Teraman
Adelio menatap bola mataku lekat-lekat sampai membuatku salah tingkah. Dia meminta waktuku untuk berbicara saat pulang sekolah, meski agak berat akhirnya aku menerima permintaan Adelio dan kini kami duduk di taman sekolah yang rindang.
“Sudah puas natapnya?” tanyaku.
Adelio tersentak, “Eh maaf, gue terpana sama kecantikan lo.” Ucapnya yang membuat pipiku makin memanas.
“Sebenarnya tujuan lo apaan sih Lio ngajak gue kesini?”
Adelio memperbaiki posisi duduknya, dia menarik bidang bahunya kedepan sehingga dadanya tampak membusung. Dia juga memperbaiki rambutnya yang diacak oleh angin, dia menarik napas dan membuangnya. Sungguh aku tidak dapat menahan mata ini untuk tidak memperhatikan gerak-geriknya, tapi apa daya dia memiliki pesona yang membuatku tertarik.
“Gue kangen aja kita bisa duduk berdua.” Ujarnya.
“Hmm.”
“Lo nggak kangen ya Ness?” tanya Adelio.
Aku menoleh ke samping kiri, ada burung yang berkicau merdu di dahan pohon pinus. Sebenarnya aku juga rindu, rindu akan kebersamaan kami, rindu akan senyum dan gelak tawa dia, rindu saat aku belum tahu siapa Adelio sebenarnya. Cukup lama aku hening dalam diamku, sampai tangan Adelio menggenggam tanganku. Detak jantungku berdegup kencang, napasku memburu, sungguh ini pertama kalinya aku merasakan perasaan ini.
“Gue sayang lo Ness, lo tahu nggak sebenarnya pertemuan kita di desa itu bukan hal yang kebetulan tapi disengaja.” Ucap Adelio yang membuatku melotot karena kaget.
Disengaja maksudnya?
“Gue sudah suka sama lo saat pertama kali kita bertemu, lo ingat nggak? Pastinya nggak ya Ness. Saat itu gue main kerumah lo, gue lihat baru pulang sekolah. Awalnya gue kira lo itu adik Nevan eh ternyata lo kembaran dia. Sejak itu gue mulai mencintai lo, mengikuti kemana pun pergi, memantau semua aktifitas lo yang membosankan itu. Saat itu gue lihat lo keluar dari rumah secara terburu-buru sambil membawa tas ransel, gue yang selalu penasaran sama lo akhirnya ngikutin lo sampai ke desa nenek gue. Kaget sih kenapa sampai di situ, tapi lebih kagetnya kenapa lo bisa bertindak sampai segitunya.” Jelas Adelio tanpa aku minta.
“Seriusan?”
Adelio mengangguk, “Gue pura-pura jadi orang baru karena gue tahu lo bakalan nggak ngenalin gue karena sikap lo yang sangat nggak peduli dengan orang lain. Sampai gue tahu kalau lo pergi kedesa itu karena pelarian dari masalah yang menurut gue spele itu.”
“Dari mana lo tahu masalah gue?” tanyaku seraya menarik tangan dari genggaman Adelio.
“Gue kan sudah bilang sama lo, nggak ada yang nggak gue tahu tentang lo Ness. Gue lanjutin lagi ya ceritanya, gue pura-pura nggak ngetahuinya Ness dan gue mau lihat seberapa kuat lo bertahan. Tapi lo malah menikmati dan berencana mau tinggal di sana selamanya, dan akhirnya gue nyuruh lo untuk pulang mengingat kondisi keluarga lo yang berantakan.” Jelas Adelio, aku tertunduk karena malu dengan sikapku saat itu.
“Lo tahu sekarangkan seberapa besar cinta gue sama lo?”
“Nevan,” Lirihku, aku sudah berjanji pada Nevan untuk tidak mendekati Adelio.
Sejenak semua terasa sepi, Adelio ikutan terdiam saat aku mengucapkan nama Nevan. Tentunya dia tahu bagaimana respon Nevan saat kami kembali dekat, dan Nevan bakalan tidak setuju.
“Sebenarnya apa sih yang terjadi antara lo dengan Nevan?” tanyaku.
“Dulu kita sabahat Ness, sama-sama suka berkelahi dan bikin onar. Tapi kita malah terjebak dalam sebuah hubungan perasaan yang rumit,”
“Ka..kalian homo?” aku memotong pembicaraan Adelio karena sangking syoknya.
“Eh? Bukan, ish lo ya dengerin gue cerita sampai tuntas dulu.” Ucap Adelio jengkel.
“Maaf, lanjut deh.’ Suruhku.
“Kita sama-sama suk—“
“Ah ya kan kalian homo, ya Allah kayak nggak ada cewek lain aja.” Potongku, aku menutup mutupku tanda tidak percaya.
Adelio mendesah, dia gregetan dengan tingkahku. “Uhh lo ya Ness, bikin emosi aja. Lo sama kembaran lo sama aja bikin gue naik darah,” Aku bisa menebak kalau Adelio tengah kesal.
“Dengerin gue dulu sampai selesai.” Lanjutnya.
“Iya maaf, deh. Heheh.” Aku nyengir.
“Huufft, kita sama-sama suka dengan satu cewek.”
“Siapa cewek itu?” tanyaku penasaran.
“Dea.” Ucap Adelio tertahan, dia seperti sangat berat mengucapkan nama Dea.
What? Apa menariknya si bedak tebal itu? Aku makin penasaran dengan cerita Adelio selanjutnya.
“Gue pacaran sama Dea, hubungan kami begitu dekat. Tapi yang anehnya Dea selalu tidak mau untuk gue kenalin sama teman-teman gue dan meminta merahasiakan semua ini. Lo tahu apa alasannya?” tanya Adelio sepertinya meminta pendapatku yang jelas-jelas tidak mengetahuinya.
“Jelasin aja deh Lio, mana gue tahu.” Suruhku yang sudah mati penasaran.
“Ternyata gue jadi orang ketiga dalam hubungan Dea dan Nevan. Sumpah gue nggak ada niat nusuk dia Ness, gue nggak tahu kalau Dea itu pacarnya Nevan karena soal cewek Nevan cukup tertutup. Pada akhirnya Nevan menganggap gue musuh tanpa memberikan gue waktu untuk menjelaskannya. Semua cara sudah gue lakuin buat jelasinnya tapi nihil mungkin kami tidak bisa bersahabatan lagi. Nevan nantangin gue buat berkelahi, dan sampai detik ini kami selalu bertemu hanya untuk berkelahi.” Jelas Adelio.
“Nenek lampir itu ya dari dulu selalu aja bikin masalah, lo lagi bisa-bisanya jatuh cinta sama tuh orang. Istimewanya apaan? Cantik nggak, numpang tenar mah iya.” Ucapku sewot.
“Lo cemburu ya?”
skak mat.
Aku terdiam.
“Gue nggak maksain lo buat suka sama gue kok Ness, gue juga nggak maksain lo buat jadi pacar gue. Lo mau suka sama siapa, pacaran sama siapa gue rela kok asalkan lo bahagia. Penting lo sudah tahu bagaimana perasaan gue sama lo dan gue sudah lega. Tugas gue sekarang adalah melindungin lo, dan saat kembaran lo datang mungkin itu akhir perjumpaan kita.” Ujar Adelio yang berhasil membuat aku ternganga.
Maksunya apa?
Adelio tersenyum, dia meraih tas ranselnya dan melangkah meninggalkan aku yang masih mencerna kata-katanya.
“Maksud lo apaan sih? Lo sudah ngambil cinta pertama gue dan sekarang lo mau ngehilang gitu aja? Enak banget jadi cowok.” Teriakku.
Langkah Adelio terhenti, beberapa detik kemudian dia berbalik badan dan tersenyum jahil.
“JADI LO NERIMA?” teriak Adelio agar aku bisa mendengar dengan jelas.
“JADI LO NEMBAK?” balasku dengan teriakan.
Adelio tertawa, aku bahagia bisa melihat tawa tulus yang keluar spontan dari mulutnya. “KALAU GUE NEMBAK LO, PASTI BAKALAN ADA SUARA DORR,,DORR.” Dia membuat pistol dari jemarinya.
“Hahah.” Aku ikut tertawa melihat tingkah konyol Adelio.
Adelio melangkah mendekat, sedari tadi dia tidak berhenti tersenyum. “Mana mungkin gue ninggalin lo Ness, bagaimana pun reaksi Nevan tahu gue dekati lo gue bakalan hadapin semuanya karena gue nggak sepengecut itu.” Dia mengacak rambutku yang sudah susah payah aku jaga untuk tetap rapi.
Aku memanyunkan bibirku karena kesal, lagi-lagi dia tertawa geli dan malah makin membuat rambutku berantakkan. Tapi entah kenapa di dekat Adelio aku merasakan hal yang berbeda, dia tempat ternyaman yang pernah aku temui. Dia selalu punya cara membuatku tersenyum dan bahkan mengubah cara pandangku terhadap dunia ini. Aku memeluk tubuh Adelio, masih seperti dulu bau parfum yang pekat langsung menyambut indra penciumanku.
“Nah gitu kan enak.” Ejek Adelio membuatku malu, tapi aku tidak melepaskan pelukan itu. Setidaknya aku bisa sejenak lupa dengan masalah yang kini aku hadapi, tentang kondisi Nevan yang sebenarnya makin memburuk dan tentang masalah yang Nevan tinggalkan kini berdampak membahayakan kehidupanku.
“Sekarang hubungan kita apa?” tanyaku malu-malu.
“Maunya apa?” goda Adelio.
“Ck.” Aku berdecak kesal.
“Sahabatan aja dulu, gue mau hubungan kita direstuin dulu sama kembaran lo. Lo tahu sendirikan seberapa protektifnya dia sama lo, dan gue nggak mau kalian berantem lagi hanya karena gue.” Jelas Adelio yang ada benarnya.
Aku mengangguk lemah, padahal sudah berharap bisa jadi kekasih Adelio. Tapi mungkin ini bukan moment yang tepat untuk bahagia, karena banyak masalah yang harus aku hadapi. Adelio mengantarkanku ke gerbang sekolah, di sana sudah Pak Agus yang sudah menunggu sejak tadi. Aku melambaikan tangan dan mengucapkan terima kasih untuk hal tadi, Adelio membalas dengan lambaian dan mengangguk pelan. Inilah kisah hidupku yang kadang aku sendiri tidak mengerti kemana larinya.
***
Mungkin saja tuhan tidak mengehendaki aku untuk berbahagia, senyumku yang sempat aku rajut tadi seketika luntur, jantungku serasa berhenti bekerja, oksigen seakan tidak mau masuk dalam tubuhku. Aku mendengar perbincangan mama dan papa melalui telfon, sangat perih dan menyakitkan.
“Ya Allah, kenapa bisa seperti itu sih Al, kenapa kamu baru beritahu aku sekarang? Bukannya dia sakit kanker paru-paru ya Al, kenapa sekarang leukimia?” suara mama terdengar serak.
Leukimia?
“Sekarang bagaimana kondisi Nevan Al? Dia baik-baik saja kan? Nanti aku urus keberangkatan aku kesana ya.” Ujar mama.
Tidak lama tidak ada lagi suara mama melainkan berganti dengan isakan. Aku bingung, kenapa tuhan selalu memberikan kejutan padaku. Air mata tak lagi bisa aku bendung, aku tidak bisa membayangkan bagaimana penderitaan Nevan. Aku melangkah ragu memasuki kamar mama, benar saja mama sudah tertuduk sambil terisak.
“Maa.” Lirihku sambil meringkuk dalam pelukkannya.
“Nevan kenapa ma?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Dia nggak apa-apa kok sayang.” Mama menyeka air matanya, pasti ini ulah papa lagi yang selalu meminta untuk menutupi dari aku.
“Terus mama kenapa nangis?”
“Cuman kelilipan saja nak, sekarang kamu makan gih kamu belum makan kan dari siang?” mama masih saja memperdulikan diriku. Aku mengangguk dan keluar dari kamar mama. Mungkin mama butuh waktu untuk sendiri.
Aku masuk dalam kamar, tidak ada Daffa. Mungkin dia tengah bermain dengan anak tetangga yang seumuran dengan dirinya. Aku berusaha menelpon Nevan, tapi nomornya tidak aktif. Aku serasa putus asa, aku seperti kembaran yang tidak berguna. Disana dia tengah berjuang melawan sakit sedangkan aku di sini tidak bisa berbuat apa-apa. Aku terduduk di lantai, menyesali diri sendiri, kenapa harus Nevan? Kenapa bukan aku.
Adelio, nama itu terlintas begitu saja di benakku. Dia mungkin bisa menenangkan hatiku, seperti sebelum-sebelumnya. Aku bergegas mengganti pakaian, mencuci wajah agar terlihat fresh. Aku keluar rumah tanpa pamit, bukankah mama bilang rumah Adelio di sekitar sini, dan bukankah aku juga bertemu Yori adik Adelio juga disekitar sini. Aku berniat menemui Adelio.
Aku berjalan mennyelusuri jalanan kompleks tapi masih bingung dengan rumahnya. Di kompleks ini ada lebih 30 rumah dengan model yang sama dan hanya nomor saja menjadi pembeda. Aku hampir saja menyerah, tapi ini peristiwa genting mungkin saja Adelio punya solusi yang dapat aku lakukan untuk kebaikan Nevan.
“Ness lo ngapain sendirian gini?” tegur seseorang dari balik pagar.
Aku menoleh ke arah sumber suara, yap itu Adelio. Dia membuka kunci pagar seraya menatapku dengan keheranan. “Lo habis nangis?”
Aku memeluk Adelio dan menumpahkan tangis yang aku tahan sejak di perjalanan. Aku tahu Adelio bingung dengan sikapku, tiba-tiba nangis padahal tadi tertawa bersama dirinya.
“Kita masuk dulu yuk, nggak enak dilihatin tetangga.” Ajaknya.
Aku menurut dan mengikuti langkah kaki Adelio memasuki rumahnya yang cukup besar itu. Dia mempersilahkanku duduk di sofa dan dia duduk di sebelahku. Aku menatap matanya yang begitu damai.
“Lo kenapa tiba-tiba ada di depan rumah gue? Trus kenapa nangis gini? Siapa yang nyakitin lo?” tanyanya membuatku bingung mulai dari mana.
“Nevan Lio.” Isakku yang tidak sanggup menahan tangis,
“Loh dia kenapa? Dia nyakitin lo?”
Aku menggeleng, “Dia sakit leukimia.” Lirihku yang tidak sanggup mengucapkan kata leukimia.
“Astagfirullah, dia sakit? Gue kira dia pergi karena marah sama lo.” Ucap Adelio yang tak kalah kagetnya.
“Gue ngerasa jadi kembaran yang tidak berguna, gue harus apa Lio. Mama dan papa selalu saja merahasiakan ini dari gue. Hiks.” Air mataku membasahi pipi ini.
Perlahan jemari Adelio menyeka air mataku, “Lo tenangin diri dulu ya.”
Aku mengangguk pelan, tak lama seorang wanita paruh baya datang membawa secangkir air putih. Adelio menyodorkan air tersebut, memaksaku untuk meminumnya. “Ayo minum dulu, biar lo tenang.” Paksanya.
Mau tak mau aku meneguk air putih yang kini terasa amat pahit, aku bingung sekaligus takut kehilangan Nevan.
“Lo mau temanin gue lihat Nevankan?” tanyaku secara spontan.
“Hah? Ke Jerman maksud lo?” Adelio terperanjat.
“Please Lio, mama dan papa selalu saja sembunyiin masalah dari gue. Padahal gue juga berhak tahu gimana kondisi kembaran gue sekarang.” Bujukku.
“Tapi Ness, Jerman itu jauh. Gue juga nggak punya banyak uang buat kesana.” Ucapnya.
“Biar gue yang bayarin Lio, please temanin gue.”
“Tapi—” ucapnya tertahan.
“Katanya lo sayang sama gue, cinta sama gue, dan selalu ada buat gue.”
“Oke-oke.” Adelio terlihat keberatan.
Apa kalian heran kenapa aku malah memaksa Adelio menemaniku ke Jerman dan kenapa nggak minta saja sama mama dan papa untuk kesana. Alasan aku cuman satu, yaitu tidak di izinkan. Papa mana mau izinkan aku ke sana seperti saat aku meminta mau menemani Nevan saat mau pergi. Aku juga nggak peduli Adelio ikhlas atau tidak yang terpenting aku tidak sendiri ke negara orang. Egois ya? Aku rasa sih iya.
Bagus banget siihh...
Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)