Loading...
Logo TinLit
Read Story - When You're Here
MENU
About Us  

Satu per satu murid kelas Allona berhamburan ke luar kelas setelah bel sekolah berdering. Pelajaran hari ini telah usai. Allona masih membereskan peralatan sekolahnya, sementara Jefri dan Clara sudah pamit lebih dulu. Seseorang masih sabar menunggu Allona hingga selesai. Siapa lagi kalau bukan Mose?

Allona tahu akan hal itu, tapi ia memilih untuk diam saja. Satu kata saja keluar dari mulutnya, dapat dipastikan Mose tidak akan berhenti berbicara dengannya. Tentu itu akan memperlambat jam pulangnya dan menghambat pertemuannya dengan sang pengirim pesan singkat tanpa nama, yang ia terima saat jam-jam terakhir pelajaran.

Mengingat pesan itu, tak ada satu pun nama yang terlintas dalam benak Allona. Seingatnya, ia tak memiliki janji dengan siapa-siapa hari ini. Nomor ponselnya pun jarang diketahui oleh orang lain. Siapa ya? tanyanya dalam hati.

“Cantik,” panggil Mose yang masih duduk di kursi belakang Allona, “udah selesai? Mau pulang?”

Gadis itu tidak menjawab. Ia langsung menyampirkan tali tas ranselnya ke salah satu bahu. Allona melenggang tanpa mengindahkan keberadaan Mose.

“Susah banget sih usaha buat ngegebet cewek cantik,” keluh Mose sembari meraih kunci motor dan ponsel yang sengaja ia letakkan di atas meja. “Allona, tunggu!”

Mose pun berlari menghampiri Allona. Dengan langkah yang terburu-buru, kini ia sudah mampu menyamakan langkah kakinya dengan gadis yang sejak tadi ditunggunya. Pandangan Allona masih lurus ke depan, sesekali sudut matanya melirik ke sisi Mose berdiri. Lelaki itu sedang mengatur napasnya yang terengah-engah, makanya ia belum mengucapkan apa-apa padahal sudah berada di dekat Allona.

Mereka sudah hampir sampai di depan kelas X-1. Tempat yang disebutkan di dalam pesan singkat yang diterima Allona. Namun, tak ada satu batang hidung yang terlihat sedang menantinya di sana.

Ada yang ngerjain aku? Siapa sih? Menyebalkan! Mose juga kenapa harus ikutin aku? Allona berdecak. Raut wajahnya berubah menjadi kusut.

“Na, gue antar pulang yuk!” ajak Mose tiba-tiba.

Sudah setiap pulang sekolah Mose mengucapkan ajakan yang sama. Namun, biasanya Jefri dan Clara bisa menjadi tameng bagi Allona untuk menolak itu. Sekarang kedua sahabatnya sudah menghilang lebih dulu. Pikirnya, seseorang yang mengajaknya bertemu sepulang sekolah bisa menjadi alasan supaya Allona tak perlu pulang bersama Mose, tapi kenyataannya lorong ini kosong.

Allona menggeleng. Tangannya bermain di atas layar ponsel. Sengaja supaya ia tak perlu menatap Mose. Pura-pura sibuk. Hanya itu ide yang Allona miliki. “Ngga usah, Mos. Aku bisa pulang sendiri.”

“Sendiri? Ngga boleh. Jefri dan Clara udah pulang. Gue sengaja nunggu lo biar bisa gue antar pulang.”

“Aku juga bisa pulang sendiri kok, Mos.”

“Na, keselamatan itu nomor satu. Lo pulang naik angkutan umum, ‘kan? Iya kalau abangnya bawa kendaraan dengan benar, kalau ugal-ugalan? Terus lo tabrakan, terus masuk rumah sakit? Amit-amit, Na!”

Gadis itu melepas pandangan dari ponselnya setelah menyadari bahwa idenya sama sekali tidak berhasil. Ia tak melihat ada gerak-gerik ingin pergi dan meninggalkannya dari diri Mose. “Itu cuma pemikiranmu yang berlebihan,” jawab Allona datar.

“Karena khawatir gue ke lo juga berlebihan. Lo pulang bareng gue, aman.”

Mose menatap Allona dalam-dalam. Jemarinya memegang dagu Allona dan mengangkatnya. Membuat gadis itu tak lagi menunduk, melainkan membalas tatapan Mose—lelaki yang hampir satu tahun masih mengunci Allona rapat-rapat di dalam hatinya—meski Allona sering kali melirik ke sudut lain.

Waktu yang cukup lama ternyata tak mampu menyurutkan perasaan Mose. Allona sadar betapa kejamnya ia yang membiarkan Mose dengan cintanya yang tak berbalas. Ia tahu betul rasanya. Sejak ia mengagumi dan menyukai Gamaliel yang tak mungkin digapainya.

Namun, Allona juga hati-hati soal cinta. Gadis itu memang sama sekali belum merasakan pacaran, tapi kisah cinta yang sering didengar dari kakaknya berhasil memberikannya pelajaran. Bahwa cinta bukan rasa yang bisa dipaksakan, bukan pula perasaan yang dapat diterima tanpa berpikir panjang.

Belum saatnya. Allona menggeleng.

“Ngga bisa. Aku masih nunggu orang. Ada janji.”

“Nunggu siapa lagi? Sekolah udah sepi begini. Jangan-jangan lo dikibulin, Na.”

Apa yang dipikirkan oleh Mose sama dengan yang dikhawatirkan Allona. Seseorang telah berbohong padanya. Dan bodohnya, ia masih mau berdiri di lorong kelas X-1. Menunggu dia yang tak Allona ketahui.

“Yuk, pulang!” Mose menggenggam tangan Allona, menarik tubuhnya perlahan supaya ikut dengannya menuju parkiran motor. “Janjian sama orang lainnya bisa nanti lagi, gue temani.”

Allona menggigit bagian bawah bibirnya. Melirik ke seluruh penjuru sekolah. Sepi. Mungkin hanya tersisa dirinya dan Mose. Ya udahlah.

“Maaf, aku terlambat.”

Derap sepatu mengusik pikiran Allona. Ia yang sudah menggerakkan kakinya beberapa langkah pun membalikkan tubuhnya, diikuti pula dengan Mose.

“Ada rapat dadakan.”

“Kak Gamal?”

Gamaliel menghampiri Allona dan Mose. Ia tersenyum. “Iya, sorry tadi lupa ngasih tau nama waktu kirim SMS.”

“Hmm ... ini?”

Manik cokelat Allona menuntunnya untuk melihat ke arah yang juga ditunjuk oleh Gamaliel. Jemarinya masih terjebak di antara jari-jari milik Mose. Mereka masih berpegangan tangan. Allona yang baru menyadari hal itu langsung melepaskan genggamannya. Lantas, ia melambaikan tangan untuk mengatakan bahwa yang baru saja dilihat Gamaliel bukan apa-apa.

Berbeda dengan Allona, nyatanya Mose mulai berulah lagi. “Kak Gamal yang jagoan matematika itu, ‘kan?”

Pertanyaan Mose dijawab dengan anggukan Gamaliel. Keduanya berjabat tangan. “Mose Adiputra. Pacarnya Allona.” Senyuman puas terukir di wajahnya.

WHAT?” Gadis yang namanya baru saja disebut itu langsung menutup mulut usai berteriak karena terkejut. Kepalanya digelengkan berulang kali.

Bukan Mose namanya kalau tidak bertingkah nekat. Lengannya merangkul bahu Allona tanpa harus menunggu izin dari si empunya badan. Menariknya supaya berada lebih dekat dengan dekapannya.

Dengan tangan yang diletakkan di samping mulut layaknya orang yang ingin berbisik, Mose mendekatkan wajahnya ke telinga Gamaliel. “Baru beberapa hari jadian emang begini, masih suka malu mengakui.”

Keduanya tertawa, tapi Allona justru menekuk wajahnya. Mose norak! Mose bodoh! Aku juga masih bisa dengar, meskipun kamu bisik-bisik. Awas aja anak ini.

Luapan emosi Allona karena mengetahui Mose mengaku secara sepihak itu hanya tertahan di dalam tenggorokannya. Mengganjal dan susah untuk keluar dari mulutnya. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Jefri tempo hari. Di depan gebetan, harus jaga image. Dan itulah yang sedang Allona lakukan sekarang.

“Mose, pacarmu aku pinjam sebentar ya.” Gamaliel tampaknya mudah percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mose.

Lelaki yang masih merangkul Allona itu mengangguk sembari berkata, “Boleh, asal nanti dikembalikan ke rumahnya dengan selamat. Lo ngga boleh macam-macam atau lo akan terancam bahaya.”

“Wah Allona punya pacar yang super protektif juga ya.” Gamaliel terkekeh. Allona mau tak mau ikut tertawa kecil, meski rasanya kini ia hanya ingin terlepas dari bayang-bayang Mose.

Keinginan Allona terkabul. Mose melepaskan dirinya dan bersiap untuk pergi. Namun, sebelum itu, ia juga mengatakan beberapa patah kata. “Kalau nanti udah sampai rumah, kabarin ya, Cantik.” Ia mengusap bagian atas kepala Allona dengan gemas.

“Kesempatan!” umpat Allona pelan sambil mencubit pinggang Mose. “Awas ya kamu nanti!”

Meski sempat merintih kesakitan karena cubitan Allona, Mose tetap tersenyum untuk mengakhiri dramanya di depan gebetan Allona alias Gamaliel. Aktingnya berhasil. Ia pun melangkah pergi meninggalkan keduanya.

Setelah diganggu dengan keberadaan Mose, Allona baru tersadar. Vanya tak ada bersama dengan Gamaliel. Biasanya gadis itu tak mau berada jauh dari Gamaliel, walaupun hanya beberapa menit saja. Orang bilang mereka seperti perangko dan surat. Kemana-mana selalu nempel.

“Kak Gamal, ada apa ajak aku ketemuan? Aku ngga mau sampai ketahuan Kak Vanya, nanti aku kena semburan omelannya.”

Mendengar ucapan Allona, Gamal justru tertawa. “Galaknya Vanya ternyata udah terkenal ya. Dia lagi ada pelajaran tambahan. Sambil menunggu, kenapa ngga kalau aku ketemu kamu dulu?”

“Untuk?”

“Bahas olimpiade yang tadi sempat tertunda. Banyak yang harus kujelaskan ke kamu dulu.”

“Oh olimpiade. Kirain ....”

Gamaliel menarik salah satu ujung alisnya. “Kirain apa?”

Kirain mau bahas sesuatu yang lebih spesial, aku suka kamu misalnya. “Bukan apa-apa, Kak. Jadi mau bahas gimana?” Allona dengan segera mengalihkan topik pembicaraan.

“Jangan bahas di sini, di kafe dekat sini aja. Kalau mau ngobrol, lebih baik pilih tempat yang nyaman, ‘kan?”

Allona mengangguk. Ia hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh Gamaliel. Lagi pula hatinya sudah cukup senang karena memiliki waktu berbicara dengan Gamaliel. Berdua saja. Dibandingkan sebelumnya, ia hanya bisa mengamati lelaki itu dari kejauhan. Ini adalah sebuah kemajuan.

Hanya membayangkan waktu-waktunya bersama lelaki itu saja bisa membuat senyum di wajah Allona enggan pergi. Andai ia adalah pengendali waktu, dapat dipastikan hari ini akan menjadi hari di mana waktu berhenti hanya untuk Allona dan Gamaliel.

“Allona? Halo?” Suara Gamaliel mengejutkannya. “Kok senyum-senyum sendiri? Kamu kenapa?”

Allona menepuk dahinya dan menunduk. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri. Kebiasaan. Berkhayal tanpa sadar kalau di depanku masih ada Kak Gamal. Matilah aku kalau dia sampai berpikir aku orang sakit jiwa karena senyum-senyum tadi.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Puisi, Untuk...
20273      3295     10     
Romance
Ini untuk siapa saja yang merasakan hal serupa. Merasakan hal yang tidak bisa diucapkan hanya bisa ditulis.
Tuhan, Inikah Cita-Citaku ?
4227      1743     9     
Inspirational
Kadang kita bingung menghadapi hidup ini, bukan karena banyak masalah saja, namun lebih dari itu sebenarnya apa tujuan Tuhan membuat semua ini ?
You Are The Reason
2287      937     8     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
Dream
624      458     5     
Short Story
1 mimpi dialami oleh 2 orang yang berbeda? Kalau mereka dipertemukan bagaimana ya?
Tanpa Kamu, Aku Bisa Apa?
128      101     0     
Romance
Tidak ada yang pernah tahu bahwa pertemuan Anne dan Izyan hari itu adalah hal yang terbaik bagi kehidupan mereka berdua. Anne tak pernah menyangka bahwa ia akan bersama dengan seorang manager band indie dan merubah kehidupannya yang selalu menyendiri menjadi penuh warna. Sebuah rumah sederhana milik Anne menjadi saksi tangis dan canda mereka untuk merintis 'Karya Tuhan' hingga sukses mendunia. ...
The Investigator : Jiwa yang Kembali
2039      848     5     
Horror
Mencari kebenaran atas semuanya. Juan Albert William sang penyidik senior di umurnya yang masih 23 tahun. Ia harus terbelenggu di sebuah gedung perpustakaan Universitas ternama di kota London. Gadis yang ceria, lugu mulai masuk kesebuah Universitas yang sangat di impikannya. Namun, Profesor Louis sang paman sempat melarangnya untuk masuk Universitas itu. Tapi Rose tetaplah Rose, akhirnya ia d...
Rain Murder
2562      678     7     
Mystery
Sebuah pembunuhan yang acak setiap hujan datang. Apakah misteri ini bisa diungkapkan? Apa sebabnya ia melakukannya?
Kamu
4072      1594     1     
Romance
Dita dan Angga sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka bersekolah di tempat yang sama sejak Taman Kanak-kanak. Bukan tanpa maksud, tapi semua itu memang sudah direncanakan oleh Bu Hesti, ibunya Dita. Bu Hesti merasa sangat khawatir pada putri semata wayangnya itu. Dita kecil, tumbuh sebagai anak yang pendiam dan juga pemalu sejak ayahnya meninggal dunia ketika usianya baru empat tahun. Angg...
Help Me to Run Away
2657      1189     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
The Past or The Future
462      367     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?