Bukan hal aneh lagi bagi Arista Bintang Vandera yang setiap paginya selalu dihujani berpuluh-puluh surat maupun makanan di depan lokernya. Bintang memang tampan, ia pintar, jago berolahraga, juga jago bermain musik. Satu lagi, jago membuat orang sakit hati atas segala ucapan tajamnya.
"Lagi?" Suara itu muncul dari belakangnya.
Bintang menoleh dan menemukan sahabat dekatnya berdiri sambil bersandar di loker lain.
"Heran gue," celetuk Bintang.
"Heran kenapa? Harusnya lo bersyukur dapat nikmat yang kayak begini."
Bintang berdecak, "Tapi risi loh, Han,"
"Gue nggak risi tuh kalo jadi lo, itu namanya rejeki nomplok!" Lagi-lagi jawabannya bertentangan dengan Bintang.
"Sekarang jam berapa?" tanya Rayhan.
"Enam lewat dua puluh." Jawab Bintang santai. Ia memunguti makanan-makanan yang ada di bawah lokernya, begitu juga dengan surat-suratnya.
"Oh, sebentar lagi nih," seru Rayhan tersenyum jahil.
Bintang tak terlalu memikirkan perkataan Rayhan. Karena sejujurnya ia juga sudah tahu apa yang akan terjadi nantinya.
"Satu ..."
"Dua ..."
"Tiiii—"
Belum selesai Rayhan menghitung, sudah ada seorang perempuan yang berlari kencang menghampiri mereka.
"Selamat pagi Bintangnya Bulan!!" pekik perempuan ini sambil merapihkan rambutnya. "Ih kok nggak dijawab sih? Kalo orang ngucapin selamat pagi itu harusnya dijawab dong!" protes Bulan memanyunkan bibirnya.
Bintang sudah selesai memunguti makanan dan surat-surat penggemarnya. Ia memasukan surat dan makanannya ke dalam kantong plastik yang sudah dibawa Rayhan.
"Pagi." Hanya satu kata yang terlontar dari bibir tajamnya itu.
"Pasti belum sarapan 'kan? Sarapan bareng sama Bulan yuk!" ajak Bulan yang sudah menarik lengan milik Bintang.
Bintang langsung melepasnya dengan kencang. "Nggak perlu. Ayo Han,"
Rayhan pun hanya bisa menurut saja, lagipula dia tidak mau ikut campur urusan rumah tangga orang. Eh.
"Lo tuh jahat banget sih sama Bulan," protes Rayhan membuka keheningan di antara mereka.
"Gue risi aja. Nggak suka diganggu."
Rayhan mendengus pelan, "Ati-ati nanti karma loh." Katanya menakut-nakuti.
"Lah, karma ngapain? Udah ah gue duluan ya ke yang lain.” Ucap Bintang memberikan kantong plastik hitam itu kepada Rayhan.
“Eeeeh! Sialan, gue yang kena imbasnya!” pekik Rayhan sebal. Lagi-lagi dia yang kena imbasnya untuk membawa kantong ini.
“Ah, jadi berasa abang sampah ‘kan gue,”
ZZZZZ
Bintang terus berjalan menuju arah kantin, di mana teman-temannya berada. Ia tidak peduli dengan siswa-siswi yang menatapnya dengan tatapan memuja. Bintang juga bisa mendengar beberapa gumaman yang masuk ke dalam pendengarannya.
“Gila, Bintang ganteng banget sih,”
“Itu alis apa ulet bulu woi!”
“Bintang tuh pacarable banget ya,”
Bintang mengedikkan kedua bahunya tanda tak mau tahu. Ia terus berjalan sampai akhirnya matanya menemukan di mana ketiga temannya berada.
“Tang-Tang!” teriak laki-laki yang memakai bandana merah.
Bintang mendekat meghampiri mereka.
“Loh, Rayhan mana Tang?” tanya laki-laki berkacamata.
“Tahu deh, tadi di belakang gue,”
“Emang dasar Rayhan si bocah lemot,” celetuk laki-laki yang sedang mengemut permen batang.
“WOI WOI WOI!” teriak Rayhan yang tiba-tiba datang membawa kantong plastik hitam.
Rayhan langsung duduk di samping Bintang. Ia menaruh kantong plastik hitam itu di atas meja mereka.
“Apaan nih?” tanya laki-laki berkacamata yang bernama Rafa.
“Sampah-sampahnya Bintang,” jawab Rayhan dengan napas yang terengah-engah.
Bintang hanya diam saja tidak peduli. Sedangkan tiga orang temannya mengerutkan keningnya.
“Oh! Gue tahu nih gue tahu!” celetuk Abay, tepatnya adalah laki-laki dengan bandana merah. “Pasti surat yang isinya menye-menye sama makanan kecewek-an gitu ‘kan?”
Rayhan mengangguk mantap. Rafa dan Galang yang kepo, langsung melihat isi kantong tersebut.
“Yah, gue kira apaan,” celetuk Galang.
Rafa terkekeh. “Masih aja lo Tang diteror pake yang beginian,”
“Namanya juga Bintang,” sahut Rayhan cengegesan.
ZZZZZ
"Kenapa muka ditekuk gitu? Dikacangin Bintang lagi?" cecar sahabat tercintanya, Melan.
"Bintang lagi nggak mood kali," lanjut Melan menenangkan.
"Masa nggak mood setiap hari sih!" Bulan memberengut.
Melan geleng-geleng kepala. "Mungkin aja dia risi lo kejar-kejar mulu."
"Masa sih? Kalau risi harusnya dia bilang ke gue, tapi dia nggak pernah bilang tuh! Boro-boro bilang, kayaknya ngomong bagi Bintang tuh kayak hari raya. Setahun dua kali,”
"Dasar dungu, harusnya dengan sikap-sikap dia yang dingin gitu, lo udah tahu kalau Bintang tuh nggak suka dan risi sama lo,”
“Bodo amat, deh. Kalau dia nggak bilang ke gue, ya gue nggak akan berhenti buat dapetin dia!” Ucap Bulan teguh pada pendiriannya.
Melan hanya geleng-geleng pasrah melihat tigkah bodoh Bulan. Padahal tiap harinya Melan sudah memberitahu pada Bulan bahwa Bintang itu hanya cowok ganteng yang punya banyak fans dan sombongnya nggak ketulungan. Tapi tetap aja, yang namanya cinta akan mengalahkan segalanya.
Bulan pernah melakukan sesuatu hal yang sangat bodoh. Pasalnya saat itu Bintang sedang ekskul futsal dan dengan nekat Bulan menunggu hampir tiga jam. Tahu apa yang terjadi? Bulan pingsan di lapangan futsal karena dari pagi perutnya belum diisi apa pun.
“Melan, istirahat kita ke kelas Bintang ya!” ajak Bulan semangat.
Melan langsung melotot, hampir saja bola matanya keluar. “Ogah ah, lo aja sana,”
“Ih ayo lah, gue yakin Rayhan nggak bakal gangguin,” rengek Bulan.
"Enggak. Sekali enggak tetap enggak!" jawab Melan ngotot tidak mau ke kelas Bintang.
Bulan mengembuskan napasnya pelan. “Ya udah lah,”
Sebenarnya Melan ingin mengantar Bulan ke kelas Bintang. Tapi ada sesuatu yang ia sesali jika mengantar Bulan ke kelas Bintang. Melan pasti akan bertemu dengan Rayhan, cowok sok ganteng, ke-pedean, dan sok bijak yang pernah ia temui di SMA Angkasa. Melan sangat membencinya.
Bel istirahat sudah berbunyi, dengan grasak-grusuk Bulan langsung pergi menghilang ke kelas Bintang.
“Assalamualaikum!!” teriak Bulan lantang di depan kelas Bintang.
Siswa-siswi yang melihat Bulan pun langsung saja menjawab salamnya. Walaupun sebagian ada yang menjawabnya di dalam hati.
"Bintang! Ke kantin bareng yuuk!” ajak Bulan seraya tersenyum lebar.
“Nggak.” Satu kata yang keluar dari mulut Bintang langsung memohok hati Bulan. Tapi tenang, Bulan bukan tipe orang yang mudah menyerah.
"Oh enggak nolak lagi 'kan? Ayo-ayo!" Langsung saja disambar pergelangan tangan Bintang dan menariknya menuju kantin.
Bintang yang diperlakukan seperti itu hanya bisa diam saja. Biar saja, ia ingin tahu seberapa tahannya Bulan menghadapi mulut dan sikap dinginnya.
"Mang Ujangggg, baksonya dua ya!!!" teriak Bulan pada Mang Ujang penjual bakso di kantinnya.
"Bintang mau minum apa?" tanya Bulan perhatian pada Bintang.
Yang ditanya hanya diam saja.
Sungguh, kalau aja Bintang itu jelek, bodoh, dungu, dan yang lainnya. Pasti Bulan sudah mencakar-cakar mukanya saat ini juga.
“Namanya kekerasan,” celetuk Bintang.
Bulan mengerjap kaget, bagaimana Bintang tahu kalau dia akan mencakar-cakar dirinya.
"Karena gue punya telinga." Celetuk Bintang lagi.
Dan kali ini, Bulan diam saja. Ia takut Bintang bisa tahu apa yang dikatakannya lagi.
"Dasar cewek dungu, gimana gue nggak denger, kalau lo sendiri yang bilang sambil ngegerutu." Ujar Bintang bangkit dan membuat pipi Bulan terasa panas.
Emang dasar, kalimat ‘cowok ganteng mah bebas’ sekarang, berlaku banget kayaknya buat Bintang.
Bintang tuh "pacarable" banget !! Hahaha ..
Comment on chapter Bagian Satu