Laki-laki tinggi berkaus hitam itu memasuki kamar tidurku, lalu dengan gerakan sangat cepat, kututupi seluruh bagian tubuhku dengan selimut untuk menyembunyikan diri.
”Oh, shit. Gadis itu hilang!” Ucapnya berpura-pura, padahal aku tahu benar, kalau ia telah melihatku disini.
Kudengar suara decitan pintu lemari yang kemungkinan dibuka olehnya, disusul suara laci yang ditarik keluar setelah itu.
”Sialan. Kemana gadis bodoh satu itu.” Ujarnya, masih seakan tak tahu kalau aku bersembunyi di bawah selimut tebal ini.
Kurasakan tepi kasurku yang bergerak, lalu kujauhkan diriku dari tepian kasur yang sedang kutiduri ini.
”Ayolah Karlee, keluarlah. Aku ingin sekali menggigit lehermu yang penuh daki itu.”
Oh, hey. Apakah dia mengejekku?
Sama sekali tidak lucu tahu, kalau kau mengejek seseorang. Apalagi dengan ejekan fitnah semacam itu.
Dia membuka selimutku, lalu teriak seakan menemukan sebuah harta karun dibaliknya. “Kena kau!” Ucapnya, sembari naik ke atas kasurku dan mendekat seakan ingin menggigit leherku seperti vampire di film yang barusan kami tonton bersama.
”Dyvan! Menjauhlah bodoh! Kau belum mandi tiga hari dan itu sangat menjijikan!”
Dyvan tertawa, lalu menggelitiki perut dan leherku dengan puas. “Fitnah besar. Seorang Dyvan tidak memiliki sejarah tidak mandi seharipun dalam hidupnya.”
Aku berteriak, meminta ampun agar Dyvan menghentikan aksi bodohnya.
”Oh, kau sepertinya sangat bahagia. Aku akan melanjutkan ini dan membuat durasinya lebih lama agar kau bisa bahag—“
”Dyvan, Karlee.”
Aku dan Dyvan menoleh, menatap mama yang berdiri di depan pintu sambil memegang tabletnya, menatap kami.
”Mama. Kami hanya—“
”Mama tahu, Karlee. Kamu pikir Mama akan berfikiran apa hah? Mama kesini hanya untuk memberitahu bahwa kalian berdua akan pindah ke kota pilihan Papa untuk melanjutkan SMA kalian nanti. Mama sudah membeli rumah disana. Lumayan besar. Setidaknya cukup untuk kalian berdua. Siapkan barang-barang sekolah kalian mulai dari sekarang ya. Selagi libur kelulusan kalian masih panjang. Dan Dyvan, orang tua kamu sudah setuju dengan ini. Jadi kau tak perlu risau.”
Aku dan Dyvan saling pandang, lalu mendelik jijik secara bersamaan.
”Yaudah kalau gitu mama pergi dulu. Dan, oh iya. Kalau mau melakukan sesuatu, tutup pintu dulu.”
“MAMA AH! APAAN SIH.”
Mama tertawa sembari beranjak pergi. Dan aku menatap Dyvan yang kini duduk tenang di sampingku.
Aku akan menghabiskan masa SMA ku dengan dia? Benarkah?