Begitu aku kembali ke mejaku, ketiga sahabatku itu memandangiku sambil mengulum senyuman. Aku tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Kemudian, aku pun memegang kedua pipiku yang mulai memanas karena ditatap seperti itu oleh mereka.
“One step closer,” komentar Prisil.
“Apaan sih, Sil,” protesku.
Citra dan Mia tiba-tiba tertawa pelan.
“Kamu lucu tau gak,” kata Mia. “Keliatan tegang kayak minta acc dari Presiden aja.”
“Iya. Jangan tegang dan kaku lah, Sya. Santai aja,” tambah Citra.
Santai katanya, bagaimana bisa aku santai di dekat orang yang sudah lama aku kagumi diam-diam.
Bukan tanpa alasan aku diam saja tanpa berniat mengungkapkan perasaanku pada Davi. Tapi, kenyataan tidak bisa mendukungku. Davi terlalu luar biasa untukku yang hanya siswa terlampau sederhana, hanya keajaiban yang bisa membuat Davi bisa menyukaiku juga. Faktanya, tak mungkin seorang yang luar biasa seperti Davi melirik gadis biasa-biasa saja sepertiku.
Dan hal lainnya, tentu saja ada perempuan lain yang juga santer mendekati Davi lebih gigih dari siapapun.
“Davi.” Suara nyaring seorang perempuan memanggil nama Davi di tengah keributan saat istirahat di kelasku.
Davi pun menghampiri orang yang memanggilnya. Perempuan itu sedang berdiri di luar kelasku.
“Apa La?” tanya Davi.
“Liat deh, film yang kamu bilang waktu itu udah tayang di bioskop,” jawab perempuan itu sambil memperlihatkan ponselnya pada Davi.
Akupun penasaran dan melihat ke arah dua insan itu. Namanya Mila. Satu-satunya perempuan yang begitu akrab dengan Davi sejak kelas satu. Dan satu-satunya perempuan yang pastinya bisa membuka pintu hati Davi untuk ia masuki. Mila cantik, sangat. Ibunya adalah salah seorang pemain film terkenal di Indonesia. Tentu saja Mila pasti menurunkan gen cantik dari ibunya. Dilihatpun kedua orang itu sudah pasti cocok satu sama lain.
“Jalang!” komentar Citra.
“Eh?!” Aku terkejut mendengar ucapan Citra yang juga tengah melihat ke arah Davi dan Mila.
“Kamu ngomong apa, Cit? Gak baik ih!” protes Mia.
“Kamu inget gak waktu kelas satu kaca depan mobilku tiba-tiba penuh cat air,” kata Citra.
Kami semua mengangguk.
“Dia tuh dalangnya. Katanya dia gak suka kalau aku bawa mobil ke sekolah,” jawab Citra membuat kami terkejut.
“Dia?” tanya Mia.
“Kaget kan? Sama!” jawab Citra. “Kasian Davi, dililit Ular Kobra kayak Mila.”
Aku tak berkomentar. Lebih tepatnya hanya bisa diam. Bagaimana ya? Untuk yang satu ini, sejujurnya aku tak yakin apakah Mila seburuk itu, sebab yang kulihat Davi sepertinya nyaman bersama Mila. Tidak mungkin kan, orang sebaik Davi bisa seakrab itu dengan orang jahat?
“Kamu pepet terus, Sya. Aku sih gak ridho ya, kalau si Medusa itu pacaran sama Davi,” kata Citra.
“Kenapa ujung-ujungnya bawa aku juga?” tanyaku.
“Ya karena diantara kita yang suka sama Davi cuma kamu,” jawab Citra.
Akupun kembali melihat ke arah Davi. Ia masih anteng berbincang dengan Mila. Jangankan untuk bisa mengambil hati Davi, untuk bisa seperti Mila pun aku tidak mampu. Bersanding dengan Davi, maka aku haru sederajat dengannya.
“Tapi syukur sih si Medusa itu masuk IPS. Gak kebayang kalau dia di IPA dan satu kelas sama kita!” komentar Mia.
Aku pun hanya mengernyitkan dahiku. Tidak percaya jika Citra dan Mia memanggil Mila dengan panggilan Medusa. Memangnya semengerikan itu Mila?
“Udahlah, gak usah mikirin si Medusa,” kata Prisil ikut-ikutan menyebut nama Mila dengan panggilan Medusa. “Gimana kalau pulang nanti kita beli ice cream?” ajaknya.
