Loading...
Logo TinLit
Read Story - When You're Here
MENU
About Us  

Bunyi lonceng terdengar dengan jelas ketika pintu kafe dibuka. Suasana yang tidak pernah berubah dari hari ke hari. Aroma roti yang selalu membuat napsu makan tergugah, ditambah wangi aroma terapi lavender yang membuat siapa pun akan nyaman berlama-lama di dalam tempat tersebut.

Gamaliel sengaja memilih meja dekat jendela yang mengarah ke bagian belakang halaman. Dapat terlihat bahwa taman berukuran kecil itu begitu indah, dihiasi dengan berbagai jenis bunga dan beberapa mainan anak-anak. Tempat itu memang sengaja diperuntukkan bagi para orang tua yang membawa anaknya.

Senyumnya terukir usai memesan dua buah sandwich dan milkshake cokelat. Sementara, Allona masih diam saja.

“Allona, jadi aku mau minta bantuan kamu untuk mendokumentasikan kegiatan olimpiade, seperti yang kubilang tadi,” ujar Gamaliel.

“Eh?” Gadis itu tersadar dari lamunannya. “Iya, Kak. Boleh? Jadi ada yang harus kusiapin sebelumnya?”

“Siapkan diri, kamera, dan waktu aja.” Gamaliel tertawa kecil. “Sebenarnya aku mau lihat hasil jepretanmu juga sih.”

Allona dengan cepat merogoh ponsel di dalam tasnya. “Bisa, Kak. Banyak foto-foto dari kamera yang udah aku pindah ke handphone. Sebentar ya.”

Tangan seseorang yang duduk di hadapannya tiba-tiba menurunkan benda persegi panjang yang menyita perhatian Allona. Kini bukan lagi potret-potret pemandangan yang dilihatnya, melainkan wajah lelaki yang berapa lama ini membuat Allona tersenyum tiap kali membayangkannya.

“Lihat langsung.” Fokus Gamaliel sempat terusik ketika pelayan datang membawakan pesanannya, tapi ia masih melanjutkan kalimatnya yang belum tuntas. “Kita hunting foto, gimana? Ada banyak tempat bagus di Bogor.”

Hunting foto? Berdua? Pendengaranku masih normal, ‘kan?

Alih-alih heran mendengar ajakan Gamaliel yang entah benar tidaknya, Allona mengambil sepotong sandwich berisi daging asap kemudian melahapnya. Sadar akan makanan yang sudah tersaji di hadapannya, Gamaliel pun mengangguk dan menepuk dahinya.

“Kamu lapar? Makan dulu deh. Selamat makan ya.” Gamaliel mengangkat gelas di depannya kemudian menyedot milkshake-nya terlebih dahulu sebelum mulai makan.

Makan bisa membuat semua orang diam, termasuk orang bawel sekalipun. Pernyataan itu benar. Suasana di antara keduanya diam, bahkan lebih terlihat canggung. Gamaliel memang tidak suka banyak berbicara kalau itu bukan waktu yang tepat. Allona? Jika berkumpul dengan Jefri dan Clara, pasti sudah habis berapa topik pembicaraan olehnya. Namun, kali ini ia diam karena kikuk dengan keadaan yang menjebaknya bersama Gamaliel.

Apa yang sempat dibayangkannya ternyata berbeda dengan kenyataan. Kali ini Allona tidak ingin membuat waktu berhenti. Ia lebih memilih untuk mempercepat waktu supaya pertemuannya dengan Gamaliel dan segala kecangungan itu segera berakhir.

Setengah jam cukup bagi Allona untuk berdiam diri dan menghabiskan seluruh santapannya. Ia melirik jam tangannya. Pukul tiga sore. Ia bahkan lupa mengabari bundanya kalau akan pulang terlambat.

“Kak Gamal, kayaknya aku harus pulang. Udah sore, takut dicari sama Bunda.”

“Tapi hunting fotonya jadi ya? Besok libur dan kurasa itu waktu yang pas. Aku jemput ke rumahmu, kirimkan aja alamat rumahmu ya.”

Padahal aku udah mau pulang dan menghindari pembicaraan ini. “Iya, Kak. Nanti aku SMS.” Allona bangkit dari kursi dan hendak pergi dari sana.

“Tunggu,” ujar Gamaliel, menghentikan gerakan Allona, “kamu mau ke mana? Aku yang bawa kamu ke sini, aku juga yang antar kamu pulang. Tadi Mose juga udah nitip ke aku.”

Mose lagi. Ck.

“Tapi aku ngga langsung ke rumah, Kak, harus balik ke sekolah dulu. Ada yang ketinggalan di kelas.”

“Kalau gitu, bareng aja. Aku juga mau menjemput Vanya di sekolah.”

Maksud hati ingin menghindar, tapi Gamaliel sama sekali tak mengizinkannya. Keduanya pergi dari kafe setelah lelaki itu membayar pesanannya di kasir.

 

***

 

Motor matic berwarna hitam sudah terparkir di parkiran motor SMA Cendrawasih Bogor. Allona turun dari motor dan bergegas pamit untuk pergi lebih dulu. Setelah ia meminta kakaknya untuk menjemputnya di sekolah, Allona harus buru-buru ke kelasnya untuk mengambil barang yang tertinggal.

“Kak Gamal, aku duluan ya. Harus cepat-cepat. Terima kasih banyak traktirannya.” Allona menunduk kemudian tersenyum dan berlari meninggalkan Gamaliel.

Kelas Allona terletak cukup jauh dari gerbang sekolah, terlebih ia juga harus menaiki tangga karena kelasnya yang terletak di lantai dua. Sepanjang perjalanan, gadis itu hanya memarahi dirinya sendiri yang bahkan tak mengerti bagaimana caranya memanfaatkan keadaan.

Harusnya ia senang akan kemajuan yang diperolehnya, bukan? Baginya, mengagumi dari jauh malah lebih enak. Lebih nyaman, lebih leluasa.

“Jangan berpikir kejauhan Allona. Baru pertama kali ngobrol berdua. Wajar. Oke.” Allona menenangkan dirinya. “Sekarang waktunya ambil tempat pensilmu dan langsung pulang.”

Mata Allona mendapati pintu kelasnya yang masih terbuka. Ia segera mempercepat langkah kakinya. Kotak pensil berbahan kain itu sudah berada di tangannya dan berpindah ke dalam ransel ungu miliknya.

“Na, aku udah di depan,” kata Allona sambil membaca pesan yang baru saja diterimanya dari kontak bernama Kak Sarah. “Eh? Kak Sarah cepat juga sampainya.”

Kakinya berlari menuruni anak tangga. Matanya sudah menangkap perawakan Sarah di depan gerbang sekolah, tapi ada satu lagi yang berhasil mencuri perhatian Allona. Gamaliel masih berada di tempat parkir. Namun, ia tidak sendiri. Tentu kali ini bersama kekasihnya, Vanya, yang baru selesai mengikuti pelajaran tambahan.

Layaknya seorang mata-mata, Allona justru memilih untuk bersembunyi di balik pohon ketimbang menghampiri Sarah yang sudah menunggunya. Jaraknya yang cukup jauh membuat Allona tidak mampu mendengar percakapan mereka.

Berdasarkan yang dilihatnya, Gamaliel hanya menyodorkan segelas plastik milkshake stroberi yang dibelinya saat bersama Allona di kafe tadi. Raut wajah bahagia juga terlihat dari muka Vanya. Bahagia yang begitu sederhana. Dan lagi, pemandangan Vanya bermanja-manja dengan Gamaliel tak pernah ada habisnya. Sampai geli sendiri Allona kalau melihat adegan itu.

Sesekali Gamaliel mengusap lembut rambut Vanya ketika gadis itu sedang menikmati minumannya. Allona tahu dirinya tak bisa berbuat apa-apa, selain menonton adegan manis keduanya. Ia pun berjalan menuju gerbang dengan tangan yang menutupi kepalanya. Berharap Gamaliel atau Vanya tak melihatnya.

