SURPRISE!!!!
Chapter kemarin seharusnya lebih panjang lagi, tapi ternyata benar-benar panjang sekali. Sehingga, minggu ini menjadi minggu spesial karena update 2 chapter.
Selamat membaca dan salam hangat.
*Oh iya, nantikan episode terakhir Rabu depan ????
Cheers,
SR
Davi membawaku ke Taman Lansia. Tempat pertama kali aku menikmati senja bersamanya. Kami menyusuri taman itu, suasana sepi dan bisik rindang-rindang pohon menjadi nada bagi kami yang begitu diam. Davi berhenti tepat di bangku taman yang pernah kami duduki berdua dulu. Aku mengekorinya dalam diam. Anak-anak yang lagi-lagi sedang bersenda gurau menikmati ikan-ikan yang berenang lincah di dalam kolam pun menjadi perhatianku sesaat.
“Kenapa kamu bisa ada di rumahku tadi?” tanyanya.
Pandanganku teralihkan padanya. Sebuah perasaan bersalah menyeruak di benakku. Tadi aku terlalu berusaha menghindari Davi di rumahnya sendiri. Sehingga kemunculanku menjadi tanda tanya besar baginya. Aku lupa hal itu.
“Maaf,” kataku lirih.
Davi menghembuskan nafas. “Sejak kemarin aku gak bisa tidur, kepikiran Tasya terus,” kata Davi.
Kemarin? Bagiku kemarin adalah keajaiban, keajaiban semesta dan senja. Hari yang tak pernah terbayangkan dalam benakku sebelumnya.
“Apakah nanti Tasya jadi benci aku? Apakah Tasya nantinya gak mau lagi ketemu sama aku? Atau Tasya dan aku kembali berjarak?” lanjutnya. Mata hitam Davi secara intens menatap ke arahku. Tepatnya, ke kedua bola mataku.
“Tapi dibanding itu semua, aku lebih takut kalau Tasya jadian sama orang itu.”
Aku diam tak menanggapi ucapannya.
“Maaf karena aku jadi egois. Aku cuma….” Davi menggantungkan kalimatnya. “Aku bakal bantu Tasya sama orang itu. Aku cuma mau bilang perasaanku selama ini sama Tasya.”
Entah setan apa yang merasukiku. Saat itu, aku menggenggam tangan Davi, kulihat ia terkejut karena aksiku. Dibanding itu semua, ada hal yang perlu kukeluarkan selama ini padanya. Tentang perasaan bisuku yang kini menjelma dan harus menjadi nyata.
“Kemarin aku mau minta maaf sama Kak Edgar. Soalnya aku juga mau bilang perasaanku sama Davi,” kataku.
“Hah?”
“Aku suka Davi, dari dulu. Sebelum Kak Edgar muncul.”
Kulihat sepertinya Davi mematung, wajahnya menampakkan ekspresi kebingungan.
“Waktu kelas satu. Sejak saat itu aku suka Davi. Davi baik sama semua orang, perhatian, dan selalu ceria. Aku gak tau apakah Davi pernah punya masalah, karena setiap aku perhatiin, Davi gak pernah kelihatan murung. Itu yang aku suka dari Davi, sejak dulu perasaan itu gak berubah, Dav,” terangku.
“Aku kaget waktu kemarin Davi bilang kalau Davi suka aku juga,” kataku malu-malu. Padanganku sengaja kualihkan pada objek lain. Rasanya aku jadi lebih penakut untuk sekedar menatapnya.
Tanganku yang menggenggamnya tadi perlahan kulepaskan. Sepertinya hari ini hati dan pikiranku sedang bekerja sendiri-sendiri. Membuat rasa canggung yang sempat hilang tadi kembali muncul.
Ternyata, Davi kini yang menangkap tanganku lalu berbalik menggenggamnya. Membuatku refleks melihat ke arahnya kembali.
“Apa harus kayak gini biar Tasya bisa lihat ke arahku?” tanya Davi memperlihatkan genggaman tangannya pada tanganku itu.
Semburan merah kembali muncul menghiasi wajahku.
“I-itu….” Aku kebingungan.
Davi tersenyum padaku. Senyuman manis yang selalu melarutkanku setiap waktunya.
“Makasih udah suka sama aku juga, Tasya. Terimakasih.”
Aku mau mengatakan hal ini dengan lantang. Ucapan Davi barusan, aku yakin itu adalah sebuah ketulusan.
“Pulang yuk! Nanti Om sama Tante nyariin kamu.”
Davi masih menggenggam tanganku ketika ia bangkit untuk berdiri. Otomatis aku pun ikut berdiri.
“Davi, tangannya,” kataku.
Davi masih menggenggam tanganku, seperti tak berniat untuk melepaskannya.
“Kenapa? Kita kan sekarang pacaran,” katanya.
“P-pa-pacar?”
Davi mengangguk. “Aku suka Tasya, Tasya juga suka aku. Apalagi yang kita tunggu?”
“T-tapi, pacar itu agak….”
“Tasya mau lebih jelas?” Davi kini benar-benar berdiri di hadapanku. “Mulai sekarang dan seterusnya, kita pacaran ya?”
Davi mengelus pucuk kepalaku. Ia pun menggenggam tanganku kembali lalu membawaku keluar dari taman tersebut. Tanganku yang lainnya sengaja kugunakan untuk menutupi wajahku yang sudah merah padam menahan malu, dan juga bahagia. Aku menunduk dan membiarkan Davi mengambil alih komando atas segala hal di waktu senja kini.
Kita dan pacar adalah dua kata asing yang kuanggap mereka hanya akan jadi mimpi. Kata ganti yang akhirnya menjadi wakil atas namaku dan nama Davi, seakan kini kami menjadi satu tim dalam menikmati senja-senja selanjutnya di Kota Bandung.
Davi mengantarku pulang kemudian. Terakhir kali ia berada di depan rumahku adalah saat aku merasa patah dan hilang harapan padanya. Kini, perasaan-perasaan yang dulu singgah menjadi tidak begitu bermakna lagi.
“Keliatannya sepi, Om sama Tante mana?” tanya Davi yang melihat kondisi rumahku yang sepi dan gelap.
“Kayaknya belum pulang deh. Lusa Mamah sama Bapakku mau ke Jogja, ada undangan ke sana. Masih belanja kayaknya,” jawabku.
“Kalau gitu kamu masuk duluan. Aku tungguin sampai kamu kunci pintunya,” kata Davi.
“Ya udah kalau gitu. Kamu hati-hati di jalan,” kataku.
Aku masuk ke dalam pekarangan rumah lalu membuka pintu rumah yang masih gelap itu.
“Tasya!” panggil Davi.
Aku kembali menoleh padanya. Ia sedang tersenyum padaku, lalu melambaikan tangan.
“Sampai ketemu besok,” katanya.
Aku membalas lambaian tangannya malu-malu. “Sampai besok.”
Aku masih melihat Davi dari balik jendela rumahku. Davi kembali melambaikan tangannya dan selanjutnya masuk ke dalam mobil lalu menghilang kemudian.
Di perjalanan menuju rumahku tadi, Davi bercerita sedikit tentang caranya menyatakan perasaan yang tidak ada kesan romantis. Katanya, ia ingin terlihat romantis melebihi Dilan, dia ingin terasa puitis melebihi Kahlil Ghibran, atau lebih dramatis melebihi John Green. Kataku, kesederhanaan adalah hal paling kusukai dari seorang Davi.
“Jangan terlalu menerbangkanku, Tasya. Aku gak tau caranya mengepakkan sayap,” kata Davi saat itu dengan raut wajah yang sudah kemerahan.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas