Loading...
Logo TinLit
Read Story - Someday Maybe
MENU
About Us  

Adelio dan mama balik ke Indonesia, Adelio tidak punya alasan banyak untuk libur sekolah sedangkan Daffa dan El tidak bisa ditinggal lama. Papa kembali dengan pekerjaannya yang super sibuk dan berjanji akan melihat Nevan pada jam istirahat. Sedangkan aku tengah menunggui Nevan bangun dari tidur, dia bahkan terlihat sangat menikmati mimpinya. Seraya menunggu Nevan, aku menata kamar Nevan agar terlihat rapi, disudut kamar aku meletakkan pot berisi bunga angrek yang sangat indah. Bunga itu aku minta dari penjaga kebun rumah papa.

            “Nessa..” lirih Nevan.

            “Kamu sudah bangun Van? Gimana keadaan kamu sudah baikan?” tanyaku yang melangkah mendekat.

            Nevan menjawab dengan anggukan, dia berusaha duduk tapi langsung aku cegah. Dia sepertinya sudah muak berada dikamar rawat yang sebenarnya sudah ditata seperti kamar pribadi.

            “Gue bosan Ness.” Keluhnya dengan wajah minta belas kasihan.

            “Nanti kita jalan-jalan ya keluar tapi aku izin dulu sama dokternya.” Ujarku.

            Aku melirik meja yang ada dikamar rawat Nevan, sudah ada bubur, minum, buah dan obat Nevan. “Kamu makan dulu ya Van, setelah itu baru minum obat.” Aku meraih semangkuk bubur tersebut.

            “Gue nggak lapar Ness.” Tolak Nevan, suaranya amat lembut terdengar.

            Aku mengehelakan napas, bahkan Nevan kini seperti anak kecil. “Van, lo nggak kangen gitu kesekolah? Ngumpul bareng Ali dan teman-teman?”

            “Kangen sih.”

            “Yaudah makan dong, gimana bisa sembuh makan aja malas.” Omelku.

            “Yaudah deh.”

            Aku membantu Nevan duduk, tubuhnya yang kurus makin membuat hati ini remuk. Benar diluar yang pernah aku bayangkan, senyuman Nevan, seringaiannya, tingkah belagunya kini seakan lenyap berganti dengan suara lirih hampir tak terdengar dan tenaganya sangat lemah. Perlahan aku menyuapi Nevan dengan bubur putih tersebut, sangat jelas jika Nevan terpaksa menelan bubur tersebut.

            “Dia sudah pergikan?” tanya Nevan menghentikan langkahku yang berniat meletakkan bekas mangkuk bubur tadi dia atas meja dekat pintu masuk.

            “Dia siapa?” tanyaku memastikan.

            “Adelio...” lirihnya.

            Benar apa yang Adelio cemaskan, Nevan tidak akan pernah menerima hubungan kami meski kini masih sebatas sahabat. Dia menyimpan dendam besar pada Adelio yang sebenarnya baik itu. Aku sejenak diam kemudian mengangguk, memaksa bibir ini tersenyum meski hati kini sedang gundah.

            “Bagus deh.”

            Aku meninggalkan Nevan sebentar dan menuju ruang dokter, aku kini makin bingung bagaimana bicara dengan dokter yang merawat Nevan toh aku tak fasih bicara Bahasa Inggris apalagi Bahasa Jerman. Aku yang sudah sampai di depan pintu ruang dokter tersebut dengan ragu mengetuk pintu, ada suara dibalik pintu dan aku meyakini dia berbicara “Silahkan masuk”. Dengan penuh kepedean aku membuka pintu, dokter tersebut menyambutku dengan senyuman hangat. Dia menghentikan aktifitas menulisnya, dan menyimpan buku kecil kedalam laci.

            Dengan susah payah aku merangkai kata, tapi sayang rangkaian itu masih campur aduk dan membuat bibir ini enggan terbuka.

            “Ada apa Nessa? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Dokter membuatku tercengang.

            “Hah? Dokter bisa bicara Bahasa Indonesia?” tanyaku dengan ekpresi masih tak percaya sekaligus malu, ngapain nggak dari dulu sih.

            “Bisa, sewaktu muda saya lama di Indonesia untuk menyelesaikan penelitian saya sampai saya punya istri di sana. Asli orang Indonesia, urang awak.” Ujar Dokter, wajahnya bule namun bibirnya sangat fasih berbahasa Indonesia.

            “Orang Minang ya Dok?”

            “Iya, oh ya ada apa kamu kesini ada yang bisa saya bantu?”

            “Saya hanya mau minta izin buat ngajak Nevan jalan-jalan, apa boleh?” tanyaku sekaligus minta izin.

            “Hmm, jalan-jalan ya,” pikirnya sejenak.

            Dokter itu berdiri, dia memperbaiki posisi jas putih yang dia kenakan. “Biar saya periksa dulu keadaan dia, jika sudah baikan dia bisa kamu ajak jalan-jalan.” Lanjut Dokter, aku mengangguk dan mengikuti langkahnya dari belakang.

            Saat pintu kamar rawat Nevan terbuka aku melihat Nevan tengah tertunduk dengan tangan memegang ponselku yang dia pinjam sebelum aku keluar kamar.

            “Kenapa? Baru kali ini saya lihat kamu tidak semangat gini?” tanya Dokter seraya membantu Nevan kembali berbaring untuk di chek.

            Nevan tersenyum kemudian menggeleng lemah, aku meraih ponselku yang dia letakkan di samping tubuhnya. Baru saja Nevan membuka galeri dan melihat fotoku bersama Adelio saat kabur dulu. Mungkin itu penyebab Nevan tertunduk lesu, mungkin saja dia ingin marah namun tenaganya tidak memungkinkan untuk itu.

            Aku menyimpan ponselku dalam saku kemudian mendekat saat dokter sudah selesai memeriksa kondisi Nevan. “Kamu boleh ajak Nevan jalan-jalan, tapi jangan jauh-jauh sekitar rumah sakit ini saja. Nanti saya akan nyuruh perawat untuk mengantarkan kursi roda.” Jelas Dokter dan aku mengangguk paham.

            “Makasih dok.”

            “Sama-sama, saya pamit dulu ada pasien lain yang harus saya periksa.”

            Tak lama perawat datang membawa kursi roda untuk Nevan, kami membantu Nevan pindah ke kursi tersebut. “Thank you.” Ucapku dan perawat itu membalas dengan anggukan.

            “Apa perlu saya bantu Nona?” tanya seorang pria dengan tubuh kekar yang selalu berdiri di depan ruang rawat Nevan selama 24 jam.

            “Nggak usah pak, saya bisa sendiri.” Tolakku secara baik-baik.

            “Baiklah Nona, saya akan mengawal kalian.” Ucapnya membuat aku risih.

            Aku menatap Nevan, tapi dia malah menggeleng tak tahu menahu. Aku kembali mendorong kursi roda meninggalkan kamar rawat Nevan yang masih di jaga oleh pria bertubuh kekar lainnya. Aku serasa jadi anak mafia.

            Pria itu mengerti dengan sikapku, dia mengambil jarak sekitar lima meter dari kami. Nevan juga tidak berbicara sedari tadi, matanya menatap kosong lorong yang kami lalui. Pasti Nevan tidak pernah membayangkan akan seperti ini, kehidupannya yang penuh dengan kenakalan remaja berakhir di ranjang rumah sakit dengan peristiwa yang tidak terlupakan itu. Aku juga pernah bertanya bagaimana rasanya meninggal itu dan Nevan tak sanggup membuka mulutnya.

            Aku menghentikan kursi roda Nevan di taman rumah sakit, tangannya mengenggam erat tanganku. “Gue egois.” Ucap Nevan, suara berat dia mulai terdengar jelas.

            “Gue selalu gonta ganti pacar dan gue nggak pernah ngizinkan lo punya pacar. Gue egois Ness, gue nggak mau cinta lo terbagi ke laki-laki lain, gue nggak sanggup.” Ucapnya membuatku terdiam.

            “Gue egois, gue selalu nggak terima ada cowok yang dekatin lo. Jika pun ada cowok itu selalu berurusan sama gue, sumpah Ness gue belum siap perhatian lo ke gue pindah ke orang lain..” lirihnya.

            Aku tersenyum, menatap matanya yang indah. “ Kamu salah, cinta aku sama kamu itu nggak akan pernah terbagi sama siapa pun karena itu spesial Nevan. Kamu kenapa bisa berfikiran seperti itu sih Van?” aku terkekeh kenapa Nevan bisa cemburu seperti itu.

            Bibir Nevan manyun. “Serius Nessa gue nggak bercanda.”

            Aku memegang tangan Nevan, kini menatap matanya lebih dalam lagi. “Iya Nevan, aku tahu. Jadi aku harus jadi perawan tua gitu ya?” aku menatap keatas seolah berfikir keras.

            “Ya nggak gitu juga kali Ness, ya gue bakalan lepasi lo kalau lo dapat yang pantas buat lo setidaknya bisa gantiin posisi gue saat nggak ada lagi.”

            Deg!

            Aku terdiam, aku sudah trauma di tinggal Nevan. Mendengar kata-kata itu hatiku serasa dipanah oleh ribuan anak panas sekaligus.

            Brukk! Aku memeluk erat tubuh kurus Nevan.

            “Van tolong jangan ngomong gitu, aku  nggak sanggup pisah sama kamu. Jangan tinggalin aku lagi, bodolah mau jadi perawan tua kek atau nggak nikah asalkan sama kamu terus. Kamu tahukan aku nggak bisa hidup tanpa kamu, lebay sih tapi itu memang benar Van. Please jangan tinggalin aku.” Air mataku jatuh membasahi bahunya, perlahan aku merasakan tangan Nevan membalas pelukan itu. Sungguh aku tak sanggup kehilangan dia untuk kedua kalinya.

            “Janji ya jangan tinggalin aku?” bisikku.

            “Iya Ness, kamu janji juga ya jangan tinggalin aku. Kita sama-sama kayak dulu lagi ya.” Balas Nevan. Kami seolah seperti sepasang anak muda yang tengah dimabuk cinta, saling mendekap dengan erat dan tidak memperdulikan orang yang melintas. Dari kejauhan aku melihat papa tersenyum dan mengacungkan jempol padaku. Dia papaku yang terbaik, selalu menepati janjinya untuk menyisihkan waktu melihat kondisi Nevan.

***

            Aku menatap papa membantu Nevan kembali ke atas kasur, pikiranku melayang soal acara tahunan sekolah yang akan diadakan dua hari lagi. Tahun ini ada tahun paling kacau, aku melakukan hal yang amat besar, membuat semua tugas Nevan terbengkalai, keluargaku berantakkan dan sekarang Nevan sakit dan aku sempat kehilangan untuk sementara. Kak Atahala sempat menghubungiku tadi malam, dia yang baru tahu jika menghilangnya Nevan karena sakit segera minta maaf kepadaku, dia juga meminta aku tidak perlu memikirkan acara tahunan karena dia sudah mengatasinya.

            “Hei sayang kenapa bengong mulu?” tanya papa membuatku tersentak.

            Aku menggeleng. “Nggak apa-apa kok pa.” Jawabku.

            Papa duduk disampingku, tangannya mengusap lembut rambutku. Wajar jika papa menjadi perebutan para wanita, tatapannya lembut wajahnya ganteng dan dia juga kaya. Aku mengusir  pikiran gilaku, masa aku jatuh cinta sama papa sendiri.

            “Gimana kabar Adelio? Kalian pacaran?” tanya papa.

            Aku melirik Nevan, dia membalas tatapanku dengan tajam. Tak lama aku menghelakan napas, sepertinya aku tidak akan bisa pacaran sama Adelio. “Dia baik pa, kami cuman sahabatan doang kok.” Jawabku lesu.

            Papa terkekeh, sepertinya dia tahu konflik yang tengah aku hadapi. “Kembaran kamu itu ya selalu aja bikin papa pusing, cemburuan banget.” Ejek papa.

            Nevan mendengus, dia menutup wajahnya dengan selimut. Ah Nevan, kenapa kamu terlalu ikut campur dalam urusan perasaanku dan mau tak mau aku harus menomor satukan dirimu. Aku menatap papa dengan gundah, dia mengerti dan menarik tubuhku dalam pelukannya. “Papa ngerti kok, nanti papa bakalan bicara sama Nevan ya. Kamu pulang dulu beres-beres, besok kita kembali ke Indonesia kasian kamu sering banget ketinggalan pelajaran...” lirih papa di dekat telingaku.

            “Tapi Nevan pa?”

            “Dia juga ikutan balik, di rawat di Indonesia saja.”

            “Baik pa.”

            Aku pamit pada Nevan yang pura-pura tidur, bersama pengawal papa aku keluar dari rumah sakit. Aku paham jika papa sangat cemas jika membiarkanku sendiri di negeri Jerman ini. Pengawal itu selalu mengambil jarak denganku, agar aku tidak risih.

            Brukkk.

            Sepertinya aku menabrak sesuatu, ya tanpa aku sadari aku membuat seorang pria seumuranku terjatuh ke lantai. Aku yang cemas segera membantunya berdiri, dia sepertinya bukan asli Jerman. Kulitnya sawo matang, rambut hilang dan manik matanya warna hitam, jauh dari ciri-ciri orang di sini.

            “I’m sorry.” Ucapku penuh penyesalan.

            “Yeah, beautiful girl.” Lirihnya memperhatikan diriku dari atas sampai bawah.

            “Maaf Nona, kita harus pergi. Sampai telat waktu akan membuat saya dimarahi sama Tuan.” Ucap pengawal berbadan kekar itu.

            Aku mengganguk dan meninggalkan pria tadi. Saat aku sudah berada sepuluh meter dari posisi tadi aku menoleh kebelakang, pria itu masih diam terpaku. Aku rasa dia punya garis keturunan orang Asia. Aku kembali menatap lurus lorong rumah sakit, pengawal papa sama saja protektif seakan tidak mengizinkanku untuk berkenalan dengan orang disini.

            Pintu mobil terbuka, aku dipersilahkan masuk. Aku menurut saja dan duduk disebelah sopir yang sudah lama aku kenal. Sopir papa yang selalu ikut kemana papa pergi, namanya Mas Ayup umurnya tidak terlalu tua sekitar 32 tahunan. Dia sudah menikah dan mempunyai anak dua. Mas Ayup tidak seperti sopir lain, dia sudah papa anggap sebagai teman.

            “Bapak ganteng, Ibu cakep dan anaknya sudah kayak bidadari aja.” Puji Mas Ayup sebelum menjalankan mobil.

            “Ah Mas Ayup bisa aja, selalu ngomong gitu kalau ketemu saya.” Ucapku yang sudah bahagia karena pujian itu.

            “Hahaha iya Neng, oh ya ini diantarkan ke rumah mana ya Neng?” tanya Mas Ayup membuatku bingung.

            “Lho? Bukannya rumah papa cuman satu ya Mas?”

            “Ah si Neng nggak tahu aja si bapak yang suka beli rumah mewah, saya tanya buat apa selalu aja bilang buat Neng Nessa.” Ucapan Mas Ayup membuatku makin menyayangi papa.

            “Ohh gitu ya Mas, rumahnya itu besar banget mas banyak pelayan gitu.” Ucapku menjelaskan ciri-ciri rumah yang kemarin aku hunyi.

            “Lah yang bilang rumah si Bapak kecil siapa Neng? Mana ada, rumahnya mewah-mewah gitu, apalagi hadiah dari teman si Bapak bikin saya iri.” Oceh Mas Ayup membuatku penasaran tentang papa.

            “Hadiah dari teman?”

            “Bapak itu punya teman bisnis diberbagai negara, hubungan mereka sangat baik sampai bapak di hadiahi Rumah mewah.”

            Aku mengangguk paham. “Ah saya kira mungkin rumah itu deh Neng, soalnya rumah itu yang paling istimewa dan isinya foto Neng Nessa semua sampai bikin saya bingung karena setiap ruangannya juga di tata semirip mungkin satu sama lain.” Ucap Mas Ayup. Mungkin rumah itu yang aku maksud dengan seribu foto candidku yang terpampang.

            Sesampai di rumah megah itu aku segera di antarkan ke kamar, pastinya pelayanlah yang mengantarkanku karena rumah ini begitu besar dan ruangannya juga sama semua akan memperbesar kemungkinanku akan tersesat jika sendirian.

            Aku baru ingat jika tadi aku pulang dari rumah sakit membawa dompet tapi kemana dompet itu. Tidak ada dokumen penting dalam dompet itu hanya saja dompet tersebut hadiah ulang tahunku dari Nevan beberapa tahun yang silam. Mampus deh, aku bakalan dimarahi.

            Pelayan rumah membantuku beras-beres, dia memasukan barang-barangku kedalam koper dan kembali mendorong koper itu keluar menuju parkiran tempat Mas Ayup menunggu. Aku sangat takjub dengan orang-orang yang bekerja pada papa, mereka sangat disiplin dan sigap melakukan segala sesuatu tanpa ada papa.

            Aku tidak langsung menuju mobil, sejenak aku membaringkan tubuh pada kasur empuk. Papa meminta aku untuk beristirahat dulu, menghilangkan rasa gundahku. Aku masih berfikir kenapa hidupku sangat susah untukku rancang, kenapa selalu ada saja kejutan yang terkadang membuatku bahagia dan tak jarang membuatku drop atau malah putus asa.

 

***

            Dua jam kemudian aku keluar dari kamar, pelayan yang ada di rumah ini menyambutku dengan sennyuman mereka. Hanya ada dua orang pelayan yang bisa berbahasa Indonesia selebihnya berbahasa Inggris dan Jerman. Aku menaiki mobil Mas Ayup, kali ini dia tidak banyak bicara dan mengantarkanku ke rumah sakit. Pengawal papa tadi tidak mengiringi aku, mungkin dia tidak tahu jadwalku ke rumah sakit.

            “Hey,do you remember me?” pria yang ku tabrak tadi menghentikan langkahku menelusuri lorong.

            “Yeah, I remember.

            “My name Delar.”

            “Hello Delar, my name Nessa i come from Indonesia.” Aku membalas jabatan tangannya.

            “Ooh kamu dari Indonesia? Mama dan papaku juga orang sana,” ujarnya bersemangat, oh syukurlah dia orang indonesia aku nggak perlu repot merangkai kata berbahasa ingris, heheh.

            “Boleh bicara sebentar?” lanjutnya.

            Aku mengangguk, toh aku juga bosan bolak balik rumah sakit. Delar mengajakku menuju cafe disebelah rumah sakit. Cafe ini terkesan klasik, benda-benda berbau antik terpajang di sini. Adelar begitu semangat, dia menarik kursi dan mempersilahkan aku duduk. Dia juga fasih berbahasa Jerman terbukti dari percakapannya dengan pelayan cafe. Aku hanya memperhatika delar, wajahnya tampan apalagi hidungnya yang mancung. Betul apa yang aku perkirakan dia adalah orang Asia tepatnya Indonesia.

            “Sudah lama aku tidak ketemu sama orang Indonesia.” Ucapnya sesaat pelayan tadi pergi.

            “Oh ya?”

            Delar menggangguk. “Aku bahagia banget sih, oh ya aku nemuin dompet kamu saat nabrak aku.” Dia mengeluarkan dompetku dari tas ranselnya.

            “Makasih banyak ya Delar.”

            “Sama-sama.”

            Aku begitu canggung bicara sama orang baru apalagi dengan orang yang kutemui di negeri yang sebelumnya pernahku injak. Tapi seketika canggungku hilang, delar bisa mencairkan suasana hatiku yang membeku dengan tawanya yang unik. Sungguh aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan tapi melihat dia tertawa aku juga ikutan tertawa.

            “Kamu yang pemalu atau aku ya yang malu-maluin?” tanyanya.

            “Hmm, aku rasa kamu deh yang malu-maluin.” Tuduhku yang sebenarnya benar.

            “Hahaha, ya sih aku memang gini orangnya cerewet dan bikin orang tidak betah sama aku. Oh ya Btw kamu ngapain ke Jerman? Belajar?” tanyanya.

            “Bukan saudara aku di rawat di rumah sakit sini.”

            “Hmm, semoga cepat smbuh ya saudara kamu.”

            “Aminn.”

            Tak lama pelayan datang, beberapa makanan tersaji di depanku. Aku ragu untuk memakannya, toh ini makanan belum jelas halal atau tidak.

            “Ayok makan Ness, insyaallah di jamin halal kok. Yang punya ini cafe masih keluarga aku.” Ucap Delar yang mengerti dengan tatapan bingungku.

            Pantas saja delar akrab dengan pelayan tadi dan tak tanggung-tanggung dia mentraktirku dengan makanan mahal. “Kamu kok bisa baik banget sih sama aku? Bukan kah kita baru kenal?” tanyaku bigung.

            “Oh itu, aku bahagia banget bisa ketemu orang Indonesia. Sekali ketemu ya aku traktir deh, hehehe aku kangen sama tanah kelahiranku itu.” Ucap Delar, dia menyuap daging masuk dalam mulutnya.

            “Sudah berapa lama kamu nggak ke Indonesia?”

            “7 tahun, mama dan papaku belum ada waktu untuk pulang kampung. Rencana sih bulan ini dia mau pindah ke Indonesia, ada proyek di sana. Semoga kita ketemu ya Ness.” Ujarnya berapi-api, baru kali ini aku bertemu dengan cowok penuh semangat seperti Adelar.

            “Semoga.” Jawabku singkat.

            Pertemuan kali serasa begitu cepat, kami berpisah di depan rumah sakit. Aku kembali menuju kamar rawat Nevan, saat membuka pintu papa memeluk tubuhku.

            “Kamu kemana aja sayang? Sadari tadi Mas Ayup nganterin kamu kenapa baru kesini?”

            “Maaf pa, tadi Nessa ketemu teman baru. Dia ngajakin Nessa makan dulu.”

            “Ya allah, kamu kenapa bikin papa cemas mulu deh Nes. Kan bisa ngomong dulu, ini nggak di Indonesia loh, kalau kamu hilang mau papa cari kemana?” omel papa.

            Aku tahu jika papa sudah trauma dengan tingkah konyolku dulu, dia yang protektif sebenarnya hanya menginginkan aku tetap aman. Aku minta maaf karena lupa memberi tahu dan terlebih ponselku berada didalam koper tadi. Aku melirik Nevan yang tertidur pulas, syukurlah dia tidak mengetahui jika aku sempat menghilang sebentar.

            “Kamu tadi bicara teman baru? Siapa, kapan kalian ketemu?”

            Aku menceritakan kisah awal mulaku ketemu Delar sampai kami makan bersama di cafe milik keluarganya. Ternyata papa mengenal orang tua Delar, dia teman bisnis papa yang juga akan balik ke Jerman pada bulan ini. Syukurlah papa mengenal keluarga Adelar, jadi aku tidak perlu pusing menjawab pertanyaan papa lagi.

***

            Perjalanan yang amat melelahkan, akhirnya aku, papa, dan Nevan sampai di rumah kami di Indonesia. Keadaan Nevan yang membaik sebelum berangkat membuat dia tidak perlu lagi di rawat di rumah sakit. Kini Nevan kembali beristirahat dikamar yang sudah dia tinggalkan hampir sebulan.

            “Kakak Daffa kangen sama kakak, Daffa kira kakak nggak bakalan balik lagi. Hikss.” Dia menangis memeluk kakiku, aku yang merasa tersentuh segera menggendong tubuh Daffa yang semakin berat. Dia melingkarkan kedua tangannya keleherku dan masih saja menangis. Aku terkadang terharu dengan keluarga kecilku ini, mereka sangat mencintaiku sampai di tinggal sebentar sudah cemas.

            “Jangan nangis ah Daffa, kakak kan disini.” Ucapku seraya menyeka air mata Daffa yang tumpah.

            Daffa menggeleng, dia makin menjadi-jadi karena sekali dia nangis disusah buat nenangin. “Bang Nevan lagi sakit nanti dia keganggu.” Bisikku.

            “Daffa mau ketemu bang Nevan.” Pinta Daffa tersedu-sedu.

            Aku membawa Daffa ke kamar Nevan, ternyata Nevan tidak tidur dia memandangi langit-langit kamar dengan wajah gelisah. Aku mendudukkan Daffa diatas ranjang Nevan yang kosong dan duduk disebelahnya. Daffa yang nakal bin ngeselin tanpa terduga mengigit tangan Nevan.

            “Awwww.” Nevan meringis kesakitan.

            “Kamu ngapain Daffa, kasihan Bang Nevan.” Ucapku sedikit memarahi, tenaga Nevan yang belum maksimal membuat dia harus merem melek menahan sakit di tangannya. Aku mengusap lembut tangan bekas gigitan Daffa.

            Daffa menangis bahkan lebih parah, aku makin bingung mau ngapain. Nevan kesakitan karena mendapat gigitan mendadak sedangkan Daffa menangis karena aku marahi. “Kamu nggak apa-apakan Van?” tanyaku, Nevan mengangguk.

            “Bentar ya aku ajak Daffa keluar dulu.” Pamitku menggendong Daffa keluar, saat didepan pintu aku berpapasan dengan papa dan memberikan Daffa kepadanya. Papa punya cara ampuh membuat Daffa diam.

            Aku kembali masuk dalam kamar Nevan, gigitan Daffa membuat dia meringis kesakitan. “Mungkin Daffa kangen sama kamu Van, biasanyakan kalian sering bergelut dan suka gigit-gigitan.” Ujarku.

            “Iya Ness, tapi gue nggak punya tenaga cukup buat main sama Daffa.”

            “Iya gue ngerti kok, sekarang lo istirahat gih sudah malam juga.” Aku mengecup kening Nevan, adegan seperti ini aku merasa pacaran sama Nevan.

            Nevan mengangguk, sebelum meninggalkan kamar aku menarik selimut Nevan hingga dadanya kemudian mematikan lampu dan menghidupkan lampu tidur. Dari pada ngelihat Nevan seperti ini lebih baik aku melihat Nevan yang bergairah memukuli anak orang sampai babak belur, mengerikan sih tapi setelah melakukan itu Nevan terlihat lebih bahagia.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • rahmalief

    Bagus banget siihh...

    Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)
Similar Tags
Menghukum Hati
423      248     0     
Romance
Apa jadinya jika cinta dan benci tidak bisa lagi dibedakan? Kau akan tertipu jika salah menanggapi perlakuannya sebagai perhatian padahal itu jebakan. ???? Ezla atau Aster? Pilih di mana tempatmu berpihak.
AVATAR
7613      2169     17     
Romance
�Kau tahu mengapa aku memanggilmu Avatar? Karena kau memang seperti Avatar, yang tak ada saat dibutuhkan dan selalu datang di waktu yang salah. Waktu dimana aku hampir bisa melupakanmu�
My X Idol
15176      2374     4     
Romance
Bagaimana ya rasanya punya mantan yang ternyata seorang artis terkenal? Merasa bangga, atau harus menutupi masa lalu itu mati-matian. Seterkenal apapun Rangga, di mata Nila ia hanya mantan yang menghilang ketika lagi sayang-sayangnya. Meski bagi Rangga, Nila membuat hidupnya berwarna. Namun bagi Nila, Rangga hanya menghitam putihkan hatinya. Lalu, apa yang akan mereka ceritakan di kemudian hari d...
Light in the Dark
1846      799     3     
Romance
Reminisensi Senja Milik Aziza
847      446     1     
Romance
Ketika cinta yang diharapkan Aziza datang menyapa, ternyata bukan hanya bahagia saja yang mengiringinya. Melainkan ada sedih di baliknya, air mata di sela tawanya. Lantas, berada di antara dua rasa itu, akankah Aziza bertahan menikmati cintanya di penghujung senja? Atau memutuskan untuk mencari cinta di senja yang lainnya?
Koude
3343      1195     3     
Romance
Menjadi sahabat dekat dari seorang laki-laki dingin nan tampan seperti Dyvan, membuat Karlee dijauhi oleh teman-teman perempuan di sekolahnya. Tak hanya itu, ia bahkan seringkali mendapat hujatan karena sangat dekat dengan Dyvan, dan juga tinggal satu rumah dengan laki-laki itu. Hingga Clyrissa datang kepada mereka, dan menjadi teman perempuan satu-satunya yang Karlee punya. Tetapi kedatanga...
Stuck In Memories
15130      3109     16     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
Rela dan Rindu
8304      2134     3     
Romance
Saat kau berada di persimpangan dan dipaksa memilih antara merelakan atau tetap merindukan.
always
1132      611     6     
Romance
seorang kekasih yang harus terpisah oleh sebuah cita-cita yang berbeda,menjalani sebuah hubungan dengan rasa sakit bukan,,,bukan karena saling menyakiti dengan sengaja,bahkan rasa sakit itu akan membebani salah satunya,,,meski begitu mereka akan berada kembali pada tempat yang sama,,,hati,,,perasaan,,dan cinta,,meski hanya sebuah senyuman,,namun itu semua membuat sesuatu hal yang selalu ada dalam...
Dua Sisi
7919      1800     1     
Romance
Terkadang melihat dari segala sisi itu penting, karena jika hanya melihat dari satu sisi bisa saja timbul salah paham. Seperti mereka. Mereka memilih saling menyakiti satu sama lain. -Dua Sisi- "Ketika cinta dilihat dari dua sisi berbeda"