Kau tahu, setiap aku melihat bulan di malam hari, semua kenangan akan dirimu merekah bak bunga mawar yang selalu terhias di atas mejamu. Bulan mengingatkanku akan senyummu, bahagiamu, dan sendumu yang selalu terukir jelas dalam ukiran wajah yang dipahat oleh Tuhan.
Aku menelusuri setiap jengkal rumah besar ini, sudah tidak asing lagi bagiku melewati rumah yang terkesan megah namun suram itu. Iya, disinilah tempat pria yang sudah membuatku menaruh perhatian lebih padanya. Dialah satu-satunya alasan aku datang ke rumah megah ini, Mahesa Udayana.
“Mahesa,” ucapku ketika membuka pintu kamarnya. Ia sedang menatap malam yang berhiaskan cahaya bulan saat itu
Mahesa berbalik menatapku, ia memang tidak banyak bicara, bahkan sepertinya aku jarang sekali mendengar suaranya. Ia termasuk pria yang anti sosial mengingat hanya beberapa kali ia keluar dari rumah megahnya ini.
“Aku datang untuk menjengukmu, kau baik-baik saja?” tanyaku. Ia mengangguk dan duduk di sisi ranjang. “Dokter Fikram mengatakan padaku ia akan telat menemuimu. Tadi ia masih berbicara dengan ayahku,” lanjutku yang mengambil salah satu kursi dan menggesernya hingga tepat berada di hadapannya.
Seperti hari-hari biasanya, Mahesa hanya berbaring di ranjangnya dan menikmati kesunyian yang mengekang diantara kami. Entah karena apa, tapi kesunyian inilah yang selalu membuatku rindu ingin dekat dengannya. Sama sepertinya, aku pun bukanlah perempuan yang menyukai keramaian atau hal-hal yang mengganggu indra pendengaranku.
“Lasmi,” tiba-tiba dari arah pintu Dokter Fikram datang, ia adalah dokter pribadi Mahesa. “Maaf membuatmu menunggu lama,” lanjutnya.
“Tidak apa-apa Dokter,” jawabku. Jelas tidak apa-apa karena aku menikmati setiap detik kebersamaan ini dengan Mahesa.
Dokter Fikram berjalan mendekati Mahesa yang tengah berbaring. Ia mengeluarkan stetoskopnya, aku berdiri dan sedikit menyingkir agar Dokter Fikram dapat memeriksa kondisi Mahesa. Meski benci untuk mengakuinya, tapi hidup Mahesa tidak akan lama lagi. Jika aku mengingat akan hal itu aku selalu menyesal, mengapa Tuhan membiarkanku mencintai sesuatu yang sebentar lagi akan pergi?
Leukimia yang dideritanya hampir merenggut waktu hidupnya di dunia. Aku membenci semua ini, perkenalan kami terlalu dini jika harus dipisahkan kembali. Aku ingin ia hidup lebih lama lagi dan membagi kesunyian bersamaku seperti biasanya. Kali ini harapanku hanyalah tinggal harapan, ia akan pergi.
“Apa tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakitnya?” tanyaku saat Dokter Fikram sedang berada di ruang tamu kediaman Mahesa.
Dengan tenang, ia menyeruput tehnya dan bersandar pada sofa kulit berwarna coklat itu. “Jika aku bisa menyembuhkannya, akan kulakukan sejak dulu. Mahesa adalah orang yang juga sangat berarti bagiku,” ucapnya.
Aku duduk dan menyandarkan punggungku. Bisa dibilang Dokter Fikram lebih dari sekedar dokter pribadinya Mahesa, mereka berdua sudah saling megenal cukup lama, dan bagi Dokter Fikram, Mahesa adalah pasien spesialnya. Aku selalu kagum dengan sikap tenangnya itu, meskipun ia lebih dari sekedar tahu jika pasien spesialnya itu tak akan bertahan lama.
“Aku sudah mengusahakan segala cara agar Mahesa dapat sembuh dari Leukimianya, sudah banyak literatur mengenai penyembuhan penyakit tersebut, tapi tak ada satu pun yang dapat menyembuhkannya seratus persen,” lanjutnya.
Satu yang sekarang aku pikirkan, harapan akan adanya keajaiban untukku, Dokter Fikram maupun Mahesa sendiri.
Keesokan harinya, aku kembali mendatangi kediaman Mahesa. Pemandangan yang berbeda hari itu, Mahesa sedang menikmati teh sambil duduk di sofa yang berada di ruang tamu.
“Mahesa,” ucapku. Pria itu hanya menatapku sejenak sebelum kembali menikmati secangkir tehnya.
Aku duduk di hadapannya, kali ini meja menjadi penengah diantara kami. Ada yang berbeda padanya, baik kulit wajahnya maupun bibirnya, semua pucat pasi. Meskipun tidak ada raut kesakitan dari wajahnya itu.
Lagi, kami menikmati setiap keheningan yang membelenggu diantara kami. Aku menikmatinya dalam kesedihan yang tertahankan. Mahesa, maafkan aku yang terlalu egois ingin selalu bersamamu, maafkan aku.
“Uhuk!!!” tiba-tiba saja dalam keheningan itu Mahesa terbatuk, aku bangkit dari dudukku dan menghampirinya. Betapa terkejutnya aku ketika darah mengalir di sudut bibirnya. Aku mengambil tissu dan mengelapnya.
“Kau harus kembali ke kamarmu,” titahku. Mahesa tak merespon, aku membantunya untuk kembali ke kamarnya dan membaringkannya.
Aku menyelimuti tubuhnya ketika ia sudah berbaring nyaman di kasur. Aku berniat meninggalkannya agar bisa beristirahat, namun ia menginterupsiku,
“Lasmi,” ucapnya. Aku berbalik dan menatapnya. “Seharusnya kau tidak perlu sedekat ini denganku,” lanjutnya. Ia kembali memandang bulan dibalik kaca jendelanya.
Aku terdiam seakan ada batu yang menghantamku, kenapa Mahesa?
“Aku tak ingin membuat banyak orang terluka karena kepergianku nanti.” Lagi-lagi ia menghantamku sangat keras hingga aku sudah tak sanggup lagi menahan derasnya air mataku yang memberontak ingin keluar. Aku menangis di hadapannya.
“Jangan katakan itu, kumohon,” pintaku. “Aku dan Dokter Fikram akan melakukan segala cara agar kau kembali sehat.”
Mahesa menggelengkan kepala, “Meminta kalian menyembuhkanku sama saja dengan menambah beban di hatiku. Awalnya aku tak ingin mengenal banyak orang, tapi kau datang dengan segala kenyamanan yang kau berikan. Aku semakin terluka jika harus mengingatnya.”
Aku duduk di sisi kasurnya, kedua tanganku menggenggam salah satu tangannya yang dingin dan pucat itu. “Aku bahagia bersamamu, menikmati keheningan bersamamu adalah kebahagiaan yang tak akan pernah ada gantinya.”
Mahesa tersenyum, akhirnya setelah sekian lama aku melihat lengkungan senyum di wajahnya. “Berjanjilah, jika aku sudah tak ada lagi disini. Kau harus buat kebahagiaanmu sendiri, Lasmi.”
Aku mengangguk disela-sela isak tangisku, “Aku berjanji.”
Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang bisa kudengar darinya. Esoknya, aku berlari menuju kediamannya. Berita yang baru saja kudengar dari Dokter Fikram membuatku ingin segera sampai di rumah Mahesa.
‘Maafkan aku Lasmi, aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi.” Kalimat itulah yang membuatku menggila seperti ini, seakan langit jatuh dan menimpa sekujur tubuhku. Ia pergi dengan ketenangan yang selalu ia berikan diantara kami. Mahesa pergi sebelum aku sempat mengatakan terimakasih atas semua waktu yang terlalu indah untuk dijadikan sebuah puisi.
Lututku begitu lemas ketika melihat Mahesa dalam tidur abadinya. Ia begitu damai seolah-olah orang-orang yang mengelilinya hanyalah tiupan angin di sore hari. Dalam tidur abadinya, seakan semua beban yang selalu ia pikul menguap bersama kenangan yang sempat kami untai dalam kesunyian. Mahesa, bahagialah disana.
Malam ini, aku menatap bulan yang begitu terang menggantung diantara gelapnya selimut malam. Setiap jengkal kesunyian yang menyelimuti kebersamaanku dengannya tergambar jelas dalam bias cahaya bulan. Mahesa, apa kau melihatku dari atas sana? Aku lebih dari kata merindukanmu.
Hanya pelepah jenuh sebelum pergi melaju.
Nantikan cerita baru Tasya dan Davi di Kala Senja