Dekorasi bunga-bunga, origami kupu-kupu yang menggantung disetiap koridor sekolah, panggung yang berdiri di tengah lapangan, juga kursi-kursi yang berjejer rapi. Saatnya acara pensi!
Acara dimulai pukul sembilan pagi. Di awali dengan ucapan sambutan, lalu selanjutnya penampilan beberapa orang yang bernyanyi sebuah lagu. Meski hanya dari divisi dekorasi, kami tak lantas menganggur. Membantu divisi acara salah satunya, mengatur orang-orang yang akan tampil, atau membantu orang-orang yang ingin menonton acara.
Selebihnya, acara pensi itu menyenangkan. Aku beberapa kali melihat penampilan orang-orang, juga teman-teman sekelasku yang menampilkan drama musikal dengan akhir yang membuatku tertawa terbahak-bahak. Selain untuk mengisi acara, orang-orang yang ikut serta tampil di acara pensi tersebut pun berlomba-lomba untuk mendapatkan hadiah dan menjadi juara satu.
“Kak Tasya! Makan siomay yuk!” ajak Luna ketika waktu istirahat tiba.
Selain panggung yang cukup megah itu, ada beberapa stan makanan di sisi-sisi lapangan. Aku mengikuti Luna dan Annisa membeli siomay yang katanya enak itu, sambil menunggu teman-teman sekelasku yang akan tampil setelah istirahat siang.
“Temen-temennya Kak Tasya waktu drama musikal lucu ih! Kirain teh akhirnya bakal sedih,” komentar Luna.
“Mereka mah emang lucu, di kelas apalagi,” celetukku.
“Hahaha….” Luna dan Annisa tertawa.
“Oh iya, Kak Davi gak ikut tampil?” tanya Annisa.
Aku tidak langsung menjawab. Sepertinya aku pun tidak tahu. Aku menjadi tidak tahu menahu perihal Davi.
“Gak tau tuh, aku cuma bantuin temen-temen yang mau tampil drama musikal aja,” jawabku. “Lagian Davi kan anak logistik. Pasti dia sibuk.”
“Oh iya ya! Soalnya Kak Davi suaranya bagus banget,” kata Annisa.
“Iya! Waktu ngisi acara ospek juga. Aku suka banget sama suara Kak Davi,” tambah Luna.
“Cuma sayang ya, waktu Kak Davi deket sama Kak Mila, gak cocok.”
“Iya, untung sekarang mereka gak sedeket dulu. Katanya sih, Kak Mila udah gak nyaman sama Kak Davi. Padahal mereka kan belum pacaran.”
Aku tahu jika Davi pintar bernyanyi, dia juga cukup terkenal bahkan dikalangan anak kelas satu, tapi aku tidak membayangkan jika ternyata Davi ‘seterkenal itu’.
“Bilangin orangnya hayoh, ngomongin dia mulu,” ancamku.
“Ih! Jangan dong Kak, malu,” bujuk Luna.
“Nanti kita juga aduin Kakak sama Kak Edgar hayoh!” ancam Annisa.
Mendengar nama Kak Edgar, aku hampir lupa sesuatu yang penting. Jawaban yang ditunggu Kak Edgar. Seharusnya aku bisa dengan mudah menerima perasaannya. Toh, untuk apa aku bertahan dengan perasaan yang sudah dua kali membuatku patah dan hancur?
Tapi, perasaanku pada Davi tidak dipupuk sehari atau dua hari, tidak diatur untuk berhenti dalam waktu sesingkat-singkatnya. Untuk membenci Davi, mungkin rasanya akan mudah, tapi untuk melupakan serpihan-serpihan kenangannya, akan terasa susah.
~KALA SENJA~
Acara kembali dilanjutkan. Aku, Luna, dan Annisa mencari tempat yang nyaman untuk menonton acara selanjutnya. Sementara Dewi dan Intan sedang membantu teman-teman sekelas mereka. Divisi acara pun sudah bisa mengatur acara, sehingga tenaga kami tidak diperlukan lagi. Alhasil, kami memilih untuk menonton acara pensi tersebut.
“Kalian gak bantuin temen-temen sekelas kalian?” tanyaku pada mereka.
“Kita kan tampilnya besok, Kak. Sekarang cuma anak kelas dua sama beberapa anak kelas tiga,” jawab Luna.
Aku mengangguk.
“Kak Edgar juga tampil sama bandnya,” ujar Annisa.
“Band?” tanyaku.
“Kak Tasya gak tau ya? Tunggu deh!” kata Annisa.
Sesuai dengan ucapan Annisa. Tak lama Kak Edgar berdiri di atas panggung dengan beberapa temannya yang membawa alat musik. Begitu pun dengan Kak Edgar yang membawa sebuah gitar.
“Tasya!!! Kak Edgar tuh!!!” teriak Raka yang baru kusadari ia berada persis di belakangku. Kontan beberapa orang yang mendengarnya pun memandangi kami, atau Raka tepatnya.
“Raka ih!!! Ngapain sih?!” protesku yang berdiri dan menghadap padanya.
“Hahaha….” Raka hanya tertawa dan duduk manis di kursinya. “Liat tuh, Kak Edgar jadi tahu kan kamu duduk dimana,” ujarnya.
Aku menoleh pada Kak Edgar. Benar kata Raka, Kak Edgar kini tengah tersenyum ke arahku. Aku tak merespon, dan memilih duduk kembali. Untungnya jarak panggung dan tempat aku duduk lumayan jauh. Sehingga, aku prediksi Kak Edgar tidak begitu melihatku yang sedang duduk seperti sekarang, juga ekspresi wajahku yang tidak bisa didefinisikan itu.
Perlahan suara iringan alat musik itu menghipnotis hampir semua orang yang menonton penampilan Kak Edgar dan bandnya. Aku tahu intro yang dimainkan oleh mereka, itu lagu RAN berjudul Ombak Asmara. Aku suka lagu tersebut. Lagu itu menceritakan seseorang yang merasa tidak berdaya karena jatuh cinta, dan orang tersebut kebingungan sebab orang yang ia cintai tidak juga memberikan tanda padanya.
Apakah kau memang benar-benar suka padaku….
Cobalah beri sedikit pertanda janganlah kau buatku bertanya….
Aku terpaku mendengar lagu yang dinyanyikan oleh Kak Edgar. Aku pun bisa menebak dengan benar maksud Kak Edgar menyanyikan lagu tersebut. Tentu saja, ia bertanya padaku, tentang perasaanku padanya.
“Ciee….”
Orang-orang yang menonton Kak Edgar pun heboh karena lagu yang baru saja dinyanyikan olehnya. Beberapa panitia yang berada tak jauh dari tempatku berada pun tiba-tiba saja meneriakkan namaku. Membuatku kembali pada kesadaranku dan bersemu merah, salah tingkah tepatnya.
“Ya ampun Kak Tasya!!! Aku pasti baper!!!” teriak Luna.
“Banget Lun!!!” tambah Annisa.
“Udah ah, aku mau siap-siap sama bandku juga.” Raka menepuk pundakku sebelum pergi untuk bersiap-siap.
Tentu saja tidak ada perempuan yang merasa biasa saja ketika ia begitu dispesialkan oleh orang yang mencintainya sepenuh hati. Menunjukkan pada semesta bahwa cintanya begitu dalam hingga semua orang harus tahu, karena ia bangga memilikinya. Dan aku pun termasuk perempuan normal, yang akan merasa begitu ditinggikan oleh orang yang menyukaiku.
~KALA SENJA~
Biasanya, di saat bias senja seperti ini, sekolah tak seramai sekarang. Bagiku, menikmati senja adalah dengan sunyi dan sendiri. Untuk itu, aku mencari tempat strategis yaitu di koridor lantai dua, tepatnya di depan kelasku. Sepanjang lantai dua ini memang tidak ada siapa-siapa, hanya aku seorang. Dan melihat orang-orang yang ramai di bawah sana membuatku tak benar-benar sendiri.
Sebuah buket bunga mawar tergeletak begitu saja di atas kursi yang berada di sampingku kini. Itu dari Kak Edgar. Setelah ia tampil, aku diminta menemuinya di belakang panggung, dan saat itulah Kak Edgar memberikan buket bunga padaku. Kemudian ia pergi dan aku tidak menemukannya kembali hingga detik ini, padahal aku ingin mengucapkan terimakasih.
“Di sini kamu ternyata.” Suara Prisil mengalihkan atensiku. Ia sudah berganti pakaian dengan seragam sekolah selepas tampil bersama paduan suara perempuan-perempuan di kelasku.
Prisil menempatkan dirinya tepat berada di samping kursi yang sengaja kusimpan buket bunga pemberian Kak Edgar.
“Kirain udah pulang,” katanya lagi.
“Nunggu sampe beres. Katanya ada evaluasi sebentar,” jawabku.
Raka dan anak laki-laki di kelasku baru saja selesai tampil. Mereka tengah membereskan beberapa alat musik yang mereka bawa.
“Si Adi katanya gak mau ikut tampil.” Prisil berkomentar. Kulihat Adi masih membantu Raka di atas panggung.
Apa kabar hubungan mereka berdua ya?
“Beres acara, tadinya Adi ngajakin aku nonton. Tapi aku tolak,” kata Prisil seakan tahu apa yang ada di benakku.
“Kenapa?” tanyaku.
Prisil kini menoleh ke arahku, dan melirik sejenak pada buket bunga yang kusimpan begitu saja.
“Aku pingin jalan berdua sama kamu. Udah lama kita gak jalan cuma berdua doang kan?” ajaknya.
“Oh iya. Udah lama juga. Tapi kamu mau nunggu aku evaluasi dulu?” tanyaku.
“Gak masalah, aku bisa nunggu. Mumpung sekarang dan besok kita gak belajar.”
Aku kini yakin seratus persen. Pasti Prisil memiliki leluhur yang seorang cenayang. Ia muncul ketika aku sedang dalam kondisi perasaan yang tidak jelas.
Bagai bingkai-bingkai sebuah gulungan film. Ada sebuah perasaan nostalgia yang tiba-tiba saja menyergap benakku dan memutarkan satu demi satu bingkai-bingkai kenangan akan senja dan seseorang yang selalu muncul di kala senja. Sebuah lagu yang kini tengah dinyanyikan oleh seseorang di lapangan sana.
Aku pun menoleh ke asal suara. Satu-satunya sosok yang kini tengah memainkan gitar dan mengalunkan sebuah lagu yang sangat aku hafal.
Beri kita sedikit waktu…..
Semesta mengirim dirimu untukku….
Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah….
Aku kenal orang yang selalu mendengarkan lagu ini ketika bersamaku. Atau yang begitu senangnya ketika lagu tersebut diputar di toko buku. Seketika rasa sesak yang sempat singgah kembali datang dan membumbui mataku hingga perih dan siap meluncurkan cairan beningnya. Ada rasa yang tak terdefinsikan ketika ia menyanyikan lagu tersebut.
Yang dihari-hari berikutnya, mungkin tak akan pernah kulihat senangnya ia mendengarkan lagu-lagu karya Fiersa Besari. Yang dihari-hari berikutnya, mungkin aku tak akan lagi menikmati semilir angin senja di atas motor vespa miliknya. Yang dihari-hari berikutnya, mungkin aku akan kembali terisak perih melihat ia dan aku tak lagi dalam momen yang sama.
Mungkin
semua rasa yang tak terdefinisikan itu bernama kehilangan.
My X Idol akan update di hari Selasa. so, don't forget it!
Cheers,
SR
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas