Adelio mengantarkanku pulang dengan sepeda motornya, sesampai di rumah aku mendapati Daffa tengah bermain dengan El yang tentunya ditemani oleh baby sister. Aku tidak melihat kehadiran mama, dengan penuh penasaran aku menuju kamar mama. Kosong, yap tidak ada mama di sana. Apa mungkin mama telah berangkat ke Jerman, kalau iya kenapa secepat ini atau kondisi Nevan makin parah. Mungkin kalian bingung dengan ceritaku, diawal disebutkan kalau Nevan mengidap penyakit kanker paru-paru dan sekarang malah terkena kanker darah, apakah bisa seseorang mengidap penyakit kanker lebih dari dua, jika jawabannya iya apakah bisa bertahan lama. Kini aku juga masih bingung, mama dan papa menutup kondisi Nevan dariku dan Nevan juga tidak bisa dihubungi.
“Mama mana ya mbak?” tanyaku pada pengasuh El.
“Mama berangkat ke Jerman non, kelihatan tergesa-gesa gitu.” Jawabnya.
Aku mengangguk, kasihan El dan Daffa selalu saja kurang mendapat perhatian karena aku dan Nevan. Aku mencium pipi El yang lembut, dia tersenyum dan menarik pelan rambutku. “Jangan nangis ya sayang kakak.” Bisikku dan kembali El tersenyum bahagia.
“Kakak bang Nevan kemana sih? Kenapa dia nggak balik-balik?” tanya Daffa yang sudah mulai penasaran.
“Bang Nevan sakit sayang, jadi nggak bisa balik ke sini.”
“Kenapa aku nggak boleh lihat bang Nevan sakit kak? Kan waktu kakak Nessa sakit aku selalu di samping kakak, pasti bang Nevan sedih karena sendirian.” Gumam Daffa yang ada benarnya. Aku sejenak terdiam, bahkan Daffa sebagai adik Nevan saja bicara seperti itu. Aku serasa dipukul oleh bola besar, benar Nevan pasti sedih karena sendirian padahal sejak dahulu kami selalu berdua.
“Iya sayang, kamu sudah mamam?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Sudah kak, aku mamam di rumah celsi wih masakan mama dia juga enak loh kak. Daffa suka.” Puji Daffa dengan senyum mengembang, deretan gigi opongnya kini terpampang nyata.
Aku tersenyum, mengacak rambut Daffa yang halus kemudian menggendong dia dan membawanya kekamar. “Mbak Elnya bawa kekamar aja ya, soalnya Daffa belum tidur siang nanti malam dia rewel.” Suruhku.
“Baik non.” Pengasuh El langsung membawanya ke kamar.
Di kamar aku menidurkan Daffa, menceritakan dongeng yang banyak aku karang sendiri. Saat Daffa telah terlelap aku kembali mencoba menelpon Nevan.
“Haii.” Sapa Nevan, kami tengah vidio call. Hatiku serasa ditusuk ribuan duri saat melihat bibirnya yang pucat.
Aku tak menjawab sapaan Nevan, air mataku tak lagi bisa terbendung. Sudah berulang kali aku menyeka air mata itu tapi sebanyak aku menyeka sebanyak itu pula air mataku jatuh berderai. Nevan hanya hening melihatku, dia pasti tahu apa yang tengah aku rasa.
“Gue baik-baik aja kok Ness.” Dia kembali angkat suara setelah lima menit menyaksikan aku menangis.
“Ba..baik lo bilang? Van jangan sok tegar deh.” Ucapku dengan bibir bergetar.
Kembali hening, aku yang tertunduk kini kembali menatap layar ponsel. Dia menangis, sudah lama aku tidak melihat Nevan menangis seperti ini. Tuhan cepatlah kau sembuhan Nevan, atau pindahkan semua sakitnya padaku, aku bersedia asalkan dia bisa tersenyum kembali seperti dahulu.
“Sakitt Ness, sakit banget. Apalagi lihat lo gini, semuanya makin sakit.” Lirihnya dengan suara parau.
“Hikss, Van please bertahan. Jangan tinggalin gue, lo tahukan gue nggak bisa hidup tanpa lo.” Ujarku terisak.
Nevan menyeka air matanya, setengah jam aku dan Nevan menangis bersama sampai akhirnya aku tertidur. Saat aku bangun, panggilan vidio telah terputus. Ya, rasa gundah kembali menyelimuti hatiku. Bagaimana keadaan Nevan sekarang, tapi saat dihubungi nomornya tidak lagi aktif.
***
“Loh kok lo pucat banget Ness? Mata lo juga sembab.” Dira menghampiriku yang baru melangkah memasuki kelas.
“Nevan Dir, dia makin parah.” Ucapku nyaris tidak bersuara.
“Astagfirullah, lo yang sabar ya Ness. Gue selalu doain yang terbaik buat dia, semoga Alla mengangkat semua sakitnya.” Doa Dira.
“Aamiin.” Teman sekelasku yang sudah datang ikut mengaminkan
Rasaku cukup terobati, aku menarik sudut bibirku untuk tersenyum tanda terima kasih. Tidak lama kemudian Adelio datang dengan tergesa-gesa, melihat ekspresinya jantungku serasa mau copot. Apa yang terjadi kenapa Adelio terlihat cemas.
“Ikutin gue Ness.” Pintanya, aku langsung mengikuti langkah Adelio menuju samping sekolah.
“Kenapa Lio, ada apa, kenapa harus disini?” tanyaku penasaran.
“Sebentar ini, mama lo nelpon gue.” Ucapnya.
“Trus?”
“Nevan kritis, dia minta gue nemanin lo ke Jerman sekarang juga. Om lo sudah ngatur semua keberangkatan kita Ness.”
“Ya tuhan Nevan.” Aku tidak bisa menepis bayang-bayang buruk yang akan terjadi di benak ini, aku belum siap kehilangan dia, aku belum siap sendiri tanpa Nevan.
Tulangku serasa rapuh, aku tersimpuh di lantai menangis saat mengingat kata-kata Adelio. Nevan kritiss!
“Ness, lo yang kuat. Harus kuat, jangan gini lo harus kuat Ness.” Ucap Adelio berusaha membantuku bangkit, tapi aku tak bisa aku kini benar-benar dalam kondisi amat rapuh.
Hari ini aku dan Adelio berangkat ke Jerman, ini diluar rencana kami. Aku masih menggunakan seragam sekolah, mungkin karena tidak mood ngapain aku menolak untuk mengganti pakaian. Adelio selalu ada di sampingku, dia selalu berusaha mengkuatkan diriku. Tapi yang aku butuh adalah Nevan bukan kata-kata puitis yang tengah Adelio rajut. Perjalanan kami sangat panjang, Adelio sudah tertidur di sampingku sedangkan aku masih berkutat dengan pikiranku sendiri seraya berzikir dan mohon kepada Alla agar Nevan selalu dalam lindunganNya.
“Ness kamu makan dulu ya.” Itu kalimat pertama yang Adelio lontarkan saat dia bangun dari tidurnya. Aku menggeleng, aku tidak selera untuk makan saat ini.
“Lo pucat banget Ness, lo boleh cemas tapi lo harus jaga kondisi lo Ness. Kasihan orang tua lo, dia sudah cemas dengan kondisi Nevan dan lo mau memperparah perasaan mereka?” Adelio menatap mataku dengan damai.
Aku menarik napas dalam-dalam, kali ini bola matanya tidak bisa menipu perasaanku. “Mending lo tidur lagi aja deh, jangan ganggu.” Suruhku dengan nada jutek.
Adelio mendesah, dia mengacak rambut dia sendiri kemudian membiarkanku dalam lamunan. Aku melirik Adelio yang menyandarkan kepalanya ke bangku penumpang, dia terlihat kusut. Tapi seketika kepalaku sakit sekali, bayangan yang tidak jelas menari di benakku. Semuanya bagaikan slide dengan kecepatan tinggi, potongan-potongan kejadian aneh seolah bergantian memenuhi pikiranku.
“Arrgghh.” Erangku yang tidak bisa lagi menahan sakit.
“Ness lo kenapa?” aku masih bisa mendengar suara Adelio, para pramugari beserta penumpang lain yang panik melihat keadaanku.
10 menit disiksa oleh potongan-potongan kejadian yang tidak aku mengerti akhirnya aku terduduk lemas. Pramugari memberikanku segelas air putih, aku meneguknya hingga habis. Adelio menyeka keringatku yang bercucuran.
“Apa yang terjadi Ness...” lirihnya seakan berbisik padaku.
Potongan-potongan itu kembali muncul namun dengan rentang waktu singkat, Nevan. Dia yang memenuhi semua memoriku, senyum, seringan, tangis, dan tawanya menggema dipikiranku. Aku yakin Nevan kini sedang dalam kondisi tidak baik, aku bisa merasakan jika Nevan tengah berjuang melawan maut. Tak terasa tanpa menjawab pertanyaan Adelio air mataku jatuh sangat deras, tuhan cepatlah kau pertemukan Nevan dengan diriku. Sejak dalam kandungan kami selalu bersama, bayi, balita, anak-anak, remaja pun masih bersama, izinkan aku membantunya dalam kondisi seperti karena apa pun akan kami lalui bersama-sama.
Akhirnya kami sampai di Jerman, kedatangan kami disambut oleh beberapa karyawan papa. Mereka membawa aku dan Adelio menuju rumah sakit, sejak kejadian tadi pesawat aku masih bungkam dengan keringat sebesar jagung yang selalu mengalir dari pelipis. Tanganku mengenggam erat tangan Adelio, aku tidak bisa membayangkan apa yang tengah terjadi saat ini di kamar rawat Nevan.
Karyawan papa sepertinya mendapatkan panggilan dari papa, mungkin ini keadaan sangat genting. Dia memintaku untuk berlari mengikuti langkahnya, tuhan apa yang terjadi. Adelio yang nyinyir bin nyebelin juga ikutan bungkam, pegangan tangan kami terputus. Aku tidak bisa menunggu lama lagi.
Duniaku hancur, harapanku pupus, mimpi-mimpiku hilang. Semua berganti dengan kepahitan yang mendalam, air mataku tak lagi mau menetes saat melihat tubuh Nevan membeku bersama alat-alat yang memenuhi. Papa menangis di pojok ruangan seraya memukul-mukul dinding, sedangkan mama menangis dalam pelukan oma. Tuhan? Kenapa ini harus terjadi.
“NEVAAAAANNNNN.” Teriakku menggoyang-goyangkan tubuh kakunya.
“Lio bilang sama gue ini mimpikan? Ayo Lio bilang.” Suruhku setengah memaki, Adelio menggeleng matanya berlinang.
“Nevan sudah nggak ada lagi Nessa...” lirihnya yang membuat hatiku makin hancur.
Aku mengenggam erat tangan Nevan, membisikkan kata-kata agar dia kembali hadir dalam mimpiku. Aku tahu mati adalah sebuah kepastian, semua kita akan merasakan. Tapi aku belum siap untuk menerima jika Engkau memanggil dia secepat itu. Aku menarik kursi dan mendudukinya. Aku menepis tangan Adelio yang berusaha mengingatkan jika Nevan sudah tidak ada, aku tahu itu.
“Sayangg, ikhlaskan sayang.” Bisik mama dengan suara serak.
Aku tak menghiraukannya, aku yakin Nevan masih hidup dia hanya tengah tertidur.
Nevan bangun, aku disini. Jangan tinggalkan aku sendiri, apa kamu mau lihat aku hancur tanpa kamu?Nevan, percayalah kamu bisa Nevan. Kembalilah, jangan tinggalkanku sendiri.
Aku bisa merasakan jika kini tinggal aku dan Nevan diruangan ini. Kami telah beda alam, kami tak lagi bersama, duniaku pergi seiring dengan helaan napas terakhirnya. Tuhan beri aku kesempatan lagi, beri dia kesempatan lagi. Mungkin tidak banyak orang yang akan kau beri kesempatan kedua, tapi aku mohon beri dia kesempatan itu untuk selalu ada di sampingku sampai aku benar-benar siap kehilangannya, meski mungkin aku tak akan pernah siap.
Aku langsung menegakkan kepalaku saat mendengar monitor ICU kembali berbunyi, perlahan tangan Nevan yang kaku menunjukkan sedkit gerakan.
“DOKTER, MAMA, PAPA, OMA, ADELIO,” teriakku memanggil nama mereka dengan wajah bahagia.
“Nevan kembali.”
Terima kasih Tuhan, engkau mendengar semua doaku. Kini aku berjanji akan selalu ada untuk dirinya. Aku tidak bisa berkata-kata lagi, rasa senang yang amat besar membuatku tak berhenti memanjatkan rasa syukur. Aku memeluk mama dan papa, mereka kembali menangis namun kali ini tangis mereka bahagia. Adelio tersenyum haru, dia menyeka air matanya yang sempat jatuh. Dia memang sahabat sejati, meski Nevan tak pernah lagi menganggap dia.
***
“Alhamdulillah akhirnya kamu sadar.” Aku mencium kening Nevan saat dia membuka mata untuk pertama kalinya setelah mati suri.
Nevan tersenyum kaku, meski lemah dia masih berupaya membalas genggamaku. Dia melirik mama, papa, dan oma di sisi kirinya dan kembali tersenyum. Dia sosok yang tangguh, dia masih bisa tersenyum setelah kajadian yang telah dia lalui. Tapi tatapan aneh seketika dia berikan saat melihat Adelio yang terdiam di ambang pintu. Aku takut dia marah, tapi dia langsung menyeringai. Adelio membalas seringaian Nevan, dan melangkah mendekat.
“Meski gue berat buat ngucapinnya sih, lo harus cepat sembuh. Gue kangen sama bogeman lo.” Gurau Adelio.
Nevan tertawa kecil, dia mengacungkan jari jempolnya. Ya ampun, Nevan masih bisa berfikir untuk berkelahi dengan kondisinya sekarang.
“Makasih ya Ness, rasa sakit aku semuanya serasa sudah hilang...” gumamnya. Aku mengangguk.
“Nessa temanin papa sebentar yuk, biar mama sama oma yang jagain Nevan.” Ajak papa.
Aku mengikuti langkah kaki papa, dia menuju ruang dokter. Aku mengambil tempat di sebelah papa, aku bahkan takjub dengan papa yang bisa berbahasa Jerman sedangkan aku hanya bisa melongo menatap bergantian papa dan dokter tersebut.
“Awalnya Nevan itu sesak napas,mimisan, papa kira ada yang salah dengan paru-parunya. Saat di Jerman ternyata dia diagnosa menginap kanker darah stadium lanjut. Mungkin papa telat ngabarinnya, tapi saat itu papa lagi panik buat cari pengobatan buat Nevan. Tadi dokter juga sudah memeriksa Nevan, kamu tahu apa yang dokter bilang?” tanya papa diakhir kalimatnya.
Aku menggeleng, aku saja tidak fasih berbahasa inggris apalagi Jerman. “Dia takjub melihat kekuatan cinta kalian, dan saat memeriksa Nevan kanker darah Nevan tiba-tiba tidak terdeteksi.” Ucap papa bahagia.
“Alhamdulillah, beneran kan pa? Syukurlah, Nevan sembuh.” Aku memeluk papa, aku sangat bahagia mendengar kabar itu.
“Karena masalah ini sangat jarang terjadi, dokter akan kembali melakukan pemeriksaan. Kamu doakan yang terbaik ya buat Nevan.” Ujar papa.
“Pastinya pa.”
***
Setelah capek dibujuk akhirnya aku mengikuti kata mama dan papa untuk beristirahat di rumah. Sedikit bingung sih, apa papa punya rumah di Jerman. Aku dan Adelio dibawa oleh supir papa ke rumah indah dan megah, awalnya aku mengira ini apartemen atau sejenis hotel bintang lima tapi ternyata ini rumah papa. Aku malah makin bingung, kenapa aku baru tahu ya dan terlebih kenapa papa nggak pernah ngajak aku keluar negeri sedangkan dia punya rumah disini.
“Bokap lo itu kaya banget ya Ness, punya rumah dimana-mana.” Puji Adelio saat kami dipersilahkan masuk.
“Gue aja baru tahu.”
Aku dan Adelio bahkan disambut bagaikan raja dan ratu. Pelayan disini ramah dan bisa berbahasa Indonesia, mungkin saja papa sengaja mengambil ART yang berasal dari Indonesia. “Selamat datang Nona, mari saya antar ke kamar anda. Jika ada perlu silahkan panggil saja saya.” Sambut salah satu pelayan disini, aku mengangguk saja. Malah aku tambah bingung, untuk apa papa membayar banyak pelayan di sini. Di sisi lain Adelio juga dia antarkan ke kamarnya oleh seolah pelayan laki-laki berumur sekitar 25 tahun, tapi bisa aku tebak pelayan laki-laki itu adalah orang asli sini. Wajahnya bule dan menyambut kedatangan Adelio dengan bahasa Jerman. Aku kira kini Adelio sedang komat kamit dalam hati, hahah.
Aku mengunci rapat pintu kamar, bahkan pelayan yang sangat ramah itu tidak aku izinkan untuk menganggu. Ini bahkan sangat mengejutkan, kamar ini penuh dengan foto-fotoku dari bayi sampai SMA. Kapan saja papa mengabadikan moment itu, sampai aku tidak menyadarinya. Di tengah-tengah foto yang bejibun banyaknya, ada satu foto berukuran amat besar. Fotoku dengan Nevan, itu foto perpisahan SMP kami. Nevan menggunakan jas cokelat dan aku gaun pink yang indah, foto itu di ambil saat kami akan berangkat ke sekolah karena aku tidak satu sekolah dengan Nevan.
Tidak lama, pintu kamarku di gedor dengan amat kencang. “Woi Ness buka.” Teriaknya dari balik pintu, pasti itu Adelio.
“Apaan sih Lio, teriak-teriak.” Omelku saat pintu terbuka.
Mulut Adelio menganga, tanpa izin dia masuk ke kamarku. Dia melihat sekelilingnya dengan takjub. “Gila bokap lo sayang banget ya sama lo.” Decak kagum Adelio.
Aku menyerngitkan alis. “Maksud lo?”
“Di kamar yang gue tempati itu juga seperti ini penuh sama foto-foto lo. Gue kira pelayannya salah nempatin gue eh ternyata memang semua rumah ini berisi foto lo, dan 99% semuanya candid.”
Aku kaget mendengar penjelasan Adelio, ternyata papa begitu menyayangiku meski kadang semua yang aku minta tak selalu dia turuti. Papa selalu menanamkan sikap sederhana padaku, mungkin dia tidak mau aku jadi anak manja terlebih aku anak perempuan dia satu-satunya.
“Lo tahu nggak gue kesal banget sama tuh pelayan, gue nggak ngerti apa yang dia omongin eh dia malah nggak berhenti nyerocos bikin puyeng aja.” Adelio terlihat sangat kesal.
“Nggak boleh gitu dong Lio, lo harus hormatin orang yang lebih tua dari lo.”
“Gue sudah ngehormatin dia Ness, malas sepuluh menit gue hormat sama dia.”
“Hahah bego.” Ejekku.
“Hahaha, kapan lagi.”
Adelio membuka pintu balkon kamar, dari sini kami bisa melihat indahnya kota Jerman saat malam. Bintang yang bertabur memperindah malam ini, aku mengambil posisi di sebelah Adelio, hari ini dua perasaanku datang secara bergantian. Rasa sakit amat dalam saat mengetahui Nevan meninggal dan rasa syukur yang melimpah ketika Tuhan memberikan kesempatan kedua untuk Nevan kembali. Aku membiarkan angin membelai rambutku, aku kini bisa tersenyum lega, orang yang aku sayang kini kembali semuanya.
Kapan aku bahagia?
Kapan aku terbebas dari semua masalah?
Kapan aku bisa tersenyum lebih lama?
Someday maybe.
Bagus banget siihh...
Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)