tenang dan damai. Tapi ada suatu kehampaan yang menerpa jiwaku. Tak ada lagi anak-anak yang berlarian dan bermain. Walau aku sedikit bersyukur tidak ada lagi anak-anak usil yang mengambil tongkatku dan menertawakanku ketika aku terjatuh.
Sekarang hanya kami berempat anak-anak di panti asuhan ini. Kami bermain bersama setiap hari. Berangkat sekolah bersama - sama. Bunda menyekolahkan kami , karena mungkin Bunda tahu, tidak ada orang tua yang mau mengangkat kami sebagai anak. Mereka selalu mencari kesempurnaan dalam sebuah bayangan, tanpa ingin tahu siapa sosok sebenarnya dibalik bayangan itu.
Mereka bertiga adalah teman-teman terbaikku. Kami selalu bersama saat suka dan duka. Sedih maupun bahagia. Kami saling memiliki. Karena kami sama sama dikucilkan di lingkungan sekolah ini. Kami sama-sama tidak tahu latar belakang kehidupan kami saat kami dilahirkan. Tapi berkat semua kesamaan di dalam kekurangan itu membuat persaudaraan kami menjadi lebih erat. Sebenarnya Cici, Tono, dan Fresla adalah anak-anak yang begitu baik. Mereka rajin, ceria, Suka menolong dan tidak sombong pula, yah...mungkin kecuali Tono.
"Bangun...bangun Serena ayo kita sarapan." Suara Tono membangunkanku.
"Oh ... ayo" Akupun bangun mengambil tongkatku dan menuju ke meja makan untuk sarapan.
Disana sudah menunggu Bunda dan ketiga temanku. " Rey...ayo cepat sini. Kita sarapan bersama." Ucap Bunda sambil menyiapkan piring.
"Rasanya sepi sekali ya ... rasanya ada yang kurang. Biasanya kita sarapan disini bersama sama dengan yang lain." ucap Tono sambil menghela nafas panjang.
Cicipun mengangguk angguk tanda setuju sambil terus mengunyah makanan yang sudah penuh di mulutnya.
"Bunda, apa tak ada satupun orang yang ingin mengadopsi kami. Apa karena kami memiliki kekurangan fisik." tanya Fresla tiba-tiba mengejutkan Bunda.
Semua orang menghentikan aktivitasnya. Bundapun menimpali, "Sayang ... mungkin saja mereka belum siap mengadopsi anak. Jadi jangan merendahkan dirimu sendiri."
Aku hanya terdiam. Aku tenggelam dalam lamunanku sendiri. Fakta aku mempunyai keluarga walau entah dimana, cukup membuatku bahagia. Bahwa suatu saat aku bisa bertemu keluargaku dan punya tempat tujuan untuk pulang, aku bukan anak sebatang kara. Aku pasti sebenarnya punya keluarga. Tapi kenyataan pahit bahwa mereka membuangku didepan panti asuhan tak bisa kutampik.
Akankah mereka menerimaku apa adanya? Akankah mereka mengusirku jikalau aku kembali suatu saat nanti saat aku besar? Pertanyaan pertanyaan itu terus berputar-putar dikepalaku. Bunda yang menyadari kegundahan hatikupun bertanya.
"Rey...kamu kenapa. Ada yang sedang kau pikirkan ???" tanyanya.
"Oh ... tidak Bunda." Bantahku. Tapi aku tahu Bunda pasti tahu apa yang sedang kupikirkan.
Setelah selesai sarapan kami membereskan meja makan dan akupun menuju kamarku. Tiba tiba, "Tok ... tok tok." Terdengar suara pintu diketuk. "Iya Bunda " Akupun membuka pintu.
"Rey..." Bunda pun masuk dan tersenyum. Bunda punya sesuatu untukmu. Bunda memberikan sebuah foto bayi padaku. Tampak di gambar itu ada 2 bayi serupa yang tertidur pulas. " Siapa ini Bunda, apakah ini aku ??? Lalu siapa bayi satunya. Apakah aku punya kembaran Bunda??" tanyaku pada Bunda dengan antusias.
"Bundapun tak tahu Rey. Bunda menemukan ini dalam keranjang bayimu bersama dengan leontin ini"
*flashback
Di dalam kamar persalinan itu semua orang sedang ribut. Mereka harus berpikir bagaimana cara membuang bayi itu tanpa diketahui media. Adik dari sang wanita yang baru saja dikaruniai anak kembar yang sedari tadi terdiampun akhirnya mengangkat suara.
"Kak ... apa kau tidak kasihan pada anak yang baru saja lahir ini. Walau dia cacat dia tetap anakmu. Apa kau tega membuangnya???" tanyanya.
"Bima Hardiman, kau diam saja. Jangan memperkeruh masalah." Bentak sang kakak ipar.
" Bukan begitu kak. Aku tidak ingin memperkeruh masalah. Daripada membuang bayi yang tak berdosa ini lebih baik kita rawat dan jika kakak malu kita sembunyikan dia di vila kakak yang berada di bandung saja. " ucapnya
" Lalu bagaimana jika orang lain tahu dan menyebarkannya ke media. Bisa hancur reputasiku." Bantah sang kakek.
Karena tak bisa membantah lagi. Sang adik yang bernama bima pun mengalah. Ia hanya bisa memberikan leontin peninggalan keluarga adiwinata secara turun temurun miliknya pada bayi malang yang ingin dibuang kakaknya itu, secara diam-diam. Ia juga menyempatkan diri untuk memfoto kedua bayi itu dan mencetaknya. Ia kemudian menaruhnya di keranjang bayi itu sebelum dibuang.
Bayi itu diserahkan pada pak tarman sang supir dan dibawa entah kemana.
*flashback end
Seperti biasa setelah pulang sekolah aku bermain bersama teman temanku. Membantu Bunda dan melakukan banyak hal lain. Hal ini cukup membuatku lupa akan masalahku. Setidaknya aku cukup bersyukur bahwa aku sudah tahu sedikit tentang masa kecilku dibandingkan dengan teman-temanku yang sama sekali tidak tahu siapa orang tua mereka.
Waktu terus berjalan dengan cepat. Setiap hari aku berlatih berjalan tanpa menggunakan tongkat dibantu Bunda dan teman-teman. Biasanya aku belatih di sore hari karena aku sangat menyukai suasana tenang pada sore hari.
Semakin hari kami semakin besar. Sampai akhirnya 3 tahun berlalu. Kami semua lulus dengan nilai yang baik menjadi anak-anak kebanggaan Bunda.
Kami berempat berhasil mendapatkan beasiswa di salah satu smp swasta terbaik di Jakarta. SMP Harapan Bangsa. Smp yang cukup digemari banyak siswa. Kami berhasil masuk ke sekolah itu karena kami memiliki nilai yang cukup bagus dan kami mendapatkan beasiswa dari salah satu donatur panti asuhan kami.
Saat itu kami begitu kegirangan karena bisa bersekolah di tempat yang elit, tanpa kami tahu rintangan apa yang menunggu kami.
" Bunda...Bunda, bajuku bagaimana ??" tanya Tono.
" Sudah bagus sayang. Yang penting kita berpakaian rapi dan sopan. " Kata Bunda.
Cicipun mengangguk anguk tanda setuju sambil membereskan semua perlengkapan sekolah. Malam ini kami sangat sibuk berbenah. Karena besok adalah hari pertama kami bersekolah.
" Fresla kenapa kamu melamun." tanya Bunda karena Fresla tidak begitu terlihat bahagia seperti kami.
"Bunda. Aku fikir kami sebaiknya bersekolah di tempat biasa saja. Sekolah itu sekolah Elit Bunda. Tempat orang orang kaya. Sementara kami hanya tinggal di panti asuhan. Di SD yang ada di pinggiran kota saja. Tidak ada yang mau berteman dengan kita. Apalagi di sekolah anak-anak orang kaya." ucap Fresla merendahkan diri.
" Fresla. Kamu tidak boleh begitu. Tidak semua orang kaya itu jahat dan tidak semua orang miskin itu baik. Kamu tidak bisa memandang orang berdasarkan hartanya sayang. Kalian harusnya bersyukur bisa masuk sekolah yang bagus dapat beasiswa pula. Sementara diluar sana banyak sekali orang yang ingin bersekolah tapi tidak bisa. " ucap Bunda menasehati.
" Iya Fresla. Aku sangat senang bisa bersekolah disana." kata Tono bersemangat.
" Iya aku juga" sambungku.
" Baik anak-anak jika kalian sudah selesai berbenah mari kita tidur."
" Baik Bunda" Sahut kami bertiga dan disusul dengan anggukan Cici.
Kamipun segera menuju ke kamar dan tidur. Karena besok kami tidak boleh terlambat.
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG