“Enak dihukum?”
Segelas jus jeruk dan sepiring nasi goreng yang nangkring tiba-tiba di meja depan Ardy membuatnya tersentak. Saat kepalanya mendongak, ekspresi mengejek Kana menyambutnya.
“Enak banget. Mau lagi.” Ardy nyengir lebar. “Palingan Kepsek laporan ke Bokap, trus Bokap nyalahin Nyokap karena gagal didik anak, trus Nyokap ikut nyalahin Bokap karena lepas tanggung jawab … ya, gue udah hafal sih.”
Kalimat Ardy terjeda. Ia menelan ludah.
“Tiga taun di SMP, gue usaha mati-matian buat wujutin maunya Bonyok. Tapi, enggak ada tuh yang berubah. Mungkin mereka harus mulai nerima kenyataan kalau enggak semua anak punya kecerdasan kognitif. Gue misalnya. Kemampuan gue cenderung ke psikomotorik.”
“Coba deh bilang baik-baik ke bonyok lo kalau lo maunya jadi pelukis, bukan apa pun itu yang mereka penginin hingga harus-selalu-always-must dapat nilai perfect di sekolah.”
“Gue enggak peduli lagi pada cita-cita bodoh dan enggak dianggap itu. Toh, hidup gue tinggal 29 hari la—”
“Enggak usah bahas gitua napa sih!” Alis Kana mengerut tak setuju. Jus jeruk di depannya segera ia sambar dan seruput. Kecut. Kecut banget. Lebih kecut dari ekspresi mukanya setelah mendengar ucapan Ardy.
“Lo masih enggak percaya sama gue? Lo juga ngira gue mabok lem kayak anak-anak yang laen?”
“Ya kali aja,” respon Kana beberapa saat sebelum menyendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
Pundak Ardy terangkat. Terserah Kana, mau percaya atau tidak.
Kalau bisa, Ardy juga mau pura-pura tidak percaya. Tapi, laki-laki berpakaian serba hitam di bangku kosong sana terlalu nyata untuk disangkal kehadirannya oleh Ardy.
Ardy menarik napas dan menghela dalam-dalam. Barangkali kematiannya akan jadi pelajaran buat orangtuanya. Agar orangtuanya sadar, tiap anak diciptakan dengan bakat dan minat yang berbeda. Ardy, misalnya. Ia tak punya minat dan bakat di Matematika dan IPA, tapi sangat jago melukis. Sayang, bagi mama dan papanya, memiliki bakat di bidang seni tak ada gunanya jika nilai raport di bawah delapan.
“Gimana rasanya mati?” tanya Ardy tiba-tiba, setelah detik demi detik melarutkan mereka dalam hening. Kana yang sedang menyeruput jus jeruk tersedak. Hidungnya perih. Matanya merah. Entah karena tersedak, atau entah karena … ia tak bisa membayangkan kalau suatu hari nanti, Ardy tiba-tiba hilang dari hidupnya.
“Gimana rasanya mati?”
Ardy mengulang pertanyaannya. Pertanyaan yang sejujurnya tak ia tujukan pada siapa pun selain dirinya sendiri. Mendengar pertanyaan Ardy untuk kedua kalinya, Kana mengangkat wajah dengan gerakan lambat, seakan ada efek slowmotion yang diciptakan semesta pada gerakannya.
“Gue enggak suka kalau lo terus-terusan bahas sesuatu yang enggak bisa dijelaskan denganlogika.”
Ardy tertawa. Memang tak bisa dijelaskan dengan logika. Sangat! Tapi dia yakin, laki-laki bernama Arsen itu bukan delusinya. Ia yakin, Arsen itu maya yang nyata.
“Gue serius, Ka.”
“Lo ke pemakaman, gali salah satu makam, trus lo tanya sama tengkorak di sana, gimana rasanya mati.”
“Lo sewot banget sih.”
“Biarin. Suruh siapa ngelantur mulu?”
“Kana, gue tuh nggak—”
“Jangan buang-buang waktu gue gara-gara delusi lo! Gue udah berkali-kali bilang Ardy, berenti nge-lem!”
“Iya. Gue tau ngelem itu nggak elit sama sekali. Besok gue bakal ngisap ganja!”
TAK!
Punggung telunjuk Kana melayang bebas ke jidat Ardy.
“Salah gue paan, ya Looooord?! Sakit banget, Kana!”
Kana tak menggubris. Ia kembali menyantap nasi gorengnya.
“Lo takut gue mati ya, Ka?”
“Ardy, diem deh!”
“Gue penasaran, penyebab kematian gue apaan, ya?”
“Ngomong gitu sekali lagi, gue pergi, nih!” ancam Kana tanpa menatap Ardy. Ia pura-pura sibuk mencari potongan jamur di antara nasi berwarna merah.
Ardy tertawa. “Mungkin karena bunuh diri kali, ya. Atau dibunuh Bokap saking frustrasinya punya anak kayak gue.”
Kana mendengus. Tanpa bilang apa-apa, ia bangkit sembari mengangkat piring dan jus jeruknya, lalu meninggalkan Ardy.
Benar-benar tak Ardy duga, Kana benar-benar ngambek.
Dasar Kana aneh. Beberapa hari lalu, dia bilang bakal melanjutkan hidup kalau Ardy mati. Tapi, Ardy belum mati saja dia sudah begitu.
Hoah, dasar cewek! Lain di hati lain di mulut.
Ardy nyengir lebar saat Kana yang duduk sendirian di sudut kantin memonyongkan bibir untuk mengejeknya.
Kalau gue mati, lo benar-benar harus lanjutin hidup, Kana.
“Apa enaknya duduk di kantin tanpa memesan apa pun? Menambah populasi karbon oksida di kantin saja.”
Ardy terlonjak kaget saat Arsen tiba-tiba duduk di depannya, menggantikan posisi Kana.
“Serah gue. Pantat, pantat gue.” Ardy memberengut. Kurang kerjaan banget meladeni Arsen. Sementara anak-anak di kantin sudah menyatukan pandangan, menatap ke arahnya.
Alah, Ardy sudah hafal asumsi mereka. Mereka pasti mengira Ardy berhalusinasi karena mabok lem. No problem. Asumsi abal-abal itu bisa jadi senjata ampuh bagi Ardy tiap kali dia meladeni Arsen.
“Kamu nyolot sekali, ya.”
“Serah gue! Mulut, mulut gue.”
Arsen bersedekap.
“Lantas, tujuan kamu duduk di sini untuk apa kalau bukan makan?”
“Gue mau liat siapa aja teman satu sekolah gue dan ingat wajah mereka satu per satu.”
Tawa sarkas mengalun dari pitas suara Arsen. “Kurang kerjaan.”
Pundak Ardy terangkat tak acuh. “Kalau kita mati, apa kita akan ingat semua orang yang pernag kita temui?”
Arsen ikut mengangkat pundak. Ia tak tahu jawaban dari pertanyaan Ardy.
“Lo enggak tau? Malaikat apaan lo?”
“Pertama, saya bukan malaikat. Kedua, andai saya tahu jawaban dari pertanyaan kamu, saya tidak akan ada di sini.”
Mata Ardy memicing. “Maksud lo?”
“Kamu pikir saya mau membuntuti kamu ke mana-mana tanpa alasan jelas?”
“Jelasin dengan sederhana.”
“Kamu tidak perlu tahu. Yang jelas, kita harus menjalin simbiosis mutualisme. Saya bantu kamu, kamu bantu saya. Saya untung, kamu untung.”
“Maksud lo?”
“Jalani hidup kamu sebaik-baiknya, Ardy. Dengan begitu, kamu sudah membantu saya.”
Ardy tertawa keras. Kali ini bukan hanya siswa yang menatap ke arahnya, tapi juga penjual di kantin.
Juga sepasang mata yang mengerjap cepat, berusaha menghalau hening yang dari tadi hendak tumpah ruah, untuk membasuh rongga dadanya yang terasa gersang. Seakan oksigen tertolak di dalam sana.
@isnainisnin Udah diperbaiki, Ukh. Jazakillah (Ga bisa emot ^^
Comment on chapter 4. Alasankalem banget emotnya XD