“Oh iya.” Citra pun mengambil sesuatu dari kantung seragamnya dan mengambil sebuah kertas kecil. “Aku dapet potongan harga 50% dong! Kalau kita beli ice cream di tempat favorit kita,” katanya antusias.
“Yuk!!!” Mia berseru.
Suasana kesal tadi entah kenapa bisa dengan mudah meguar dan berganti dengan antusiasme cukup besar dari potongan harga ice cream. Baguslah!
“Ia gak usah di ajak,” goda Citra ketika melihat Mia antusias.
“Woy! Parahlah!” protes Mia.
“Hahaha….” Aku dan Prisil hanya tertawa melihat tingkah laku konyol dua sahabat kami di depan.
~KALA SENJA~
Kedai ice cream yang kami kunjungi letaknya berada di dalam sebuah mall di daerah Jalan Merdeka. Kedai ini di dominasi warna kuning, dengan lampu-lampu gantung berbentuk ice cream. Kami sudah sering kemari karena harganya, juga promo yang sering ditawarkan.
“Eh tau gak? Anak basket sekolah kita menang pertandingan lagi,” kata Mia memulai percakapan.
Aku yang berada di samping Mia pun mencondongkan tubuhku dan melihat layar ponsel milik Mia.
“Eh iya bener,” kataku.
Secara refleks, aku dan Mia melihat ke arah Prisil yang sepertinya tidak peduli dengan ucapan kami.
Prisil akhirnya menyadari jika kami sedang menatapnya sedari tadi.
“Seriously?” tanya Prisil tak percaya. “Aku kagak peduli dia mau menang atau kagak.”
“Yah, Sil. Kita kan kepo,” kata Citra ikut-ikutan. “Kak Rio jago basker, loh. Gak akan nyesel kamu nolak dia?”
“Kalau kalian tahu, kalian juga pasti satu pemikiran sama aku. Dia bukan cowo baik-baik,” kata Prisil mencoba meyakinkan kami.
Pesanan kami pun akhirnya datang, dan kami masih tetap melanjutkan obrolan kami.
“Daripada mikirin aku, kenapa gak obrolin soal Davi,” kata Prisil yang kini sukses membuatku bingung.
“Kok Davi?” tanyaku yang berhenti melahap ice cream-ku.
“Sya, kamu tuh dikasih kesempatan buat deketin Davi,” kara Citra,
“Deketin apaan? Kalian tau kan yang suka sama Davi itu banyak. Bukan cuma aku doang. Dia pasti milih-milihlah,” kataku. “Gak mungkin dia pilih aku.”
“Di dunia ini gak ada yang gak mungkin, Sya,” kata Citra. “Buktinya dia pilih kamu jadi sekertaris dari banyaknya orang-orang yang justru pernah sekelas sama dia.”
“Iya, Sya. Coba aja dulu PDKT mah gak salah kok,” kata Mia menyetujui ucapan Prisil.
“Hati orang gak ada yang tau. Siapa tau setelah kamu PDKT sama Davi, hati Davi berbalik suka sama kamu.” tambah Prisil.
Kuakui memang maksud sahabat-sahabatku ini hanya ingin menyenangkan juga meyakinkanku bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini. Termasuk juga hati manusia. Tapi, pikiranku mengenai jarak antara aku dan Davi juga terlalu kuat dan besar.
Kau mungkin akan berusaha mati-matian jika ini hanya settingan sebuah drama remaja. Tapi nyatanya, kau harus sadar diri tentang bagaimana seharusnya hatimu berlabuh. Jika ia yang kau kagumi terlampau jauh untuk digapai, maka yang kau lakukan hanya memperhatikannya dari jauh.
Aku mencoba mengalihkan pembicaraan pada hal lain. apapun itu, yang penting tidak mengarah pada Davi. Karena, apapun yang kami lakukan, bahkan pada hal-hal yang memalukan sekalipun, begitu berarti. Termasuk membicarakan Davi, atau hal-hal tidak penting lainnya.
Mungkin itulah makna sahabat. Kau tahu, SMA adalah masa di mana kau semakin dewasa namun tidak bisa melepas rasa kekanak-kanakanmu. Carilah sahabat-sahabat yang membantumu untuk tetap berkembang tanpa memaksa diri harus bersikap terlalu dewasa.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas