Sebuah restoran saji yang berada di samping mal menjadi pilihan kami berempat untuk mengerjakan tugas kelompok. Dikarenakan minggu depan giliran kelompok kami presentasi, maka hari ini mau tak mau kami harus mengorbankan akhir pekan dengan mengerjakan tugas kelompok.
Lantai dua restoran itu menjadi tempat kami bekerja, tepatnya meja yang berada paling sudut ruangan itu dan berada tepat di sisi sebuah balkon yang mengarah langsung ke jalanan. Kami segera membuka laptop kami masing-masing. Buku-buku yang pernah dipinjamkan Kang Ikal sengaja kutaruh di tengah-tengah meja.
Jam di dinding restoran itu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Terlalu dini bagi orang-orang untuk berkunjug ke restoran cepat saji untuk makan siang, ataupun cukup terlambat untuk menikmati menu sarapan di restoran tersebut. Meski terpantau sepi, Rangga yang duduk di hadapanku masih enggan untuk membuka penutup kepala yang ia pakai.
“Di luar panas loh, Ga. Kamu gak kepanasan?”
Sinta yang berada di sebelahku sepertinya terlihat cemas jika Rangga terus saja memakain hoodie hitamnya.
“Oh iya.”
Hanya itu respon Rangga. Ia lalu membuka hoodie-nya dan melipatnya rapi lalu menyimpannya di sandaran kursi.
“Jadi pembagian tugasnya mau bagaimana?” tanya Bram.
“Aku sama kamu nerjemahin jurnal. Nila sama Rangga rangkum di buku-buku ini,” ucap Nila sembari menunjuk dua buku yang bertuliskan ‘Ekonomi Makro’ itu.
Aku mengambil salah satunya dan segera membuka halaman mengenai Teori Pertumbuhan Ekonomi tanpa meminta persetujuan terlebih dulu dari Rangga. Sikapku menunjukkan bahwa aku memang sedang kesal pada Rangga. Kali ini benar-benar kesal padanya.
Earphone yang tersimpan di samping laptopku pun sengaja kusambungkan dengan laptoku dan memutar sebuah lagu-lagu yang tersimpan di daftar lagu favoritku. Setelah earphone itu terpasang di kedua telingaku, aku tak lagi mendengar riuh gaduh tidak jelas di sekelilingku. Hanya alunan merdu suara penyanyi-penyanyi favoritku yang kini terdengar oleh telingaku.
Seminggu sudah aku dan Rangga bagai tak bertegur sapa. Kondisi yang sejak dulu selalu aku dambakan akhirnya terwujud juga. Kami bagai dua orang asing yang tak saling kenal, itulah keinginanku.
Aku ingin duniaku hening persis sebelum Rangga muncul. Aku ingin duniaku normal tepat setelah Rangga meninggalkanku dulu. Lalu ketika waktu mempertemukan kami, inilah yang ingin kunikmati, merasa hening dan normal meski di sana terdapat unsur Rangga.
****
Di luar sana hujan turun. Meski suara lagu-lagu masih berputar di telingaku, suara rintik hujan masih lebih besar dari alunan penyanyi-penyanyi yang tengah mengalun merdu lewat earphone yang kugunakan. Kuamati setiap orang yang berlalu lalang di bawah sana. Beberapa berlari cukup kencang, beberapa lainnya berjalan perlahan dengan mulut yang sepertinya mengumpat akan rintikan air-air dari langit yang semakin lama semakin deras. Angin pun dengan mudahnya masuk melewati balkon dan mengenai setiap inci kulitku.
Aku sedikit menggigil kedinginan. Suara bersin berkali-kali membuat ketiga orang di sekitarku menatapku terus menerus. Aku mengusap ujung hidungku yang mulai dingin lalu kembali melihat layar laptop yang menampilkan Ms Word dan paragraf-paragraf yang sudah kuketik sejak siang tadi.
Sinta menyentuh lenganku dan menggoyang-goyangkannya. Aku pun membuka earphone-ku agar bisa dengan jelas mendengar ucapan Sinta.
“Beli minum yuk!” katanya.
“Oh. Boleh.”
“Sekalian istirahat dulu.”
“Biar aku saja yang memesan minumannya.”
Bram mengajukkan diri dan merogoh isi tasnya lalu mengambil dompet kulit berwarna hitam.
“Bentar!” Aku menginterupsi Bram dan mengambil dompet berwarna merahku.
“Tidak usah, La. Biar aku yang traktir,” kata Bram menghentikan aktivitasku.
“Loh! Emang ada acara apa ya?” tanyaku.
“Aku cuma mau bilang terima kasih. Waktu itu kalian bantuin aku.”
Kejadian Bram yang di bully itu ya. Waktu itu aku hampir kena pukul orang-orang itu, jika saja Rangga tidak muncul seperti super hero.
Aku kembali memasangkan earphone yang masih memutar lagu dan beralih pada layar laptopku kembali. Kulirik sejenak sepertinya Sinta dan Rangga membicarakan sesuatu lalu Bram mengangguk. Setelahnya Bram turun menuju meja kasir di lantai satu.
Hujan masih tak mau berhenti, bahkan kian waktu angin berhembus cukup kencang hingga menerbangkan helaian rambut hitamku. Ikat rambut yang selalu kulingkarkan diantara pergelanganku pun akhirnya kupakai untuk mengikat rambutku agar tidak semakin acak-acakan oleh keusilan angin sore itu.
Lagi-lagi Sinta menggoyang-goyangkan lenganku. Bagai sebuah sinyal, otomatis yang membuatku melepas kembali earphone-ku lalu menatapnya sedikit malas.
“Ada apa lagi, Sin?” tanyaku.
“Kalian berdua kenapa sih?” tanya Sinta ambigu.
Aku menyatukan kedua alisku, tanda tak mengerti ucapan Sinta.
“Berdua?”
“Kamu sama Rangga. Siapa lagi lah!”
Aku mengerutkan keningku, cukup terkejut akan pertanyaan Sinta. Seakan kedekatanku dengan Rangga memang terlalu kentara dan menimbulkan pertanyaan semacam itu dari Sinta. Rasanya, ada sedikit sudut hatiku yang merasa bersalah pada Sinta, dia kan menyukai Rangga, dan ada hal yang kututupi darinya.
Aku memandangi kursi kosong di hadapanku. Ternyata Rangga tidak ada di sana,
“Kamu sendiri kan yang bilang kalau Rangga dingin banget.”
“Ih, tapi bukan itu, La.”
“Kamu tanya sendiri sama dia. lagi PMS kali dia.”
Aku kembali memasang earphone-ku. Lalu melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda tadi. Sebelum aku sempat menaikkan volume suara, Sinta sedikit bergumam.
“Tapi kan Rangga selalu hangat sama kamu.”
Lebih baik seperti ini sebelum semua menjadi lebih kacau. Selain aku menjaga perasaanku, aku pun harus menjaga perasaan temanku. Ketika seseorang yang kau sukai ternyata di sukai oleh temanmu sendiri, rasanya akan canggung dan tak nyaman. Sebaiknya aku menghindari hal-hal yang semakin membuat Sinta semakin curiga.
****
Wangi khas daging panggang juga kentang goreng kemudian menguar masuk ke dalam indra penciumanku. Lalu seseorang menyimpan gelas kertas berwarna putih yang tertutup di samping laptopku. Sejak Sinta bertanya perihal aku dan Rangga, aku terlarut dalam setiap kalimat-kalimat yang kusalin dari buku ‘Ekonomi Makro’ ke dalam Ms Word-ku, sehingga ketika aku mengangkat kepalaku, Bram dan Rangga sudah kembali dan setumpuk kentang goreng plus empat buah burger sudah tersimpan di tengah-tengah meja kami.
Aku melepas earphone-ku dan terkejut dan Sinta yang sudah mencomot satu buah kentang goreng yang masih mengeluarkan uap-uap panas, tanda bahwa makanan tersebut baru saja digoreng beberapa saat lalu.
“Pantesan lama,” kata Sinta.
Bram memberikan burger yang masih dibalut kertas makanan itu ke hadapan kami bertiga. Wangi khas makanan ala barat ini semakin mendominasi indra penciumanku. Juga gerakan otot-otot perut yang sejak tadi sudah berkoar-koar karena kelaparan.
“Kita semua belum makan siang. Jadi aku sekalian belikan saja makanan,” kata Bram dengan kata-kata EYD-nya itu.
Kita semua memilih untuk beristirahat sejenak dan menikmati santap siang pemberian dari Bram. Kami –atau lebih tepatnya aku dan Bram- menceritakan pengalaman kami saat sekolah dulu. Sinta penjadi penanya sementara Rangga hanya pendengar.
“Kalau Rangga waktu SMA gimana?” tanya Sinta tiba-tiba.
Aku menatap Rangga yang ada di hadapanku, ia meminum sesuatu dari gelasnya kemudian membuka suara.
“Aku dulu home schooling,” jawab Rangga.
Entah bagaimana aku semakin intens menatapnya.
“Karena waktu SMA awal-awal aku berkarier, aku memilih buat sekolah di rumah atau sesekali ke tempat belajar kalau jadwalnya lagi gak sibuk.”
“Wah! Jadi artis ternyata sibuk banget ya? Pasti sulit buat berteman sama yang lain?”
Rangga mengangguk. “Karena jadwalnya fleksibel, setiap aku masuk kelas, gak semua orang yang ada di kelasnya sama.”
“Pacar pun Rangga tidak punya?” tanya Bram yang membuatku tersedak.
“Eh, kamu kalau makan jangan nengok-nengok, La. Jadi tersedak kan!”
Sinta menyodorkan gelas yang ada di samping laptopku. Rasa pahit dan manis sekaligus langsung meluncur bebas melalui tenggorokanku. Coklat panas yang sudah tidak sepanas sebelumnya bisa meredakan batuk-batukku akibat terkejut dengan pertanyaan Bram.
“Coklatnya enak, Bram. Kamu kok tahu aku suka coklat panas?” tanyaku pada Bram untuk mengalihkan pertanyaannya.
Bukannya menjawab, Bram justru memandangiku dengan tatapan tidak percaya. Seolah pertanyaanku tadi terlalu sakral untuk dijawabnya.
“Kenapa ya Bram?” tanyaku menautkan kembali kedua alisku.
****
Pukul sepuluh malam.
Akhirnya kami berempat memutuskan untuk mengakhiri kegiatan kami. Tugas sudah hampir jadi, tinggal Bram memperbaiki beberapa kata-kata yang di rasa rancu di Power Point yang sudah dibuat Rangga.
“Kamu pulang jalan kaki, La?” tanya Sinta padaku.
“Abis cuma satu arah sih jalanannya. Sayang kalau naik ojek online muter lagi. Lama lagi, aku pingin istirahat cepet-cepet,” jawabku. “Kamu sendiri naik apa La?”
“Angkot nih di depan juga banyak.”
“Oh. Kalau gitu aku duluan ya. Hati-hati Sin, Bram.”
“Iya La. Kamu juga hati-hati udah malam nih. Jangan mukul penjahat pakai laptop. Sayang!”
“Iyalah! Hahaha.”
Bram sudah pergi ke arah parkir basement. Nila pun sudah pergi ke arah lobi mal. Sementara aku menyusuri trotoar yang tadi kulihat lewat beranda restoran cepat saji di lantai dua. Kulirik sekilas Rangga yang hari ini terlalu banyak diamnya itu berjalan di sampingku. Apartemennya berada beberapa meter dari jalan menuju kosanku. Lantas aku coba mengabaikannya dan memilih bungkam.
Karena hari ini malam minggu. Jalanan tidak sesepi biasanya. Saat aku melewati gedung kampus, ada beberapa mahasiswa yang berkumpul di sana. Mungkin ada sebuah acara yang sedang mereka adakan. Akibat gedung kampusku yang tinggi, juga sekelilingku banyak sekali pohon-pohon beringin yang berjajar, angin bisa lebih kencang menerpa sekujur tubuhku yang tidak memakai pakaian yang lebih hangat lagi. Tanganku kugunakan untuk menghalau angin untuk lebih menerpa tubuhku. Lagi-lagi suara bersin keluar dari mulutku.
Selanjutnya, sesuatu yang hangat menggantung diantara bahuku secara asal. Sebuah kain dengan wangi khasnya menutupi kepalaku. Kulihat ke belakang, dan nyatanya Rangga sudah berada di belakangku, membetulkan hoodie-nya yang menggantung di tubuhku.
“Lo ngapain?” tanyaku dengan nada protes, namun berbeda dengan sikapku yang hanya diam sambil memandanginya.
“Dari dulu kamu kan gampang masuk angin,” jawabnya.
Rangga memandangiku. “Kita ke mini market sebentar ya. Tolong jangan nolak, daerah sini kan rawan kejahatan.”
Jujur, aku takut ketika Rangga mengatakan hal itu. Apalagi tadi siang Sinta sempat menceritakan sesuatu yang menyeramkan tentang daerah ini. Pada akhirnya, aku mengikuti Rangga masuk ke sebuah mini market dua puluh empat jam. Rangga segera mengambil keranjang belanjaan dan masuk di antara rak-rak makanan yang berjajar rapi.
Aku yang duduk di sebuah kursi hanya bisa melihat ke mana Rangga pergi. Melihatnya yang penuh perhatian kadang menggoyahkan keyakinanku, di lain waktu, rasanya semua itu hanya sandiwara Rangga untuk kembali menghancurkan hatiku. Dan aku masih kesal dengan sikapnya beberapa tempo lalu pada Kang Ikal. Rangga terlalu seenaknya saat itu.
Suara dering ponsel mengalihkan perhatianku. Kuambil ponsel yang tersimpan di saku hoodie Rangga yang sudah kupakai dengan benar. Aku sedikit kesulitan karena tubuh Rangga lebih besar dan tinggi dariku, membuat hoodie yang kupakai menjadi kebesaran begitu pun dengan bagian lengannya.
“Ada apa Bram?” tanyaku pada Bram melihat nama Bram di layar ponselku.
“Ini Sinta.” Justru suara Sinta yang menjawab.
“Nah loh, kok kamu bawah handphone Bram?” tanyaku.
“Bukan, handphone-ku mati dan aku lagi di mobil Bram. Dia nganterin aku pulang.”
“Oh.”
“La, kamu udah pulang?” tanya Sinta.
Pandanganku mengarah pada Rangga yang masih berjalan-jalan di antara rak-rak makanan.
“Iya Sin bentar lagi nyampe. Ada apa?”
“Anu, ini, tadi Bram ngomong itu, gimana ya, aneh sih. Denger sendiri dari Bram deh.”
Kudengar sedikit perdebatan antara Bram dan Sinta. Lalu selanjutnya suara Bram yang kudengar.
“Begini, La. Tadi waktu aku mengantri untuk membeli makanan. Rangga datang menghampiriku. Kata dia salah satu kopi yang aku pesan diganti dengan coklat panas. Aku mengiyakan dan tidak bertanya lanjut. Aku kira itu untuk dia, tapi saat kamu meminum coklat panas. Aku cukup terkejut.”
Sekujur tubuhku rasanya menegang. Mataku entah kenapa mengekori setiap gerakan Rangga. Lalu Bram kembali melanjutkan.
“Lalu tadi aku bertanya pada Sinta apakah kamu mengganti minumanmu dan meminta Rangga menyampaikannya padaku. Sinta bilang kalian berdua terlihat sedang bertengkar. Makanya aku mau menjelaskan La, sepertinya kamu keliru jika aku tahu seleramu.”
Setelah Bram menutup panggilannya, seketika seluruh tubuhku bagai tidak berfungsi sama sekali. Kulihat Rangga menghampiriku dengan sekantong belanjaan yang samar-samar kulihat beberapa merk minuman coklat hangat.
Tiba-tiba ada sebuah tirai hitam menutupi mataku lalu membawaku pada masa lalu. Saat seragam putih abu masih melekat ditubuhku. Saat itu Rangga tengah membeli kopi di sebuah coffee shop ternama. Aku menginterupsinya ketika Rangga akan membelikan segelas kopi yang lain untukku.
“Aku gak suka kopi, hehe.”
“Oh, sorry aku gak tau.”
“Kopi bikin aku pusing. Aku beli lemon tea aja.”
“Tapi di luar lagi hujan, Ta. Yang lain aja, coklat panas gimana?”
Kulihat harga coklat panas di sana cukup mahal, namun Rangga segera memesan coklat panas dan menyodorkan beberapa lembar uang kertas pada kasir.
Aku segera merogoh saku seragamku, tapi Rangga justru yang kini menghentikanku.
“Aku yang bayar dong. Kan aku pacar kamu.”
“Masa kamu terus yang bayar sih, kita masih sekolah juga.”
“Gak apa-apa. Harus di biasain, biar nanti kalau aku punya penghasilan sendiri, aku traktir kamu coklat panas sepuasnya.”
****
“Ta!”
Rangga mengembalikanku dari sebuah kilas balik. Aku menatap ke arahnya.
“Gak pulang? Udah makin malam tuh, nanti kamu masuk angin beneran kalau lama-lama di luar kayak gitu.”
“Oh.”
“Oh iya. Ini coklat panas, persediaan di kosan kamu. Diminum kalau kamu kedinginan ya.”
Ada retakkan di permukaan dinding yang ada di hatiku. Sedikit demi sedikit retakkan itu kian memanjang dan menimbulkan lubang-lubang kecil dan sebuah bias-bias cahaya masuk melewatinya. Ada perasaan hangat dan rindu yang kemudian menyeruak masuk ke dalam relung hatiku.
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu