ARANKA (7)
Setelah mengantar Thalita pulang, Aland langsung kembali ke mansionnya, tubuh dan pikirannya terasa letih. Rencana perjodohan tidak hanya menguras pikirannya, tetapi juga tenaganya. Dia butuh istirahat. Tetapi niatnya untuk istirahat ia urungkan saat melewati kamar sang Bunda. Sepertinya mengunjungi sang Bunda merupakan hal yang lebih baik daripada beristirahat. Melihat wajah ayu sang Bunda pasti bisa membuat pikirannya menjadi lebih tenang.
"Bunda..." Sapa Aland. Ia membelai pundak sang Bunda sebelum akhirnya mengecup lembut kening wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Bundanya hanya diam saja seperti biasa. Aland menghembuskan nafas pelan. Dua tahun ternyata tidak membuatnya cukup terbiasa dengan sang Bunda yang seperti mayat hidup.
"Bunda... Aland akan dijodohkan dengan putri keluarga Bagaskara," Aland terdiam memejamkan matanya beberapa saat, lalu melanjutkan kalimatnya. "Aland berusaha menolak, tapi Grandpa memaksa. Aland terlalu mencintai Thalita, Bunda. Aland hanya ingin menikah sekali seumur hidup dengan wanita pilihan Aland dan wanita itu Thalita, bukan Diana. Aland tidak menyukai perjodohan konyol ini."
Aland menceritakan keluh kesahnya pada sang Bunda walaupun ia tau sang Bunda tidak akan memberikan balasan apapun. Namun di luar dugaan, tangan halus sang Bunda membelai lembut rambutnya. Mata hitam legam Aland mulai berkaca-kaca karena terlalu bahagia sang Bunda sudah mulai merespon, meskipun hanya sesaat. Senyum Aland mengembang dan ia langsung memeluk erat sang Bunda.
"Bunda, terima kasih... Aland bahagia karena Bunda mau mengelus rambut Aland lagi..." Lirih Aland.
Aland yakin bundanya pasti akan kembali lagi seperti dulu dan ia akan selalu sabar untuk menunggu waktu itu tiba.
.
Di suatu ruangan tampak dua orang pria berusia berbeda generasi, masih terlihat tampan dan gagah, duduk bersebrangan di sebuah sofa minimalis.
"Bagaimana, Ayah?" Tanya Langit sambil menyesap kopi hitam yang aromanya menyebar ke seluruh ruangan, membuat suasana menjadi lebih nyaman dan menenangkan.
"Kita harus bersabar... Sebentar lagi hati anakmu pasti akan terbuka untuk Diana. Seperti yang dikatakan semua orang: semuanya butuh waktu." Jawab Xavier. Ia mengusap pelan dagunya yang ditumbuhi oleh janggut tipis berwarna putih.
Langit meletakkan kembali cangkir berisi kopi yang tinggal setengah di atas meja kaca di hadapannya. Ia menghembuskan nafas berat, membuat Xavier memberi pandangan bertanya.
"Apa Ayah yakin tindakan kita ini benar?" Tanya Langit lagi. Terasa keraguannya akan rencana perjodohan anaknya. Xavier mengulas senyum tipis mendengar pertanyaan Langit.
"Sangat yakin." Xavier menjawab dengan tegas.
Langit hanya bisa diam saat mendengar jawaban penuh keyakinan dari ayahnya. Dia tidak bisa terbuat apa-apa karena jika Xavier sudah membuat sebuah keputusan, tidak akan ada yang bisa mengubahnya. Dia hanya bisa berdoa, semoga rumah tangga putranya kelak tidak seperti rumah tangganya yang kacau balau. Doa tulus dari sang ayah yang sesungguhnya sangat mencintai putranya.
"Sudahlah Langit, semuanya sudah kupikirkan secara matang. Ayah kenal baik dengan keluarga Bagaskara. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini satu-satunya cara untuk memisahkan Aland dengan gadis itu," Jelas Xavier lagi. Langit hanya menganggukan kepalanya patuh.
Xavier sangat membenci siapapun yang memiliki ikatan keluarga dengan wanita yang membuat rumah tangga Langit berantakan. Tetapi ini tidak sepenuhnya salah wanita itu. Langit juga sama bersalahnya. Andai saja dia tidak tergoda dengan wanita itu, andai saja dia tidak melakukan hubungan terlarang dengan wanita itu, andai saja dia bisa memegang teguh janji pernikahannya... Mungkin semuanya tidak akan serumit ini. Rumah tangganya tentu tidak akan berantakan dan putranya, Aland, bisa bahagia bersama dengan wanita pilihannya.
Maafkan aku Alena, dan maafkan Ayah, Aland. Maafkan Ayah yang sudah menghancurkan semuanya, batin Langit menjerit.
.
Thalita sedang duduk di ranjangnya dengan setumpuk buku tebal, sebuah laptop, dan bertumpuk-tumpuk tugas kuliah yang sebentar lagi akan deadline. Dia terlihat fokus mengetik di laptop miliknya, hingga suara ketukan pintu kamarnya membuat pikirannya beralih. Dia berdecak pelan lalu beranjak dari duduknya dan berjalan untuk membukakan pintu.
"Maaf Non Thalita, ada tamu di bawah," Ucap sang pelayan saat nona mudanya keluar.
"Iya, nanti aku turun," Thalita memberi senyuman kepada pelayan itu, yang mengangguk patuh kemudian beringsut pamit.
Thalita segera mengganti baju tidurnya menjadi baju yang lebih sopan, kemudian menuruni undakan anak tangga menuju ke arah ruang tamu dengan sedikit tergesa-gesa. Ia cukup penasaran siapa yang berkunjung ke rumahnya. Saat sampai di ruang tamu, mendadak langkah Thalita berhenti. Tubuhnya terpaku di tempat, dadanya tiba-tiba bergemuruh hebat. Ia mulai merasa keringat dingin bercucuran dari dahinya.
Mata Thalita terpaku kepada seorang wanita dan gadis kecil, tampaknya masih berusia kurang dari lima tahun, yang duduk dengan manis di sampingnya. Dia ingat gadis kecil itu adalah balita yang pernah bertemu dengannya dua tahun yang lalu, dan kini balita itu telah tumbuh. Tubuh Thalita semakin menegang saat melihat mata gadis kecil itu sangat mirip dengan mata hitam legam milik kekasihnya, warna mata yang khas di keturunan keluarga Aranka.
"Tante Raisa..." Lirih Thalita pelan, tetapi masih dapat didengar oleh wanita yang bernama Raisa tersebut. Wanita itu mengalihkan pandangannya dari gadis kecil yang duduk di sampingnya dan menatap lembut Thalita.
"Thalita, keponakanku yang cantik," Raisa tersenyum kepadanya dengan manis, tetapi Thalita tidak dapat membalasnya. Ia berusaha menguatkan diri untuk menghampiri wanita yang berstatus sebagai adik kandung dari ayahnya.
Thalita memilih duduk di sofa yang berhadapan dengan Raisa dan gadis kecil itu duduk. Dia masih belum bisa mengucapkan apapun setelah beberapa menit yang lalu. Lidahnya mendadak kelu untuk berbicara. Melihat keponakannya yang seperti itu membuat Raisa tersenyum maklum.
"Ayo perkenalkan dirimu, Sayang," Raisa menyuruh gadis kecil yang duduk di sampingnya itu. Gadis kecil itu mengangguk lalu menatap mata coklat teduh milik Thalita. Mata gadis kecil itu berbinar menyiratkan kekaguman melihat kecantikan yang terpancar dari wajah Thalita.
"Hai Kakak Cantik! Nama aku Larisa Putri Aranka. Kakak Cantik panggil aku Ica aja ya...!" Gadis kecil itu memperkenalkan dirinya dengan lengkap, senyuman manis khas anak-anak melebar di wajahnya.
Thalita hanya menatap Larisa, lalu wajah Raisa, dan kembali ke Larisa. Ia masih menemukan dirinya tidak bisa berkata apa-apa. Rasa takut yang selama ini terus membayanginya perlahan mulai menjadi kenyataan. Thalita sangat yakin dunianya akan berubah begitu ia mendengar gadis kecil itu menyebutkan nama belakangnya: Aranka.