Tak ada satu pun yang berani melihat sepasang kekasih yang sedang melintas di lorong sekolah. Bagaimana tidak? Baru saja meliriknya beberapa detik, gadis itu sudah melayangkan tatapan mengerikan yang membuat orang lain jadi enggan melihatnya. Tangannya tak pernah lepas dari lengan lelaki yang ada di sampingnya, menggenggam erat. Senyumannya juga tidak pernah hilang saat memandang wajah pasangannya.
Sementara itu, berbanding terbalik dengan lelaki yang biasa dipanggil Gamaliel. Ia terlihat risih dan malu dengan sikap kekasihnya. Menjadi pusat perhatian—apalagi di sekolah—itu tidak enak baginya. Gadis yang di sampingnya—Vanya—sudah menjalin hubungan dengannya selama dua bulan. Bukan waktu yang cukup lama. Tidak heran kalau ia masih bersikap manja. Kata orang, hubungan itu masih manis-manisnya.
“Sayang, aku lapar. Makan dulu, yuk!” pinta Vanya. Ia menyandarkan kepala di lengan Gamaliel sambil menatapnya manja.
Gamaliel berulang kali mencoba untuk melepaskan genggaman itu, tapi berulang kali juga Vanya mempererat tangannya. “Nya, kamu ngga risih dilihat sama banyak orang? Udah kali, ini sekolah.”
“Risih sama orang iri kayak mereka? Ah, ngga.” Gadis itu tersenyum kembali.
“Aduh, cokelatku tiba-tiba rasanya kok jadi pahit ya?” Suara itu membuat keduanya menoleh, terlebih Vanya yang sudah siap dengan tatapan tajamnya.
Allona Sharaziva, seorang murid kelas 11 yang saat ini sedang berhadapan dengan ratu macan, Vanya. Bukan rahasia lagi kalau Allona mengagumi Gamaliel karena lelaki itu dapat dikatakan pintar di bidang akademik. Nama yang selalu disebutkan dengan bangga oleh kepala sekolah saat upacara berlangsung karena berhasil memenangkan beberapa olimpiade. Hal itu cukup menjadi alasan di balik kekagumannya.
“Kamu bilang apa barusan?” pekik Vanya. Ia memajukan tubuhnya, menatap gadis di hadapannya dengan berani.
“Cokelatnya pahit,” balas Allona sambil membungkus kembali cokelat yang ada di tangannya, “kenapa kamu yang marah? Kamu kan manusia, bukan cokelat.”
Vanya mendekatkan wajahnya. Jemarinya bermain di antara helai rambut Allona. Disembunyikannya rambut itu di belakang telinga Allona. Gadis itu berbisik, “Aku tahu kamu suka sama pacarku, tapi jangan harap aku mau melepaskannya.”
“Bukan kamu, Kak. Cuma mau bilang, hati-hati pacarnya kabur kalau kamu galak dan manja terus.”
“Dengar baik-baik. Ngga-a-kan,” ucapnya penuh penekanan.
Usai berbisik-bisik dengan Allona, Vanya kembali menghampiri Gamaliel dan mengajaknya untuk segera pergi. Sedangkan, Allona justru menjadi korban investigasi kedua sahabatnya, Jefri dan Clara. Keduanya mengajak Allona untuk duduk supaya dapat bercerita dengan nyaman.
Jefri yang sudah sangat penasaran itu pun langsung bertanya, “Macan itu ngomong apa lagi sama kamu?”
“Biasa,” ucap Allona sambil mengibaskan tangannya, “aku ngga boleh berharap sama pacarnya katanya.”
Lelaki itu terkekeh. “Aduh, itu lagi. Bosen ah dialognya sama terus tiap dia ketemu kamu. Kayak kaset rusak aja yang diucap selalu sama.”
“Emang kamu harusnya fokus belajar aja, Na. Ngga usah berpikir untuk pacaran. Kita masih kecil, belum waktunya,” elak Clara.
“Clara, kita ini udah masa remaja. Masa masih mau aja pacaran sama buku doang? Kacamata kamu tambah tebal nanti.” Allona merangkul sahabatnya sambil mengambil kacamata milik Clara.
Tangan Clara dengan sigap merampas kembali barang miliknya. Ia membenarkan posisi kacamatanya. “Pacaran di saat kamu masih sekolah itu bisa mengganggu fokusmu dalam belajar. Nikmati aja dulu masa sekolah bareng teman.”
Allona gemas dengan pemikiran sahabatnya yang satu itu. Ia pun tak tahan untuk mencubit pipi chubby-nya. “Kamu takut kalau aku pacaran nanti malah jadi lupa sama kamu?” Kini ia juga merangkul Jefri. “So sweet ih punya sahabat kayak kalian, tapi tenang aja. Seorang Allona ngga akan lupa sama sahabat.”
“Lagi pula kalau Allona jalan sama pacarnya, kamu bisa jalan sama aku, Clar,” ujar Jefri sambil tertawa.
“Thank you, Jef, tapi masih lebih asyik ketemu Charles Darwin di buku Biologi ketimbang kamu.” Clara tertawa usai melihat perubahan ekspresi wajah Jefri.
Laki-laki itu membalasnya, “Ih, selera kamu tua ya, Clar.”
Allona hanya memperhatikan tingkah kedua sahabatnya itu sambil tertawa. Memang selalu lucu melihat mereka yang sering kali berbeda pendapat. Tentang Jefri yang membenci pelajaran sekolah dan lebih memilih bermain games di ponselnya selama di kelas, juga tentang Clara yang selalu memilih buku pelajaran sebagai makanannya sehari-hari. Kalau Allona? Ia hanya gadis yang saat ini sedang menanti cinta datang menyapa. Mengetuk pintu hati dan mewarnai tiap kisahnya yang masih hitam-putih.
***
Sebuah piring berisi berbagai jenis sayuran yang dipadukan dengan bumbu kacang telah tersaji di meja nomor 2. Vanya tersenyum sembari mengucapkan terima kasih pada wanita yang kira-kira seumuran dengan mamanya. Gadis itu duduk berhadap-hadapan dengan Gamaliel yang lebih memilih untuk menikmati segelas jus alpukat.
“Sayang, suapin,” pinta Vanya manja.
Gamaliel berdecak. Lagi-lagi ia menolak untuk meladeni Vanya. “Tangan kamu kenapa? Kayaknya baik-baik aja.”
“Ih, kamu itu kenapa sih berubah banget? Udah berkurang rasa sayangnya?”
Lelaki itu menghembuskan napasnya berat. “Ngga, sayang kok.”
“Atau ada cewek yang dekat-dekat sama kamu? Makanya kamu jangan terlalu ramah sama cewek lain. Mereka bisa aja salah paham.”
“Ramah ngga ada salahnya, Nya. Ramah itu salah satu bentuk kesopanan.” Gamaliel menyeruput jus alpukat miliknya. “Makan dulu, keburu bel masuknya bunyi.”
Vanya mengerucutkan bibirnya kemudian menyendokkan beberapa suap gado-gado, sementara pandangan Gamaliel terfokus pada satu titik. Tatapannya lurus seperti sedang memikirkan sesuatu. Tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa sikap Vanya dapat berubah secepat itu. Semakin lama, ia bersikap over protective terhadap Gamaliel. Meski Gamaliel sering mengungkapkan kerisihannya, gadis itu tak pernah mau mengubah tingkahnya.
Tangan lain mendarat di atas punggung tangan Gamaliel. Membuatnya tersadar dari lamunan. Vanya mengajaknya untuk pergi dari kantin karena ia telah menyelesaikan makannya. Berhubung bel belum berbunyi, ia berencana untuk bersantai di taman sekolah. Namun, Gamaliel tampaknya lebih ingin duduk manis di dalam kelas.
“Tuh kan, kamu berubah. Cuma diajak ke taman aja ogah-ogahan,” keluh Vanya.
Gamaliel menyelipkan jari-jarinya di antara jemari Vanya, menggenggam tangannya secara tiba-tiba. Berjalan lebih cepat daripadanya sehingga tubuh Vanya ikut terbawa mengikuti gerakan kakinya. Keduanya sudah sampai di taman sekolah, seperti apa yang diminta oleh Vanya.
“Udah? Aku udah ikuti kemauanmu, ngga usah mikir yang bukan-bukan.”
Vanya mengangguk dan tersenyum. “Senang kalau tahu kamu masih perhatian kayak gini.”
“Terus kamu kenapa ajak aku ke sini?” tanya Gamaliel.
“Suka aja sama tempat ini. Pernah bersejarah dalam cinta kita. Kenapa dulu kamu sampai suka sama aku?”
“Kenapa? Cinta yang tulus ngga perlu alasan.”
Gadis itu mendaratkan pandangannya ke mata Gamaliel. “Setiap ditanya, jawabanmu selalu sama. Aku jadi bingung, apa kamu ngga punya alasan khusus karena aku memang ngga spesial?”
Gamaliel mengusap rambut Vanya berulang kali, sementara Vanya tak melepas tatapannya. “Spesial kok. Maaf kalau akhir-akhir ini sikapku berubah, mungkin karena terlalu banyak pikiran yang mengganggu.”
Tanpa menjawab, Vanya hanya menyandarkan kepalanya di bahu Gamaliel, sedangkan kekasihnya masih mengusap rambutnya dengan lembut. Oke, dia masih sayang aku. Yang dibilang Allona ngga benar. Dasar anak itu, seenaknya aja kalau ngomong.
“Jef! Jef! Bawa kucing itu jauh-jauh. Sumpah ya, kamu ngga akan lagi kukasih makan kalau lagi main ke rumah!”
Teriakan itu membuat Vanya mengernyitkan dahinya, sedang Gamaliel langsung mencari sumber suara. Seseorang telah menabrak tubuh Vanya. Tak heran jika ia langsung menatap pelakunya dengan tatapan tajam.
“Kamu! Mau apa di sini?” tanyanya.
Allona melirik ke kanan dan kiri. Menebak-nebak siapa yang sedang diajak bicara oleh Vanya, sementara Jefri langsung berlari menghampirinya setelah meletakkan kucing yang sejak tadi digendongnya. Lelaki itu mengangkat kedua alisnya dan bertanya pada Allona apa yang sedang terjadi.
“Kamu, Allona. Aku ngomong sama kamu. Sengaja ke sini buat ganggu aku sama Gamal ya?” tanyanya dengan nada ketus.
Sungguh, macan ini beda banget sama Kak Gamal yang terkenal ramah. Pasti Kak Gamal banyak membatin. Kasihan.
“Aku lari ke sini karena Jefri bawa kucing. Aku juga ngga tahu kalau kalian ada di sini. Maaf deh, aku pergi.” Allona membalikkan tubuhnya. “Ayo, Jef!”
“Tunggu!” Setelah sejak tadi menutup mulutnya, Gamaliel akhirnya mengeluarkan suara.
“Allona? Nama kamu Allona? Aku butuh ngomong sama kamu.”