“Maneh kemana kemarin? Tiba-tiba bolos gak ngajak aing.” Raka menanyai hal yang sama setelah kemarin ia bertanya hal yang sama di grup chat.
“Elo dari kemarin nanyanya itu mulu? Gak ada pertanyaan lain?” tanyaku.
“Abis tumben banget, Tasya juga gak dateng kema— jangan bilang lo sama dia?”
Aku tak menjawab pertanyaan Raka dan melongos meninggalkannya masuk ke dalam kelas yang jauh dari kata ramai. Baru ada aku dan Raka, sisanya mungkin masih dalam perjalanan.
Aku duduk di tempatku seperti biasa, Raka menaruh tasnya lalu pergi keluar kelas. “Mau kemana?” tanyaku.
“Beliin sarapan buat Mia,” jawabnya.
“Lo pura-pura baik sama dia atau beneran baik nih ceritanya?” godaku.
“Apaan sih anjir! Lo selalu gak percaya sama gue mulu. Udah ah gue keluar bentar.”
Setelah Raka keluar kelas, aku membuka tasku lalu mengeluarkan ponsel yang sejak tadi tersimpan di dalam, kemudian menghubungi nomor terakhir di daftar panggilan teleponku.
'Iya, Dav?' jawabnya ketika mengangkat panggilanku.
“Aku kira belum bangun, maaf ya, tadi aku anter Kak Billy dulu ke stasiun kereta.”
'Hahaha… Aku udah naik angkot, gak usah ngerasa bersalah, Dav. Di Bandung angkotnya masih banyak kok.'
“Ya udah deh, hati-hati. Kalau ada yang godain, bilang pacarnya Davi.”
'Hahaha… Iya, nanti dibilangin.'
“Jangan ketawa juga, nanti banyak yang godain.”
'Hahaha…'
“Jangan ketawa!” kataku pura-pura marah.
'Udah ah! Davi lagi dimana sekarang? Jangan bilang lagi nyetir sambil nelepon aku.'
“Mau jawab lagi di hatimu, tapi kayaknya ketinggalan jaman ya?”
'Hahaha… Davi lucu!'
“Kalau gak lucu, masih suka?”
'Masih.'
“Syukur deh.”
'Hihi… Davi lagi dimana ih? Belum di jawab loh.'
“Aku udah di kelas, sendirian. Cepet ke sini, rindu.”
'Please, jangan main Dilan lagi, Dav.'
“Haha… ya udah hati-hati aja ya.”
'Iya.'
Setelahnya aku menutup panggilan tersebut, percakapan yang menjadi hal biasa jika lawan bicaranya adalah Tasya. Ia selalu terlihat senang dan membuatku menyenanginya lebih dan lebih. Mungkin ini yang dinamakan fase kasmaran, pantas saja para penyair bilang jika dua insan yang sedang jatuh cinta merasa dunia hanya milik berdua, memang begitu adanya, sepertinya orang-orang di bumi hanya latar belakang yang cuma memenuhi ruang kami berdua saja.
Sebuah benda berbentuk kotak yang terbungkus kertas kado berwarna ungu menjadi benda berikutnya yang aku keluarkan dari dalam tas. Aku menoleh ke beberapa arah di kelas, takut-takut jika ada seseorang yang sedang memergokiku. Dengan sigap aku menghampiri meja Tasya lalu menyimpan hadiah tersebut di bawah mejanya, menumpuk bersama beberapa tumpukan buku di dalamnya.
Aku tahu, mungkin rasanya klasik sekali memberikan hadiah diam-diam untuk pacar sendiri. Tapi aku sudah berjanji untuk merahasiakan hubungan kami berdua dari sekolah dan teman-teman di sini, aku hanya mencoba memulai membahagiakannya namun tetap memegang janji itu kepadanya.
Namun sepertinya orang-orang salah mengira hadiah yang tersimpan di bawah meja Tasya ketika sahabat-sahabatnya tidak sengaja melihat hadiah tersebut.
“Gila ya Kak Edgar! Waktu itu ngasih bunga, sekarang kado! Kamu sama Kak Edgar jadi gimana sih?” tanya Citra heboh yang jelas terdengar di telingaku.
Satu per satu orang-orang menanyakan perihal yang sama mengenai hadiah misterius itu. Lalu Tasya pun mencoba menyangkal satu per satu tuduhan dari teman-teman sekelas. Jika saja Tasya mengijinkan, aku tidak perlu diam-diam menyimpan hadiah tersebut, akan aku kutunjukan pada mereka semua bahwa akulah pelakunya, dan nama Edgar tidak perlu disangkut pautkan.
“Jadi kamu gak jadian sama Kak Edgar? Padahal PDKTannya aja seromantis itu?” tanya Prisil.
“Nggak, emangnya kalau PDKTan bagus bisa otomatis jadian?” tanya Tasya.
“Abis siapa sih yang bisa bikin Kak Edgar kalah di mata kamu, Sya?” tanya Citra.
Tasya tak menjawab, tapi di dalam hatiku, aku meneriakkan namaku dengan bangganya, meskipun kini aku sedang mengajari Raka dan salah satu temanku, Bimo membuat lagu. Kulihat sejenak ke arah Tasya dan anak-anak perempuan lain yang masih mengelilingi dirinya, Tasya membuka bungkusan tersebut, dan aku bisa melihat dengan jelas ia tersenyum riang ketika sampul buku The Fault In Our Star dilihat olehnya. Untungnya, aku tidak menuliskan siapa pengirimnya di memo kecil yang menempel pada sampul tersebut. Aku hanya menuliskan kalimat yang mungkin hanya dimengerti oleh orang-orang yang membaca atau menonton film tersebut.
‘Okay? okay.'
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas