Tangan Adelio menyusup masuk kesaku celana, dia bersiul sambil melangkah santai menuju warung. Teman-teman dia menatap heran, kenapa Adelio begitu cepat balik ke Indonesia. Adelio duduk di tempat biasa, memesan secangkir teh kesukaannya.
“Kenapa cepat banget lo balik?” tanya Yudi, teman Adelio.
“Urusan gue di sana sudah selesai.” Jawab Adelio singkat, dia menyeruput teh yang baru saja disajikan.
“Gue dengar si Nevan sakit Leukimia ya? Gila padahal selama ini nggak pernah gue lihat dia sakit.” Ujar Yudi.
“Benar tuh, tapi ngapain sekalian nggak mati ya?” seru Kena.
Adelio melempar gorengan ke wajah Kena. “Jaga mulut lo!” serunya.
“Lo ngggak tahu terima kasih ya Ken, yang bantuin lo keluar dari kantor polisi siapa? Bokap Nevan kan?” Yudi juga tidak terima jika Kena bicara seperti itu, sebenarnya Nevan orang yang baik hanya saja hobinya bikin pandangan orang sama dia buruk.
“Hmm, ya sih...” lirih Kena.
“Meski kita nggak satu paham sama Nevan tapi kita bukan musuhnya. Gue nggak mau jadiin kalian penghianat.” Tegas Adelio.
“Penghianat?” kening Yudi berkerut.
“Yoi, dulu kalian dekatkan sama Nevan. Saat gue datang dan kalian malah ninggalin dia. Kalian jangan marah sama gue karena ini nyata.” Jelas Adelio.
Teman-teman Adelio terdiam, mencerna kata Adelio dengan cermat. Mereka dulu sempat menjadi teman Nevan, bermain bersama sampai kena masalah bersama. Karena sikap Nevan yang cukup egois, susah mengendalikan emosi mereka sering jadi pelampiasan Nevan akhirnya mereka menyerah dekat dengan Nevan dan kini malah memilih Adelio.
“Sekarang gue harus pergi, ada yang harus gue selesaikan.” Ujar Adelio, dia bangkit dari duduknya dan membayar teh tadi kemudian meninggalkan warung tersebut.
Adelio mencengkram erat kemudi motornya, melaju cepat dan membuat orang lain mengeluarkan sumpah serapah. Banyak yang membuat pikiran Adelio kacau, dia sudah lelah menutupi semua ini. Berpura-pura menjadi orang lain sehingga mengabaikan dirinya sendiri.
Saat sampai di rumah, rahang Adelio mengeras kedua tangannya mengepal siap mendaratkan pukulan tajam. Emosinya bergejolak melihat mobil mewah terparkir di rumahnya. Dia melangkah masuk, dia melihat Yori yang menangis mendekap kedua kakinya di lantai.
“Kamu tega ya Mas, tinggalin kami bertiga dan malah memiilih wanita itu...” mama Adelio menangis memegangi tangan suaminya.
“Saya tidak butuh kalian, kalian hanya membuat saya susah!” Bentak papa dia mendorong tubuh mamanya hingga tersungkur ke lantai.
“Kurang ajar, beraninya anda berlaku kasar sama mama saya.” Adelio menghadiahi sebuah pukulan pada papanya. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali.
“PERGI ANDA DARI RUMAH SAYA SEKARANG!!” Emosi Adelio telah mencapai titk tertinggi.
Papa Adelio langsung meninggalkan rumah tanpa sepatah kata. Adelio membantu sang mama berdiri dan membimbing ke sofa.
Adelio menyeka air mata mamanya. “Sudah mama jangan pikirin dia lagi, kita bisa hidup tanpa dia.”
“Tapi dia papa kamu nak, mama nggak mau kalian tumbuh tanpa seorang ayah...” lirih mama membuat hati Adelio makin sakit.
“Dari dulu dia nggak pernah jadi sosok ayah buat aku sama Yori ma.”
Mama Adelio diam, Adelio melangkah mendekati Yori yang masih menangis. Dia trauma melihat kedua orang tuanya selalu bertengkar di hadapannya. Adelio menarik Yori kepelukannya, berusaha menenangkan sang adik.
“Kamu nggak perlu nangis, abang bakalan jadi penganti sosok ayah buat kamu.” Bisik Adelio.
“Aku takut bang...” lirihnya.
“Abang selalu ada buat kamu kok Yori.” Adelio mengecup puncak kepala Yori.
Inilah hidupnya, berusaha tegar ditengah keluarga berantakkan. Ini juga alasan dari sikapnya yang kadang mengerikan dan suka bikin onar, hanya itu yang membuat dia sejenak melupakan masalah keluarga.
***
Dengan langkah gontai dan wajah lesu Adelio menelusuri koridor yang sudah ramai. Para siswi banyak membentuk kelompok untuk bergosip, dengan samar-sama Adelio mendengar mereka memujinya dengan tingkah lebay. Mood Adelio makin hanucr, biasanya dia akan menatap wajah Nessa untuk menenangkan hatinya tapi kini Nessa sedang berada di Jerman.
“Adelioooo.” Sambut Dea dengan suara cempreng, dia bergelayutan di lengan Adelio.
“Apaan sih.” ujar Adelio risih.
“Balikan yuk.” Ajaknya dengan manja.
Adelio berdecak kesal. “Lo apa-apan sih Dea, lepas nggak.” Suara Adelio sidikit meninggi, dengan sedikit tenaga akhirnya Dea terlepas dari lengan Adelio.
Bibir Dea manyun, dia bahkan tidak peduli dengan adik kelas yang menonton. “Gue sayang lo Lio, lo harus mau balikan sama gue, TITIK.” Ucap Dea penuh penekanan.
“Pacar lo lagi sakit Dea, lo sadar deh jangan aneh-aneh.”
“Bodo, gue sayang sama lo. Gue tahu kok lo masih suka sama gue!” tukas Dea.
Adelio mengehenalan napas beratnya, Dea terlalu pede berkata seperti itu. Adelio menyunggingkan salat satu bibirnya, tertawa getir. “Sok tahu lo! Gue nggak suka lagi sama lo malah ilfeel.”
“Jadi lo nggak mau nih balikan sama gue?” tanya Dea memastikan.
“TIDAK.” Jawab Adelio singkat, dia menyusupkan kedua tangannya kedalam saku celana.
“Oke, gue bakalan lompat kebawah. Lo kenal gue nggak setahu dua tahun Lio, gue nggak pernah main-main sama ucapan gue.” Ancam Dea yang sudah ambil ancang-ancang tuk terjun dari lantai dua.
Adelio berdecak kesal, sebenarnya jika Dea terjun dia tidak akan langsung mati hanya saja akan luka-luka atau patah tulang tapi itu akan membuat dia kembali terjebak dalam masalah. “Hufft, oke-oke kita balikan.” Kata Adelio dengan berat hati.
Dea tidak jadi terjun bebas, dia tersenyum bahagia.
Cup.
Dea mencium pipi Adelio sekilas dan mengajak teman-temannya pergi. “Huufft maafin gue Ness...” lirih Adelio dan kembali menuju kelasnya.
Anak kelas Adelio bisa dikategorikan pemalas, lima menit menuju bel baru lima orang datang. Adelio langsung menduduki bangkunya,hari ini dia sungguh tidak bersemangat terlebih dengan tingkah Dea tadi.
“WOIII.” Yudi menggebrak meja.
Adelio tersentak kaget, dia menaikan kepalanya dan menatap kesal Yudi yang lagi-lagi merusak moodnya. “Gila lo Lio, jadian sama Dea. Dia kan pacaranya Nevan, dan Nessa lo kemain? Gimana lo bisa ambil hati Nevan buat setujuin lo sama Nessa, pacar dia aja lo embat.” Omel Yudi.
“Lo tahu dari mana?”
“Lah sesekolah juga tahu kalian jadian bentar ini. Kayak nggak tahu si nenek lampir itu aja.” Oceh Yudi.
“Hmmm.” Adelio terlihat sangat gelisah.
“Terkadang cinta itu bikin pusing ya.” Celetuk Kena sambil geleng-geleng kepala.
Kelas yang ramai kini menjadi hening, Kena dan Yudi kembali duduk di tempat duduk mereka. Bu Susi datang dengan setumpuk kertas ulang kemarin. Adelio yang sudah muak dan tidak ingin belajar kemudian menyelonong keluar dari kelas.
“Adelio kemana kamu?” teriak Bu Susi tapi malah diabaikan begitu saja oleh Adelio.
“Dia lagi nggak mood bu, lebih baik dia keluar dari pada ngerusak jam ibu.” Sorak Kena dari belakang.
Bu Susi mengeluh, dia menutup pintu kelas dengan mulut masih komat-kamit tak jelas. Di luar dari jendela Adelio mengacungkan jempol pada Kena dan Yudi. Mereka sangat mengerti suasana hatinya yang tengah badai petir.
Adelio memilih menuju taman belakang sekolah karena disana sangat indah dan asri, tanaman yang beraneka ragam sangat memanjakan mata. Adelio teringat perkataan Yudi tadi, gila lo Lio, jadian sama Dea. Dia kan pacaranya Nevan, dan Nessa lo kemain? Gimana lo bisa ambil hati Nevan buat setujuin lo sama Nessa, pacar dia aja lo embat.
“Maafin gue Ness, gue nggak bisa nolak...” lirih Adelio gelisah.
Tak lama ada seseorang yang memegang kedua pundak Adelio, kemudian duduk disebelahnya. “Ck, nenek lampir. Kenapa bisa dia disini.” Decak Adelio dalam hati.
“Lo tahu gue disini dari mana?” tanya Adelio.
“Jangan panggil Lo gue dong kan nggak romantis, panggil aku kamu kayak dulu.” Kata Dea dengan manjanya.
“Apaan sih De, ini lingkungan sekolah bisa sopan nggak sih.” Adelio menepis tangan Dea yang ingin mengenggam tangannya.
Dea cemberut. “Tadi aku lihat kamu keluar yaudah aku ikutin kebetulan guru aku lagi izin.” Jelasnya.
Adelio menghelakan napas pasrah. “Lo nggak takut Nevan marah?”
“Aku-kamu!”
“Oke, kamu nggak takut Nevan marah?” tanya Adelio yang menahan sabar.
“Aku nggak peduli sama Nevan, penting aku sudah bahagia sama kamu.” Dea menyandarkan kepalanya kebahu Adelio.
Adelio bergeming, dia merasa bersalah pada Nevan dan Nessa. Lagi-lagi dia menjadi penghianat antara hubungan Dea dan Nevan dan pastinya telah membuat Nessa kecewa.
***
Dengan amat sangat terpaksa Adelio menemani Dea jalan-jalan menuju mall, membawa jinjingan penuh barang mewah kehendak Dea. Ini bukan uang Adelio, murni uang Dea karena dia juga anak orang kaya. Yang Adelio rasakan kini begitu hampa sangat beda saat dia pergi dengan Nessa yang penuh dengan canda tawa. Adelio mengeluh dalam hati, menatap sebal Dea yang sedari tadi tidak berhenti memilih barang-barang mewah.
“Siapa sih yang betah nungguin kamu gini, nggak ada habisnya?” tanya Adelio kesal.
“Kamu doang, Nevan mana mau gini. Boro-boro nemanin aku belanja, ajak jalan aja susah minta ampun.” Omel Dea, dia memamerkan sepatu yang dia coba pada Adelio.
“Hufft, cepat deh. Bentar lagi gue mau anterin adik gue les.” Pinta Adelio.
Dea mengangguk, dia membawa setumpuk barang ke kasir. Lagi-lagi Adelio mendesah pelan, apa asyiknya pacaran dengan cewek yang tidak di sukai. Sungguh dia menyesal telah mengenal Dea.
Kali ini Adelio membawa mobil, karena kalau dengan motor nanti nggak ada tempat buat mereka duduk sangking banyaknya barang Dea. Selama perjalanan Adelio banyak diam, dia resah dengan sikap Dea yang mengelus tangannya yang lagi megang stir mobil.
“Kamu nggak kangen kita dulu? Tertawa bersama, jalan bareng, main ke danau dan pantai. Duh bahagia banget.”
“Itu dulu, sebelum gue tahu lo itu pacarnya Nevan.” Tukas Adelio kesal.
“Hmmm.” Jawab Dea yang kini mengalihkan pandangan keluar jendela, seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
“Lo tahukan gue itu nggak suka sama lo Dea, perasaan gue itu sudah hilang. Lo seharusnya sadar lo sama Nevan itu masih pacaran. Apa lo nggak takut karma?” tanya Adelio.
“Kok kamu bicara gitu sih?” tanya Dea.
“Ingat ya Dea, gue terima lo cuman karena lo ngancam buat lompat bukan karena gue cinta sama lo.” Adelio menghentikan mobilnya tepat di dalam pagar rumah Dea.
“Ish.” Dea berdecak kesal.
Adelio turun dari mobil, mengeluarkan semua barang belanjaan Dea dan memasukkannya dalam rumah Dea. Saat Adelio sudah selesai dia kembali menatap mata Dea dengan tajam. “Sekarang lo pikirin baik-baik deh, lo nyia-nyiain Nevan orang yang sayang lo demi gue yang sama sekali nggak punya rasa pada lo.” Kata Adelio dengan tajam.
Tanpa menunggu Dea bicara, Adelio kembali masuk kedalam mobil. Memutar kemudi meninggalkan halaman rumah Dea. Adelio sedikit lega saat telah bicara seperti itu pada Dea, dia tidak ingin Dea menyesal dan malah mendapatkan karma.
***
Hari ini mood Adelio makin hancur, tapi karena di paksa sekolah oleh sang mama mau tak mau dia harus menurut. Kini setiap siswi sedang menggosipkannya, memberi julukan sebagai si tukang tikung. Adelio tidak menanggapi, toh ini bukan keinginannya hanya diancam saja.
“Tunggu.” Teriak seseorang menghentikan langkah Adelio.
Dia menoleh kebelakang sudah ada Dira, Intan, dan Tari yang menunggu. Mereka memberikan tatapan minta sebuah penjelasan yang bisa mereka terima.
“Ikut gue.”
Mereka berhenti di belakang sekolah, Adelio tidak ingin pembicaraan ini di dengar oleh banyak orang.
“Maksud lo apaan? Lo sudah beri harapan sama Nessa dan saat dia pergi lo malah jadian sama Dea.” Intan menatap tajam mata Adelio yang sama tajamnya.
“Ini bukan permintaan gue, gue nggak suka sama Dea!” bantah Adelio.
“Lo sudah nyakitin sahabat gue tahu nggak!” suara Tari meninggi.
“Gue harus apa coba, lo bayangin aja deh—“
“Lo kira sekarang kita lagi ngapain? Disuruh bayangin segala, nggak kerjaan kita.” Potong Dira.
Adelio menghelus dadanya, berusaha sabar. Ngadapin mereka bertiga seperti menghadapi emak-emak yang marah. Minta penjelas tapi pas dikasi penjelas malah dipotong dan tanbah dicerca.
“Gue kenal dia dari sd, dia nggak pernah main-main sama omongan dia. Kalau dia loncat, trus mati apa kalian mau tanggung jawab?” tanya Adelio.
Para gadis-gadis itu terdiam kemudian saling tatap dan menggeleng serentak.
“Nah itu kalian tahu kan, jadi jangan salahkan gue. Gue juga lagi mikir nih gimananya, gue nggak mau Nessa benci sama gue.”
“Yaudah deh, lo mikir sendiri gimana caranya. Bye” Intan mengajak teman-temannya pergi.
Adelio menghelakan napasnya, ini lebih menegangkan dari pada di introgasi oleh polisi saat dia tertangkap saat tawuran.
***
Hari ini bertepatan dengan acara tahunan sekolah, Dea tidak peduli dengan perkataan Adelio. Dia menarik paksa Adelio ke koridor yang kosong, meminta agar Adelio bisa menemaninya bercerita seperti dahulu. Dengan sedikit ancaman Akhirnya dia bisa membujuk Adelio yang sudah muak.
“Kamu tahu nggak aku itu sayang sama kamu.” Ucap Dea, dia menyandarkan kepalanya kebahu Adelio.
“Jijik gue.” ucap Adelio dalam hati.
“Ih kamu kok diam aja sih Lio.” Tanya Dea, bibirnya manyun.
“Gue harus apa Dea?” tanya Adelio dengan lembut meski maksa.
“Ya kita jalani dengan bahagia, seperti dahulu.”
“Huuft okelah.” Ucap Adelio pasrah.
Dea bercerita banyak, dari keluarga hingga hubungan pertemanannya. Dia tak berhenti mengoceh meski Adelio hanya jadi pendengar yang baik dengan hati yang lagi komat kamit minta waktu dipercepat. Adelio yang ingin berbahagia bersama teman-temannya harus mengurungi niatnya dan memilih menemani nenek lampir yang lagi ngucapin mantranya.
Mata Adelio sedari tadi menatap lurus kedepan, seketika dia terkesiap melihat siapa yang berdiri di lorong sana. Jarak mereka cukup jauh tapi mata mereka sempat beradu beberapa detik, dia Nessa yang langsung berlari. Adelio ingin mengejar tapi Dea masih ada disampingnya.
“Kamu kenapa Lio?” tanya Dea saat merasakan ada perubahan dari Adelio.
“Nggak apa-apa.” Jawabnya.
Adelio tertunduk, kini dia sudah membuat Nessa kecewa. Dia sudah seperti pria jahat yang bisa mengumbar kata cinta dan janji tapi malah berkhianat. Adelio mengepalkan kedua tangannya, menahan emosi yang bergejolak. Dia harus apa? Kini dia bak kata pepatah bagaikan buah simalakama.
Bagus banget siihh...
Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)