“Kamu lama deh, Na.” Sarah mengeluh dari atas jok motornya. “Ayo pulang, dari tadi Bunda nanyain kamu terus. Makanya kalau pulang telat itu, kasih kabar dong.”

“Iya, lupa, Kak. Maaf ya, kakakku yang cantik,” rayu Allona sambil mengambil helm yang tersampir di kaca spion.

“Giliran kayak gini, baru merayu. Huh!”

“Kalo Kak Sarah ngedumel terus, nanti makin lama pulangnya loh. Aku udah naik ke atas motor loh ini.”

Sarah berdecak kemudian menyalakan mesin motornya. Sekolah dan rumahnya tak begitu jauh. Dalam waktu lima belas menit, motor itu sampai di depan rumah tingkat dua berwarna putih. Dilihatnya dari atas motor, bundanya sedang menyirami tanaman yang ada di halaman rumah.

Allona segera turun dan berlari menghampiri bundanya, tak peduli meski Sarah berulang kali memanggil namanya untuk membantu memasukkan motor ke dalam garasi.

“Bunda!” panggil Allona sambil memeluk dari belakang.

Bahu Bunda sempat naik karena terkejut dengan keberadaan Allona. Namun, ia segera meletakkan selang air itu di atas rumput kemudian berbalik untuk melihat anak gadisnya. Allona mencium tangan Bunda dan kedua pipinya. Memang begitu rutinitas yang Allona lakukan sebelum atau sesudah bepergian.

“Maaf, Bun. Allona lupa kasih kabar kalau pulang telat.”

“Ya sudah, tidak apa-apa. Yang penting sekarang kamu sudah pulang.” Jemari Bunda mendarat ke kedua sudut bibir Allona. Menariknya ke atas supaya wajah Allona tidak lagi terlihat sedih karena merasa bersalah.

“Bunda sudah buatkan kamu makanan. Makan dulu di dalam sama Kak Sarah ya, nanti Bunda menyusul.”

“Siap! Makasih, Bunda.”

Masakan Bunda emang moodbooster banget! Kakinya berlari kecil sambil bersenandung melewati Sarah yang baru selesai memarkirkan motornya di garasi. Allona merangkul Sarah untuk ikut masuk ke rumah bersamanya. Ekspresi kebingungan Sarah berhasil ditangkap oleh Bunda, tapi wanita itu hanya menggeleng sambil tersenyum. Hal yang membuat Sarah semakin bingung dan pasrah mengikuti gerakan kaki adiknya.

Keduanya sampai di meja makan. Dibukanya tudung saji yang menyembunyikan berbagai jenis masakan enak di bawahnya. Sayur bayam, ayam goreng, serta satu teko berisi teh manis sudah tersaji di atas meja. Menu kesukaan Allona.

Tanpa pikir panjang, ia langsung meraih piring dan mengambil nasi juga lauknya. Sarah pun ikut menarik sebuah kursi di sampingnya. Gadis itu hanya menggeleng melihat kelakuan adiknya.

“Anak cewek itu kalau pulang sekolah ya bebersih badan dulu. Mandi kek, ganti baju kek. Ini malah langsung makan aja,” ledek Sarah sembari mengambil makanan yang ada di hadapannya.

“Biarin. Bunda juga nyuruh aku makan dulu kok,” balas Allona sambil menjulurkan lidahnya. “Kak, aku mau nanya dong.”

“Nanya apa? Aku jawab, tapi jangan aneh-aneh.”

“Pertama kali Kak Sarah sama Kak Jodi jadian ....” Allona memutus kalimatnya di pertengahan. Wajahnya memerah dan hal itu juga terlanjur disadari oleh Sarah sejak Allona menyebut namanya. “Gimana?”

