Hai....
Lama aku tak menyapa. Ngomong-ngomong -entah ini termasuk kabar baik atau kabar buruk- cerita KALA SENJA akan memasuki babak akhir alias sebentar lagi akan selesai alias menjelang 3 episode akhir.
Berulang kali aku mengucapkan terimakasih untuk teman-teman yang selalu mendukung dan setia membaca Kala Senja hingga chapter ini ????
Sebagai ucapan terimakasihku, khusus episode kali ini kubuat ceritanya sedikit lebih panjang. Selamat membacan dan salam hangat.
Cheers,
SR
Hari Minggu pagi. Aku baru saja membantu ibuku menata kue-kue yang menjadi pesanan untuk nanti siang. Jam di dinding kamarku masih menunjukkan pukul delapan pagi, lantas aku memilih untuk berbaring di kamarku. Berulang kali aku mengguling-gulingkan diri ke kiri dan ke kanan. Jiwa dan ragaku tak saling sinkron, sehingga berulang kali pula ibuku mengomel karena aku salah memasukkan adonan kue.
Mataku tertuju pada sebuah jaket yang sudah menggantung lamanya. Milik seseorang yang sekarang kembali menjadi alasang degup jantungku bekerja seribu kali lebih cepat dari biasanya.
‘Aku sayang kamu, Tasya.’
Ingatan itu kembali mengusik kepalaku. Aku menggeleng-gelengkannnya, berharap bayangan itu menghilang. Tapi tidak bisa. Suaranya masih terngiang jelas di telingaku. Berulang kali ia sering mengucapkan namaku, tapi tidak pernah hingga sebermakna ini.
“AKU INI KENAPA SIH?!!!”
~KALA SENJA~
Sudah berjam-jam aku memandangi halaman rumahku dari balik jendela kamar. Sesekali anak-anak kecil yang sedang lewat melambaikan tangannya padaku. Ibu-ibu yang baru saja pulang dari pasar pun memanggil namaku dan pasti bertanya, ‘Tasya, sedang apa?’ yang lalu kujawab dengan cengiran atau alasan berjemur di bawah sinar matahari.
“Teteh mau sampai kapan berjemur? Udah jam sepuluh, mataharinya juga udah gak bagus kali,” kata ibuku.
Aku tidak sadar jika ibuku sudah ada di dalam kamarku. Aku pun berbalik melihat ke arah ibuku.
“Teteh kenapa sih? Dari kemarin bengong terus? Ada masalah di sekolah?”
Masalah? Kemarin itu yang dikatakan Davi sebuah masalah bukan ya?
“Tuh bengong lagi,” tuduh ibuku.
Ibuku duduk di kursi yang biasa kupakai jika sedang belajar. Perhatiannya lalu tertuju pada jaket yang menggantung sejak berhari-hari lalu.
“Jaket itu belum dibalikin? Nanti Davi nyariin loh!”
“Davi?!” kataku membeo.
“Punya Davi kan ini teh?”
“O-oh. I-iya.”
“Daripada bengong terus, mending bantuin Mamah yuk bawain pesenan orang. Mamah harus nungguin Bapak pulang olahraga, mau belanja bulanan.”
Aku tak menjawab ucapan ibuku dan memilih untuk mengikuti ibuku berjalan ke arah dapur. Dua buah kotak kue besar sudah tersusun rapi di balik kantung plastik berwarna putih tersebut.
“Anterin ya. Deket kok dari sini,” kata ibuku sembari memberikan sebuah kertas berisi alamat yang dituju.
“Kan ada aplikasi ojek online Mah,” kataku.
“Kalau sama Teteh kan ongkosnya gak nambah,” elak Ibuku.
“Ya udah deh aku pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
~KALA SENJA~
Aku menaiki angkot menuju alamat yang diberikan ibuku. Di hari Minggu siang ini, angkot penuh dengan pasangan muda-mudi yang sepertinya ingin menghabiskan Minggu hanya berdua saja. Aku cukup risih melihat mereka begitu mesra meski di dalam sebuah angkutan umum.
Hanya butuh lima belas menit hingga aku sampai di sebuah gerbang perumahan yang cukup sepi. Seorang satpam menyapaku dan memberikan arah ketika aku bertanya mengenai alamat rumah yang kuberikan padanya. Lalu aku pun mengikuti arahan yang diberikan oleh satpam tadi.
Hingga tibalah aku di depan sebuah gerbang hitam dengan rumah besar bertingkat tiga denyang didominasi cat putih. Rumah itu terlihat sepi meski aku bisa melihat jajaran mobil yang terparkir di garasinya. Setelah mengecek sekali lagi alamat rumah tersebut, aku pun menekan bel yang ada di samping gerbang hitam rumah tersebut.
Tak lama, seorang laki-laki berusia lebih tua dariku pun keluar rumah dan menghampiriku.
“Siang, Kak,” sapaku. “Ini saya bawa kue pesenan,” lanjutku.
“Kamu Tasya ya?” tanyanya.
Aku terkejut. Ia mengetahui namaku, kok bisa?
“Iya,” jawabku singkat.
“Ayo masuk,” katanya.
Aku melongo meski tetap mengikuti laki-laki itu masuk ke dalam rumah. Aku harus menaiki beberapa anak tangga sebelum sampai di pintu rumah tersebut yang ternyata sudah terbuka lebar. Seorang wanita yang kukenal menghampiriku.
“Tasya!” katanya riang.
“Tante Rini,” seruku memanggilnya.
Aku menyalaminya dengan perasaan sangat terkejut. Tentu saja! Wanita cantik di hadapanku ini adalah ibunya Davi, yang berarti ini adalah rumah Davi. Kenapa aku mendekatkan diri pada penyebab jantungku berdebar seribu kali lebih cepat sih!
Tante Rini membawaku masuk ke dalam rumahnya, ia membawaku ke dapur. Di sana, ada laki-laki yang menyambutku tadi di depan gerbang juga seorang pria yang usianya mungkin tidak beda jauh dengan ayahku. Kuprediksi beliau adalah ayahnya Davi.
“Kenalin, Papahnya Davi,” kata Tante Rini.
Aku menyalami pria tersebut dengan tebakan yang benar. “Tasya Om,” kataku memperkenalkan diri.
“Temennya Davi Pah, temen sekelasnya. Yang waktu itu Mamah bilang ketemu di mall,” kata Tante Rini.
Aku hanya bisa tersenyum canggung dalam situasi yang tak pernah kuprediksi seperti sekarang ini.
“Ini Kakaknya Davi, anak pertama Tante, Billy namanya.” Tante Rini pun memperkenalkan laki-laki yang menyambutku tadi.
“Kamu cantik,” kata Kak Billy yang membuatku semakin canggung dibuatnya.
“Maaf ya, Tante gak bilang. Dari kemarin Tante sering ngobrol sama Mamahmu, sekalian pesen kue buat acara sekarang,” kata Tante Rini.
Kue? Ibuku? Acara?
“Tante tau kalau ibuku jualan kue?” tanyaku.
Tante Rini mengambil kantung plastik putih yang tidak kusadari sejak tadi dipegang oleh Kak Billy. Lalu kemudian menatanya di atas sebuah piring besar.
“Waktu itu Davi bawa kue banyak banget. Ternyata di dalam boksnya ada nama toko kue Mamahnya Tasya,” terang Tante Rini. “Kuenya enak, tapi Davi pelit banget waktu orang-orang di rumah minta lagi. Katanya kue berharga.”
Padahal itu kue yang biasa ibuku jual. Apanya yang spesial bagi Davi?
“Tante biar aku bantu,” kataku mengajukan diri membantu Tante Rini.
Ayah dan Kakak Davi pun pergi dari dapur dan entah kemana. Tinggalah aku dan Tante Rini saja di dapur.
“Waktu mamah Tasya bilang kalau kamu yang nganterin kue, Tante seneng. Sekalian aja tadi Tante minta ijin mamahmu buat pinjem anaknya,” kata Tante Rini. “Tasya mau kan bantuin Tante?”
“Boleh kok Tante,” kataku. “Aku seneng bantuin Tante.”
“Tante kangen sama kamu. Kalau di rumah isinya laki-laki semua, Tante suka kesepian. Gak ada yang bisa diajak ngobrol santai,” kata Tante Rini.
Aku pun tertawa.
“Apalagi kalau ada acara-acara kayak gini, gak ada deh yang bantuin Tante.”
Menjadi paling cantik di satu keluarga mungkin begitu menyenangkan bagi Tante Rini. Banyak laki-laki yang akan melindungi beliau kelak. Tapi sisanya, berbincang dengan laki-laki tak akan semenyenangkan mengobrol lama-lama dengan sesama perempuan. Mungkin aku bisa menyebutnya seperti itu, aku pun merasakannya, perbedaan tersebut.
“Memangnya hari ini ada acara apa Tante?” tanyaku.
“Billy, dia baru beres kuliah S2-nya di New Zealand.”
“Wahh!” Aku terlihat antusias.
Tante Rini sedikit tersenyum. “Tante pingin ngadain syukuran. Yaa, ke tetangga-tetangga sekitar aja sih.”
Aku mengangguk. Ingatanku kembali akan anggota keluarga Davi yang lain. Jika Kak Billy kuliah di New Zealand, lantas siapa kakak Davi yang lain, yang katanya punya band di kampusnya itu?
“Kalau Kakak Davi yang lain kemana Tante?” tanyaku.
“Candra? Dia ada acara di kampusnya. Ngeband katanya, nanti sore juga pulang,” jawab Tante Rini.
Aku kembali mengangguk. Piring-piring yang kosong tadi telah terisi penuh dengan deretan kue-kue yang dibuat ibuku. Tante Rini pun mengambil sesuatu di dalam kulkas. Beberapa buah-buahan yang kelihatannya masih segar.
“Tasya bisa potong-potong buah?”
“Bisa Tante.”
Kemudian aku pun memotong-motong buah tersebut. Entah bagaimana hari ini kepalaku sedang dipenuhi banyak pertanyaan seputar Davi.
“Kak Candra kuliah dimana Tante?” tanyaku untuk kesekian kali.
“ITB.”
“Anak-anak Tante hebat-hebat,” kataku memuji.
“Alhamdulillah. Padahal dulu Tante gak pernah ngarahin anak-anak Tante buat jadi anak teknik, biar mereka bisa lanjutin usaha Papahnya di event organizer. Yaa, tapi mau gimana lagi, kedua Kakak Davi senengnya di teknik, Tante sih cuma bisa dukung aja.”
“Kalau Davi sendiri?”
“Davi?” Tante Rini seperti tengah berpikir. “Dia satu-satunya anggota keluarga yang gak pernah terbuka. Dia kayak gak punya ketertarikan terhadap sesuatu. Hahaha....”
Aku ikut tertawa. “Aku pernah liat Davi kayaknya suka banget sama musik, dia juga jago main gitar dan nyanyi.”
“Hmm, gimana ya? Di rumah Davi jarang banget keluar kamar. Walaupun sesekali Tante denger dia main gitar, tapi uma sesekali loh. Makanya Tante gak tau minat dia kemana. Tante gak akan minta apa-apa, yang penting anak-anak Tante seneng. Udah gitu aja.”
Mendengar Tante Rini bercerita, aku tidak sadar jika sumber degup jantungku itu tidak kulihat sama sekali sejak tadi. Kemana dia?
“Tante ke atas dulu ya. Panggilin anak itu suruh bersihin piano di depan.”
“Eh, iya?”
Tante Rini seakan tahu apa yang tengah kupikirkan. Belum sempat aku menghentikannya, Tante Rini sudah terlebih dahulu menghilang menaiki anak tangga yang ada di hadapanku itu. Duh! Aku tidak siap bertemu Davi. Rasanya canggung sekali, apalagi kemarin aku tak mengatakan apa-apa ketika Davi mengantarku pulang. Kami diam selama perjalanan kemarin.
Setiap detik, degup jantungku semakin meningkat tajam. Keringat dingin mengucur ke setiap inci tubuhku. Perutku tiba-tiba saja sakit yang tidak biasa. Mungkin ini gejala psikofisiologis, di mana tubuhmu akan mengalami gangguan ketika kamu sedang merasa cemas begitu hebatnya.
Aku mengalihkan perhatianku dan menfokuskan diri memotong-motong buah yang dibawa Tante Rini tadi. Masa bodolah dengan Davi, bisa saja kan dia sedang tidur atau tidak mau diganggu gugat di dalam kamarnya.
Atau apapun kemungkinan-kemungkinan yang bisa melerai degup jantung ini.
“Tasya!”
Buah yang kupegang menggelinding di atas meja ketika suara khas orang yang kukenal mengalun di telingaku. Mataku refleks melihat ke asal suara tersebut.
Di antara anak-anak tangga itu, ada Davi yang berdiri dengan keterkejutan yang sama denganku. Kami berdua mematung, dengan pandangan mata yang saling bertatapan.
Wajahnya terlihat tidak biasa, sepertinya ia baru bangun tidur. Davi hanya menggunakan kaos dan celana panjang berwarna hitam. Semua serba hitam.
Tante Rini pun ikut turun, lalu menepuk pelan pundak Davi.
“Turun, Mas! Mamah masih banyak kerjaan di dapur.”
Bukannya turun, Davi justru berlari menaiki anak tangga kembali. Membuatku dan Tante Rini keheranan karena sikapnya.
“Anak itu kenapa sih!” komentar Tante Rini.
Aku pun kembali ke kesadaranku. Mengambil buah yang tak sengaja kujatuhkan lalu menfokuskan seratus persen pikiranku pada potongan-potongan buah tersebut. Ini suasana canggung kami yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dalam benakku.
~KALA SENJA~
Acara syukuran yang diadakan di rumah Davi terkesan ramai. Para tetangga sekitar datang dan saling berbincang-bincang. Aku pun larut dalam percakapan mereka, tanpa Davi tentunya. Kami berdua hanya saling tersenyum ketika berpapasan, sisanya, seperti tak pernah ada kedekatan daan rasa akrab diantara keduanya. Sungguh, canggung itu menyebalkan!
Hingga acara usai dan para tamu kembali ke rumah masing-masing. Aku masih membantu Tante Rini. Menghabiskan hari Mingguku di rumah seseorang yang kini tak bisa kudefinisikan dengan jelas, bahwa siapa Davi kini di mataku. Hebatnya ia masih menjadi pemicu degup jantungku. Bedanya, aku tidak tahu kami berdua kini menjadi apa.
“Makasih ya udah bantuin Tante,” kata Tante Rini.
“Iya Tante, aku juga seneng bisa ketemu sama Tante lagi, sama Om, sama Kak Billy juga,” kataku.
“Padahal ini udah sore. Tante gak nyangka bisa selama itu acaranya.”
“Gak apa-apa kok Tante. Mamah sama Bapakku juga lagi pergi pastinya.”
Tak berapa lama, seorang laki-laki yang kelihatannya tak jauh beda usianya dengan Davi pun datang menghampiri kami berdua.
“Ini Candra nih,” kata Tante Rini memperkenalkan laki-laki tersebut.
“Tasya, Kak,” sapaku.
“Oh. Kamu temennya Davi ya?” tanya Kak Candra.
“Iya.”
“Cantik bener kamu tuh.”
“Mas Candra!” Suara Davi menyela percakapan kami.
“Hahaha.... Gak usah cemburu kali, De. Lagian Mas juga gak akan ngerebut dia kok. Walaupun Mas langsung suka sama kamu, Tasya.”
“Eh?!”
“Candra emang gitu, jahil. Tapi dia gak ngigit kok,” komentar Tante Rini.
Yang membuatku dan Tante Rini tertawa.
“Karena di rumah ini perempuannya cuma Tante. Jadi ya begitu, aneh kalau liat perempuan lain di rumah ini,” kata Tante Rini.
“Mah, udah sore. Kasian Tasya kesorean ntar dicariin orangtuanya,” kata Davi. “Mas mending ke kamar gih. Jangan gangguin Tasya,” katanya lagi mengusir Kak Candra.
“Yaelah, De. Sinis amat! Ya udah Tasya, lain kali main-mainlah ke rumah. Sepi disini mah.”
“Hehe, iya Kak.”
“Davi anterin Tasya ya pulangnya,” kata Tante Rini.
Davi melenggang pergi sementara aku akan menolak tawaran Tante Rini.
“Aku pulang sendiri aja Tante. Kan deket,” kataku.
“Gak apa-apa, udah sore. Sekalian bawa ini, bingkisan dari Tante. Makasih udah dibantuin.”
Aku tahu Tante Rini begitu baik sekali. Aku merasa tidak enak jadinya.
“Makasih Tante, selalu baik sama aku,” kataku.
“Tante yang makasih sama kamu. Selalu nolong Tante. Nolongin anak Tante yang satu itu juga.”
Aku berpamitan dengan Tante Rini. Juga Kak Billy dan Kak Candra yang sedang bersantai di teras depan. Om Hari -ayahnya Davi- baru saja kembali dari berbincang-bincang dengan para tetangga sekitar.
“Mau pulang ya?” kata Om Hari.
“Iya Om,” jawabku sambil menyalaminya.
“Hati-hati ya. Mas Davi, hati-hati nyetirnya,” kata Om Hari pada Davi yang sudah ada di dalam mobil.
“Kalau gitu aku pamit ya Om. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Makasih ya Tasya udah bantu-bantu.”
“Iya Om. Sama-sama.”
Aku masuk ke dalam mobil yang biasa dipakai Davi. Aku gunakan safety belt, namun Davi tak jua mengendarai mobilnya. Niatku untuk tidak melihat ke arahnya pun akhirnya gagal. Aku akhirnya melihat ke arah Davi, mencari tahu ada apa dengannya.
“Boleh aku bawa kamu sebentar?”
Aku hanya bisa menautkan kedua alisku.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas