Hari itu, di Kamis siang, saatnya pelajaran olahraga. Pelajaran olahraga adalah pelajaran terakhir di hari Kamis, meskipun diterik panasnya Kota Bandung saat itu, tapi tidak menyulutkan semangat kami. Karena, ketika pelajaran olahraga menjadi pelajaran terakhir di hari itu, kamu akan pulang lebih awal dari biasanya.
“Baik, hari ini sebelum kita bermain Voli. Bapak akan meminta dua orang dari kalian untuk maju ke depan,” ucap Pak Budi, guru olahraga kami.
Citra dan Raka dengan sukarela ke depan menghampiri Pak Budi.
“Citra dan Raka sekarang menjadi kucing yang harus menangkap tikus-tikus dengan bola ini,” ucap Pak Budi memberikan bola karet seukuran bola Voli pada Raka. “Peraturannya, Citra dan Raka berada di tengah lapangan, sementara kalian semua harus berada di sisi lapangan sambil terus menghindari lemparan bola. Orang yang kena harus berada di tengah lapangan untuk membantu kucing.”
Kami semua mengangguk dan memposisikan diri kami. Lalu permainan pun di mulai!
Baru selang beberapa menit sudah ada tiga orang tikus yang berada di tengah lapangan. Aku sejak tadi berlari mengelilingi lapangan mencoba menghindar dari lemparan bola. Bahkan beberapa kali aku berhenti karena tertawa oleh tingkah laku teman-temanku.
Hingga menit terakhir, masih sekitar 12 tikus yang berada di sisi lapangan. Prisil dan Mia sudah kalah beberapa saat yang lalu, dan aku masih cukup kuat untuk menghindari bola.
“Sya, kesini,” ucap Davi mengajakku ke tengah lapangan.
Hah? Dia manggil aku?
“Sini-sini,” ucapnya lagi dengan nada yang sengaja di pelankan.
Aku pun menghampiri Davi karena perhatian semua orang masih tertuju pada yang lain.
“A-ada apa?” tanyaku mencoba menghilangkan rasa gugup.
“Istirahat dulu, sampai waktunya habis. Kamu belum kalah kan?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Aku juga. Kan gak ada peraturan tikus yang belum ketangkap dilarang ke tengah lapangan. Kita pura-pura aja udah ketangkap,” ucapnya.
Jenius!
Aku sedikit terkekeh mendengar penuturan Davi.
“Daritadi kamu disini?” tanyaku.
“Iya. Cape lari-lari terus. Bener gak?”
Aku kembali terkekeh. Apapun yang dilakukan Davi, rasanya selalu membuatku bahagia.
Hingga permainan itupun usai, aku dan Davi mengangkat tangan ketika Pak Budi menanyakan siapa yang masih bertahan. Semua orang memprotes tindakan kami. Namun Davi punya cara tersendiri untuk melerainya.
Hari itu, sejujurnya sangat menyenangkan bagiku. Mungkin bagimu itu hal yang biasa, hal-hal yang tidak perlu sering-sering diingat. Sayangnya, bagiku itu lebih dari sekedar kenangan biasa. Aku jadi sedikit bisa berada di sisi Davi untuk beberapa saat. Saat ia tertawa, saat ia berkomentar pada teman-temanku yang mencoba menghindari lemparan bola, saat di mana aku bisa sedekat ini dengannya.
~KALA SENJA~
Selesai dengan pelajaran olahraga, kami berempat tak lantas pulang namun pergi ke kantin untuk membeli minuman. Karena bel pulang masih setengah jam lagi, kami memutuskan untuk menunggu di kantin sambil menghilangkan dahaga kami.
“Nadin mau pesen apa?” tanyaku pada Nadin yang juga ikut kami ke kantin.
“Teh manis dingin aja,” jawab Nadin.
Aku bersama Prisil pun menghampiri meja kantin dan membeli minuman yang sudah kami pesan sebelumnya.
“Seneng yam yang tadi bareng-bareng Davi terus,” bisik Prisil sambil menyikut pelang lenganku.
“Sil jangan godain mulu ah,” protesku.
Prisil hanya tersenyum jahil ketika mendengar protesku itu.
Tak lama, pesanan kami datang. Prisil mengambil dua buah minuman dengan tangannya dan berjalan meninggalkanku. Sementara aku membawa nampan berisi sisa minuman yang tidak dibawa Prisil tadi.
“HAP!!!”
Davi secara tiba-tiba mengambil nampan yang kubawa. Aku terkejut melihatnya yang datang secara tiba-tiba seperti itu.
“Kamu duduk dimana?” tanyanya.
“Di sana,” jawabku tanpa menoleh sedikitpun pada Davi.
Iya benar! Sekarang aku sedang terkejut.
“Okay,” katanya lagi melenggang pergi menghampiri meja yang di isi oleh Prisil dan yang lainnya.
Aku memegang dadaku. Rasanya kembali berdegup kencang dan membuatku kehilangan kontrol akan deru nafasku sendiri. Padahal aku begitu sadar jika Davi tak bisa kuraih sama sekali, tapi kontrol atas perasaanku sendiri itupun tidak ada. Kenapa jatuh cinta begitu membingungkan sih?
Belum sempat aku melangkah, kini Mila menahanku dengan memegang pundakku. Wajahnya tidak terlihat bersahabat, dan yang lebih mengherankan, kenapa harus ada Mila ketika ada Davi di sekitarku?
“Jangan baper. Davi itu baik sama siapa aja,” katanya ketus.
Aku hanya bisa menghembuskan napas. Tidak ingin mengakui apapun, justru inginnya mengingkari segalanya.
“Anak beasiswa kayak kamu gak pantes di deket Davi,” kata Mila lagi membuatku sedikit tertohok. “Inget ya! Kamu bisa sekolah di sini karena orangtua Davi itu donatur di sekolah, kamu harusnya tau diri kamu tuh bukan siapa-siapa di sekolah ini!”
Ucapan Mila mungkin menyadarkanku akan satu hal yang seharusnya tak kulupakan. Aku hanya siswa beasiswa, bukan dari kalangan orang berada seperti Davi atau sahabat-sahabatku sendiri. Harusnya aku mengukuhkan niatku yang sejak awal itu, aku di sini hanya ingin sekolah. Bukan menatap Davi dan perasaan tertahanku selama ini.
Ahh! Rasanya aku terbuai dengan harapanku yang perlahan mulai menjelma menjadi keinginan tanpa berdasar.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas