Loading...
Logo TinLit
Read Story - My Selenophile
MENU
About Us  

Kau tahu, setiap aku melihat bulan di malam hari, semua kenangan akan dirimu merekah bak bunga mawar yang selalu terhias di atas mejamu. Bulan mengingatkanku akan senyummu, bahagiamu, dan sendumu yang selalu terukir jelas dalam ukiran wajah yang dipahat oleh Tuhan.

Aku menelusuri setiap jengkal rumah besar ini, sudah tidak asing lagi bagiku melewati rumah yang terkesan megah namun suram itu. Iya, disinilah tempat pria yang sudah membuatku menaruh perhatian lebih padanya. Dialah satu-satunya alasan aku datang ke rumah megah ini, Mahesa Udayana.

“Mahesa,” ucapku ketika membuka pintu kamarnya. Ia sedang menatap malam yang berhiaskan cahaya bulan saat itu

Mahesa berbalik menatapku, ia memang tidak banyak bicara, bahkan sepertinya aku jarang sekali mendengar suaranya. Ia termasuk pria yang anti sosial mengingat hanya beberapa kali ia keluar dari rumah megahnya ini.

“Aku datang untuk menjengukmu, kau baik-baik saja?” tanyaku. Ia mengangguk dan duduk di sisi ranjang. “Dokter Fikram mengatakan padaku ia akan telat menemuimu. Tadi ia masih berbicara dengan ayahku,” lanjutku yang mengambil salah satu kursi dan menggesernya hingga tepat berada di hadapannya.

Seperti hari-hari biasanya, Mahesa hanya berbaring di ranjangnya dan menikmati kesunyian yang mengekang diantara kami. Entah karena apa, tapi kesunyian inilah yang selalu membuatku rindu ingin dekat dengannya. Sama sepertinya, aku pun bukanlah perempuan yang menyukai keramaian atau hal-hal yang mengganggu indra pendengaranku.

“Lasmi,” tiba-tiba dari arah pintu Dokter Fikram datang, ia adalah dokter pribadi Mahesa. “Maaf membuatmu menunggu lama,” lanjutnya.

“Tidak apa-apa Dokter,” jawabku. Jelas tidak apa-apa karena aku menikmati setiap detik kebersamaan ini dengan Mahesa.

Dokter Fikram berjalan mendekati Mahesa yang tengah berbaring. Ia mengeluarkan stetoskopnya, aku berdiri dan sedikit menyingkir agar Dokter Fikram dapat memeriksa kondisi Mahesa. Meski benci untuk mengakuinya, tapi hidup Mahesa tidak akan lama lagi. Jika aku mengingat akan hal itu aku selalu menyesal, mengapa Tuhan membiarkanku mencintai sesuatu yang sebentar lagi akan pergi?

Leukimia yang dideritanya hampir merenggut waktu hidupnya di dunia. Aku membenci semua ini, perkenalan kami terlalu dini jika harus dipisahkan kembali. Aku ingin ia hidup lebih lama lagi dan membagi kesunyian bersamaku seperti biasanya. Kali ini harapanku hanyalah tinggal harapan, ia akan pergi.

“Apa tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakitnya?” tanyaku saat Dokter Fikram sedang berada di ruang tamu kediaman Mahesa.

Dengan tenang, ia menyeruput tehnya dan bersandar pada sofa kulit berwarna coklat itu. “Jika aku bisa menyembuhkannya, akan kulakukan sejak dulu. Mahesa adalah orang yang juga sangat berarti bagiku,” ucapnya.

Aku duduk dan menyandarkan punggungku. Bisa dibilang Dokter Fikram lebih dari sekedar dokter pribadinya Mahesa, mereka berdua sudah saling megenal cukup lama, dan bagi Dokter Fikram, Mahesa adalah pasien spesialnya. Aku selalu kagum dengan sikap tenangnya itu, meskipun ia lebih dari sekedar tahu jika pasien spesialnya itu tak akan bertahan lama.

“Aku sudah mengusahakan segala cara agar Mahesa dapat sembuh dari Leukimianya, sudah banyak literatur mengenai penyembuhan penyakit tersebut, tapi tak ada satu pun yang dapat menyembuhkannya seratus persen,” lanjutnya.

Satu yang sekarang aku pikirkan, harapan akan adanya keajaiban untukku, Dokter Fikram maupun Mahesa sendiri.

Keesokan harinya, aku kembali mendatangi kediaman Mahesa. Pemandangan yang berbeda hari itu, Mahesa sedang menikmati teh sambil duduk di sofa yang berada di ruang tamu.

“Mahesa,” ucapku. Pria itu hanya menatapku sejenak sebelum kembali menikmati secangkir tehnya.

Aku duduk di hadapannya, kali ini meja menjadi penengah diantara kami. Ada yang berbeda padanya, baik kulit wajahnya maupun bibirnya, semua pucat pasi. Meskipun tidak ada raut kesakitan dari wajahnya itu.

Lagi, kami menikmati setiap keheningan yang membelenggu diantara kami. Aku menikmatinya dalam kesedihan yang tertahankan. Mahesa, maafkan aku yang terlalu egois ingin selalu bersamamu, maafkan aku.

“Uhuk!!!” tiba-tiba saja dalam keheningan itu Mahesa terbatuk, aku bangkit dari dudukku dan menghampirinya. Betapa terkejutnya aku ketika darah mengalir di sudut bibirnya. Aku mengambil tissu dan mengelapnya.

“Kau harus kembali ke kamarmu,” titahku. Mahesa tak merespon, aku membantunya untuk kembali ke kamarnya dan membaringkannya.

Aku menyelimuti tubuhnya ketika ia sudah berbaring nyaman di kasur. Aku berniat meninggalkannya agar bisa beristirahat, namun ia menginterupsiku,

“Lasmi,” ucapnya. Aku berbalik dan menatapnya. “Seharusnya kau tidak perlu sedekat ini denganku,” lanjutnya. Ia kembali memandang bulan dibalik kaca jendelanya.

Aku terdiam seakan ada batu yang menghantamku, kenapa Mahesa?

“Aku tak ingin membuat banyak orang terluka karena kepergianku nanti.” Lagi-lagi ia menghantamku sangat keras hingga aku sudah tak sanggup lagi menahan derasnya air mataku yang memberontak ingin keluar. Aku menangis di hadapannya.

 

“Jangan katakan itu, kumohon,” pintaku. “Aku dan Dokter Fikram akan melakukan segala cara agar kau kembali sehat.”

Mahesa menggelengkan kepala, “Meminta kalian menyembuhkanku sama saja dengan menambah beban di hatiku. Awalnya aku tak ingin mengenal banyak orang, tapi kau datang dengan segala kenyamanan yang kau berikan. Aku semakin terluka jika harus mengingatnya.”

Aku duduk di sisi kasurnya, kedua tanganku menggenggam salah satu tangannya yang dingin dan pucat itu. “Aku bahagia bersamamu, menikmati keheningan bersamamu adalah kebahagiaan yang tak akan pernah ada gantinya.”

Mahesa tersenyum, akhirnya setelah sekian lama aku melihat lengkungan senyum di wajahnya. “Berjanjilah, jika aku sudah tak ada lagi disini. Kau harus buat kebahagiaanmu sendiri, Lasmi.”

Aku mengangguk disela-sela isak tangisku, “Aku berjanji.”

Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang bisa kudengar darinya. Esoknya, aku berlari menuju kediamannya. Berita yang baru saja kudengar dari Dokter Fikram membuatku ingin segera sampai di rumah Mahesa.

‘Maafkan aku Lasmi, aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi.” Kalimat itulah yang membuatku menggila seperti ini, seakan langit jatuh dan menimpa sekujur tubuhku. Ia pergi dengan ketenangan yang selalu ia berikan diantara kami. Mahesa pergi sebelum aku sempat mengatakan terimakasih atas semua waktu yang terlalu indah untuk dijadikan sebuah puisi.

Lututku begitu lemas ketika melihat Mahesa dalam tidur abadinya. Ia begitu damai seolah-olah orang-orang yang mengelilinya hanyalah tiupan angin di sore hari. Dalam tidur abadinya, seakan semua beban yang selalu ia pikul menguap bersama kenangan yang sempat kami untai dalam kesunyian. Mahesa, bahagialah disana.

Malam ini, aku menatap bulan yang begitu terang menggantung diantara gelapnya selimut malam. Setiap jengkal kesunyian yang menyelimuti kebersamaanku dengannya tergambar jelas dalam bias cahaya bulan. Mahesa, apa kau melihatku dari atas sana? Aku lebih dari kata merindukanmu.

 

Hanya pelepah jenuh sebelum pergi melaju.

Nantikan cerita baru Tasya dan Davi di Kala Senja 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Give Up? No!
492      335     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
Rain
596      432     4     
Short Story
Hujan mengubah segalanya dan Hujan menjadi saksi cinta mereka yang akhirnya mereka sadari.
How to Love
1455      616     3     
Romance
Namanya Rasya Anggita. Sosok cewek berisik yang selalu penasaran dengan yang namanya jatuh cinta. Suatu hari, dia bertemu cowok aneh yang mengintip pasangan baru di sekolahnya. Tanpa pikir panjang, dia menuduh cowok itu juga sama dengannya. Sama-sama belum pernah jatuh cinta, dan mungkin kalau keduanya bekerja sama. Mereka akan mengalami yang namanya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tapi ter...
A Poem For Blue Day
396      299     5     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Between Us
3921      1445     5     
Romance
Song Dami jelas bukanlah perempuan yang banyak bicara, suka tersenyum. Oke, mungkin iya, dulunya, tapi sekarang tidak. Entahlah, dia juga lupa alasan kenapa dia lebih banyak menyembunyikan emosinya dan memilih untuk melakukan apa yang disuruh padanya. Dan karna itu, Sangho, oppanya meminta dia untuk berhenti dari pekerjaannya yang sekarang karna Dami ternyata ditindas oleh sunbaenya. Siapa ya...
Je te Vois
1856      969     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
A CHANCE
2075      915     1     
Romance
Nikah, yuk!" "Uhuk...Uhuk!" Leon tersedak minumannya sendiri. Retina hitamnya menatap tak percaya ke arah Caca. Nikah? Apa semudah itu dia mengajak orang untuk menikah? Leon melirik arlojinya, belum satu jam semenjak takdir mempertemukan mereka, tapi gadis di depannya ini sudah mengajaknya untuk menikah. "Benar-benar gila!" πŸ“ŒπŸ“ŒπŸ“Œ Menikah adalah bukti dari suatu kata cinta, men...
Toget(her)
1587      751     4     
Romance
Cinta memang "segalanya" dan segalanya adalah tentang cinta. Khanza yang ceria menjadi murung karena cinta. Namun terus berusaha memperbaiki diri dengan cinta untuk menemukan cinta baru yang benar-benar cinta dan memeluknya dengan penuh cinta. Karena cinta pula, kisah-kisah cinta Khanza terus mengalir dengan cinta-cinta. Selamat menyelami CINTA
Let me be cruel
8680      3616     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Aku Bahagia, Sungguh..!
484      345     2     
Short Story
Aku yakin pilihanku adalah bahagiaku mungkin aku hanya perlu bersabar tapi mengapa ingatanku tidak bisa lepas darinya --Dara--