ARANKA (2)
Sejak percakapannya dengan Thalita di rooftop tadi pagi, Aland merasa ada yang berubah dengan nya. Gadis itu menjadi lebih banyak diam. Biasanya ocehan ataupun candaannya selalu menemani suasana makan siang mereka. Tapi kali ini, mereka hanya makan dalam diam, tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya.
"Kamu marah, Thal?" Tanya Aland. Gadis itu hanya menatapnya dengan sinis. Ia meletakkan sendok yang digenggamnya dengan sedikit kasar, menimbulkan bunyi yang nyaring saat beradu dengan piring.
"Aku kecewa, ternyata selama ini kakak belum percaya sama aku..." Jawab Thalita sinis.
"Bukan begitu Thal, tapi —" Sebelum Aland selesai berbicara Thalita sudah menyelanya lebih dulu.
"Cukup kak Aland. Ga usah bicara sama aku kalau kakak belum bisa membagi apa yang kakak rasakan," Thalita tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya. "Aku udah kenyang, kakak lanjutin aja makan siangnya sendiri. Permisi."
Ia melangkah pergi meninggalkan Aland yang hanya bisa terpaku mendengar apa yang dilontarkan oleh gadis itu untuknya.
Bukan Aland tidak percaya pada gadis itu, hanya saja dia tidak ingin membagi bebannya dengan orang yang dicintainya. Apa salah jika dia hanya berbagi kebahagiaan dengan orang yang dicintainya? Aland mengacak rambutnya, frustasi. Sungguh makan siang yang sangat buruk, pikir Aland. Tak lama setelah kepergian Thalita, ponsel milik Aland berdering. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya membuat Aland berdecak pelan, kemudian mengangkatnya dengan raut wajah yang malas.
.
Interior yang megah dan elegan langsung menyambut Aland saat dirinya melangkah masuk ke dalam gedung perkantoran tersebut, salah satu perusahaan milik keluarga Aranka yang cepat atau lambat akan berada di bawah kekuasaannya. Berpasang mata melihatnya dengan heran, karena tidak biasanya generasi ketiga Aranka tersebut berkunjung ke perusahaan milik keluarganya. Yang membuat Aland menginjakkan kaki di perusahaan ini adalah sang Ayah. Dialah yang menelepon Aland dan memintanya untuk datang, atau lebih tepatnya memaksa. Aland penasaran, apa yang membuat sang Ayah memaksa dirinya untuk datang ke gedung itu.
Saat tiba di lantai paling atas, lantai khusus pemilik perusahaan, Aland langsung disambut oleh sekretaris ayahnya.
"Selamat siang tuan Aland, Anda sudah ditunggu Pak Langit di dalam." Sapa seorang wanita yang bernama Aura, sekretaris sang ayah.
Aland hanya meliriknya sekilas tanpa berbasa basi, lalu membuka pintu ruangan tersebut.
"Akhirnya kamu datang juga," Sambut Langit saat melihat pintu ruangannya terbuka, disusul oleh langkah putranya. Langkah Aland berhenti tepat di hadapan ayahnya yang sedang duduk di sofa. Tanpa membalas sambutan sang ayah, ia melirik sepasang suami istri, tampak seumuran dengan ayahnya, sedang duduk di sofa yang lain. Lirikannya membuat Langit mengerti apa yang dipikirkan oleh anak semata wayangnya itu.
"Aland, perkenalkan ini sahabat ayah, namanya Om Rendra dan istrinya, Tante Melisa," Ia memperkenalkan sepasang suami istri itu kepada anaknya. Pasangan tersebut tersenyum manis dan hanya dibalas senyuman tipis oleh Aland.
"Mereka adalah calon mertuamu." Sambung Langit.
Mendengarkan perkataan Langit sontak membuat Aland mengalihkan pandangannya dari mereka dan menatap tajam ayahnya, raut wajahnya menegang. Langit sudah memperkirakan reaksi ini yang akan ia dapatkan dari putranya.
"Apa-apaan Anda? Anda tidak berhak membuat keputusan sendiri, apalagi menyangkut kehidupan dan masa depan saya!" Ucap Aland dengan nada bicara yang sedikit tinggi.
"Hei anak muda, aku ini ayahmu! Semua ku lakukan untuk kebaikanmu, Aland. Tolong, mengertilah keputusanku," Langit berbicara dengan nada yang sedikit keras, berusaha untuk tidak terpancing amarah akibat mendengar perkataan sang anak. Jika ia marah, semuanya akan bertambah rumit.
"Terakhir kali Anda membuat keputusan, hidup saya hancur." Ucap Aland dingin, lalu berjalan keluar tanpa menghiraukan panggilan ayahnya untung kembali. Kalimat yang singkat tersebut membuat hati Langit bagaikan tertusuk ribuan jarum. Dia hanya menatap kepergian putranya itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
.
Aland memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, menyusuri jalanan sepi yang penuh dengan pepohonan di kiri dan kanannya. Beberapa jam kemudian, Aland sampai di kawasan Puncak, mencoba melarikan diri sesaat dari semua masalah yang menimpanya dalam seharian itu. Ucapan Kelvin, kemarahan Thalita, perjodohan konyol dari ayahnya, semua menumpuk menjadi satu di dalam kepala Aland, membuat kepalanya ingin pecah.
Akhirnya mobil sport milik Aland berhenti di sebuah villa yang dikelilingi oleh perkebunan teh. Villa ini adalah miliknya, hadiah dari sang bunda saat hari ulang tahunnya, villa yang meninggalkan banyak kenangan manis. Dulu ia sering berkunjung ke villa itu, menghabiskan waktu liburan dengan keluarga ataupun sahabat. Tapi semenjak kejadian dua tahun silam, Aland tidak pernah lagi datang ke villa tersebut. Dan sekarang ia kembali menginjakkan kakinya di sini. Ia ingin menikmati kesendiriannya, dan baginya, villa ini adalah tempat yang tepat untuk itu.
Saat Aland membuka pintu kayu jati yang berat tersebut, aroma cendana langsung menyerang indra penciumannya. Perlahan langkahnya membawa dirinya masuk ke dalam salah satu ruangan, ruangan terluas di villa itu, ruangan yang dulunya menjadi tempat favorit keluarga Aranka untuk berkumpul. Mata hitam legamnya meneliti setiap sudut ruangan tersebut. Semua masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Sebuah televisi besar yang tertempel di dinding, set sofa dan bantal-bantal berbulu yang lembut, foto-foto yang tertempel memenuhi salah satu dinding ruangan, guci-guci dan tumpukan buku yang tertata rapi di sebuah lemari kaca besar, dan salah satu benda favorit Aland, piano besar yang terdapat di sudut ruangan.
Setelah puas bernostalgia di ruangan tersebut, Aland pun melangkah ke arah pekarangan villa yang langsung terhubung dengan perkebunan teh milik keluarganya.
Ia duduk di sebuah ayunan kayu, ayunan yang dibuat oleh tangan ayahnya sendiri. Aland kecil sangat menyukai ayunan ini, bahkan ia tidak memperbolehkan orang lain untuk mendudukinya selain dia, ayah, dan ibundanya.
Aland mengeratkan jaket tebal yang menutupi tubuhnya. Dinginnya cuaca tidak membuat Aland melewatkan pemandangan yang disuguhkan di depannya, hamparan perkebunan teh yang luas dengan siluet cahaya senja yang memanjakan mata, aroma tanah dan daun teh yang segar dan menenangkan jiwa. Rasanya beban di pikirannya menghilang untuk sesaat. Bagi Aland tempat ini adalah penghibur hati yang lebih baik dari klub malam.
.
Thalita mencoba menghubungi Aland sejak kemarin, tetapi tidak ada balasan yang ia dapatkan. Thalita tidak mendapatkan kabar dari pria itu sejak makan siang mereka kemarin, bahkan hari ini pun Thalita tidak mendapatinya di kampus. Thalita tidak habis pikir, dirinyalah yang marah, namun malah Aland yang menghilang. Melihat Thalita duduk di kantin dengan wajah khawatir membuat Kelvin, yang tidak sengaja melihat gadis itu, menghampirinya.
"Hai," Sapa Kelvin. Ia menarik salah satu kursi dan duduk disamping Thalita.
"Eh, kak Kelvin," Balas Thalita dengan senyuman yang terlihat dipaksakan.
"Ada apa Tha? Kok khawatir banget kayaknya?" Tanya Kelvin. Thalita mengusap wajahnya kasar, lalu menatap Kelvin dengan serius. Bukannya menjawab pertanyaan Kelvin, gadis itu malah balik bertanya.
"Kak Kelvin liat Kak Aland gak?"
"Tadi sih dia nggak masuk kelas, dan aku juga belum liat dia dari tadi..."
"Nah itu masalahnya kak, aku juga gak liat Kak Aland dari tadi. Bahkan sejak kemarin kak Aland belum ngehubungin aku sama sekali. Aku telpon juga gak diangkat dan semua pesan aku juga belum ada yang dibalas..." Jelas Thalita panjang lebar dengan nada yang frustasi.
Perkataan Thalita membuat Kelvin ikut khawatir. Aland tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sesibuk apapun ia tidak pernah lupa untuk menghubungi Thalita. Namun Kelvin tau seperti apa sikap dan kebiasaan Aland. Dia akan menghilang dan mengurung diri jika dia terkena masalah besar. Saat ini pasti ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu.
"Gimana kalo kita ke rumah Aland?" Saran Kelvin. Senyum Thalita langsung mengembang.
"Ayo kak! Ya ampun, kok aku gak kepikiran ya? Kebetulan aku udah gak ada kelas lagi," Thalita kembali bersemangat.
"Yaudah ayo. Naik mobil kakak aja ya?"
Dibalas anggukan oleh Thalita, mereka berdua pun meninggalkan kantin.
.
Mobil Kelvin berhenti di depan mansion keluarga Aland. Mereka langsung disambut oleh seorang pelayan yang kemudian mempersilahkan mereka untuk duduk. Tanpa membuang banyak waktu, Kelvin langsung bertanya kepada pelayan tersebut.
"Aland nya ada?" Tanyanya.
"Maaf tuan Kelvin, dari kemarin Tuan Muda belum pulang. Saya terakhir kali lihat kemarin pagi saat Tuan Muda mau berangkat ke kampus," Jelas pelayan tersebut.
Sontak Thalita dan Kelvin saling bertatapan dengan raut wajah yang cemas.
"Yasudah makasih ya, Mba."
Pelayan itu pun mengangguk dan pamit untuk kembali mengerjakan pekerjaannya.
"Kak gimana nih?" Tanya Thalita pada Kelvin. Kelvin terdiam sesaat mencoba memikirkan di mana Aland berada. Seketika senyumnya mengembang. Sekarang ia tau ke mana sahabatnya itu pergi.