“Hah?” Sarah tersedak mendengar kalimat lanjutan dari Allona. Sebelumnya ia menantikan apa yang hendak ditanya oleh Allona sampai-sampai berhenti mengunyah makanannya terlebih dulu. Namun, pertanyaan itu justru membuatnya tertegun.

“Kamu naksir cowok?” tanya Sarah terang-terangan.

Allona menggeleng. Namun, sorot matanya tidak dapat berbohong. Begitu pula dengan semu merah yang menyambar di wajahnya.

“Bun! Bunda! Allona lagi suka sama cowok!” Bukannya diam, Sarah justru iseng meledek Allona yang sedang kasmaran dengan mengadukannya pada Bunda.

Mendengar itu, Allona yang tadinya menunduk pun mau tak mau menoleh ke arah Sarah. Ia memukul-mukul lengan kakaknya supaya Sarah mau tutup mulut.

“Ngga, Bun. Ngga usah dengar ucapannya Kak Sarah!” teriak Allona tak kalah kencang.

“Tapi benar, ‘kan?” Sarah menaik-turunkan kedua alisnya. Senyumnya meledek Allona. Kali ini, suaranya lebih pelan.

“Habiskan makananmu dulu. Kita bahas ini di kamar. Rahasia perempuan,” ucap Sarah sambil menyenggol bahu Allona.

Malunya bukan kepalang. Allona menunduk sepanjang ia makan. Sudah terlanjur terucap, mau bagaimana lagi? Lagi pula kalau bukan Sarah, dari siapa lagi ia bisa belajar memahami cinta?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Aria's Faraway Neverland
3824      1258     4     
Fantasy
"Manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri." Aria adalah gadis penyendiri berumur 7 tahun. Dia selalu percaya bahwa dia telah dikutuk dengan kutukan ketidakbahagiaan, karena dia merasa tidak bahagia sama sekali selama 7 tahun ini. Dia tinggal bersama kedua orangtua tirinya dan kakak kandungnya. Namun, dia hanya menyayangi kakak kandungnya saja. Aria selalu menjaga kakaknya karen...
Happy Death Day
609      346     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
A promise
569      365     1     
Short Story
Sara dan Lindu bersahabat. Sara sayang Raka. Lindu juga sayang Raka. Lindu pergi selamanya. Hati Sara porak poranda.
When Home Become You
440      331     1     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
Bifurkasi Rasa
152      130     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
The Ruling Class 1.0%
1442      606     2     
Fantasy
In the year 2245, the elite and powerful have long been using genetic engineering to design their babies, creating descendants that are smarter, better looking, and stronger. The result is a gap between the rich and the poor that is so wide, it is beyond repair. But when a spy from the poor community infiltrate the 1.0% society, will the rich and powerful watch as their kingdom fall to the people?
Batas Sunyi
2107      958     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Putaran Waktu
1001      626     6     
Horror
Saga adalah ketua panitia "MAKRAB", sedangkan Uniq merupakan mahasiswa baru di Universitas Ganesha. Saat jam menunjuk angka 23.59 malam, secara tiba-tiba keduanya melintasi ruang dan waktu ke tahun 2023. Peristiwa ini terjadi saat mereka mengadakan acara makrab di sebuah penginapan. Tempat itu bernama "Rumah Putih" yang ternyata sebuah rumah untuk anak-anak "spesial". Keanehan terjadi saat Saga b...
Hujan Bulan Juni
397      274     1     
Romance
Hujan. Satu untaian kata, satu peristiwa. Yang lagi dan lagi entah kenapa slalu menjadi saksi bisu atas segala kejadian yang menimpa kita. Entah itu suka atau duka, tangis atau tawa yang pasti dia selalu jadi saksi bisunya. Asal dia tau juga sih. Dia itu kaya hujan. Hadir dengan serbuan rintiknya untuk menghilangkan dahaga sang alang-alang tapi saat perginya menyisakan luka karena serbuan rintikn...
ENAM MATA, TAPI DELAPAN
615      385     2     
Romance
Ini adalah kisah cinta sekolah, pacar-pacaran, dan cemburu-cemburuan