Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kala Senja
MENU
About Us  

Hari itu hujan turun seharian. Sudah tiga hari Bandung diguyur hujan sepanjang hari. Bahkan beberapa wilayah terpaksa harus terkena banjir akibat volume air yang meningkat setiap harinya. Aku pun harus rela sepatuku basah akibat cipratan air ketika akan pergi ke sekolah.

Acara pensi tinggal tiga hari lagi. Percayalah, kami sibuk setengah mati. Menata tempat acara, meski belum kami dekor sama sekali dikarenakan hujan, membereskan beberapa pekerjaan-pekerjaan kecil agar saat hari H kami tak harus kerepotan, dan lain-lain. Aku pun masih harus membantu teman-teman sekelas mempersiapkan properti untuk drama yang akan kelas kami tampilkan nanti. Bahkan sekolah sengaja membebas tugaskan kami dari pelajaran-pelajaran yang memusingkan itu.

Sorry ya, aku mau ketemu Kak Edgar dulu,” kataku saat harus menghentikan sejenak pekerjaanku mewarnai background.

Kak Edgar jadi sering datang ke kelasku, lebih tepatnya hanya di bibir pintu untuk memberitahukan perihal pensi nanti.

“Kamu kelihatan capek,” kata Kak Edgar tiba-tiba.

“Oh ya?” Aku seakan tidak merasakan capek sama sekali. Ya, capek, tapi kurasa tidak sampai membuat orang lain tahu bahwa aku sedang kelelahan.

“Kamu gak apa-apa?” tanyanya lagi dengan nada cemasnya.

Aku mengerutkan keningku. Entah apa yang dimaksud dengan pertanyaan Kak Edgar. Aku baik-baik saja dalam keadaan sibuk seperti ini.

“Aku baik-baik aja kok, Kak. Ada apa sih?” tanyaku dengan cengiran.

“Hampir seminggu ini kamu memporsir diri kamu. Waktu istirahat kamu bantuin temen-temen sekelasmu. Belum lagi bantu anak-anak dekorasi, kadang kamu pulang paling sore dari yang lain,” terang Kak Edgar.

“Ini!” Kak Edgar memberikan satu kantung plastik berisi susu dan roti yang ia beli di kantin.

Aku menerimanya namun tetap dengan tatapan yang kebingungan.

“Jangan memporsir diri kamu sendiri. Aku gak mau liat kamu sakit, Tasya.” Tanpa aba-aba, Kak Edgar membelai kepalaku, sementara aku tidak menolak dan justru membiarkan Kak Edgar seperti itu.

“Udah gih masuk sana. Hari ini kamu gak usah kumpul sama anak-anak dekor ya, pulang aja. Nanti aku yang bilang sama anggota dekor yang lain.”

“Aku kan koordinatornya,” kataku.

“Aku ketua panitianya.”

“Yee! Kakak mau menyalahgunakan kekuasaan ya?” tuduhku.

“Bukan menyalahgunakan, memanfaatkannya,” elak Kak Edgar.

“Sama aja, Kak!”

“Hahaha…. Udah gih sana masuk lagi, di sini mah dingin.”

Kak Edgar melambaikan tangannya, dan aku membalasnya. Melihat punggungnya yang semakin lama semakin jauh, lalu menghilang di persimpangan.

Tentu saja kehadiran Kak Edgar seperti undian berhadiah bagi teman-teman sekelasku. Yang sampai sekarang tak pernah bisa untuk biasa-biasa saja ketika aku bersama Kak Edgar. Mereka heboh!

“Udah jadian ini teh?!” tanya Raka yang terdengar sedang mengompori satu kelas.

OTW, Ka,” timpal yang lain.

“Jadian atuh jadian kamu teh, Sya. Yang bening kayak Kak Edgar mah jangan dilepas,” ujar yang lain lagi.

Naha maraneh nu riweuh?!” protes Mia. Yang artinya, ‘Kenapa justru kalian yang heboh?!’

“Hahaha….” Gelak tawa terdengar satu kelasku.

“Kamu lagi, ngompor-ngomporin mulu,” kata Mia sambil memukul lengan Raka yang berada di sampingnya.

“Biarin atuh, sugan (semoga) jadi,” kata Raka.

Aku menanggapinya dengan senyuman. Tak menolak, atau mengiyakan ucapan teman-teman sekelasku. Aku justru duduk di kursi yang letaknya berada di sudut belakang ruang kelas, dan bersebelahan dengan jendela. Memakan makanan yang tadi dibawakan Kak Edgar. Iya! Sejujurnya aku sedang lapar!

“Cieee….”

Namun justru tanggapan berbeda keluar dari mulut teman-teman sekelasku.

~KALA SENJA~

Sesuai dengan ucapan Kak Edgar. Selepas bel sekolah berbunyi, aku lantas pulang. Tapi tidak jadi, aku memilih menunggu hujan yang deras ini hingga ia sedikit lebih bersahabat denganku.

Aku menunggu hujan bersama Prisil di koridor sekolah. Ia dijemput kakaknya hari ini karena akan pergi ke suatu tempat. Sementara kata Prisil, kakaknya baru saja keluar kelas. Mia dan Citra sudah pulang duluan. Suasana di sekolah masih terbilang ramai oleh hilir mudik para siswa yang mungkin sama denganku. Menunggu hujan sedikit reda untuk pulang.

“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Prisil seketika.

“Apapun,” jawabku sambil tetap memandangi tetesan air hujan yang tak terhitung berapa kali awan kelabu di atas sana menjatuhkannya.

“Kamu suka Kak Edgar?” tanya Prisil to the point.

Aku kini menoleh padanya. Pertanyaan sederhana yang entah bagaimana tak ada jawaban di dalam otakku.

“Suka kayak Kak Edgar suka ke kamu,” ralat Prisil yang menyadari aku sedikit kebingungan dengan pertanyaannya.

Aku kembali dengan tanda tanya besar.

“Aku kenal kamu lama banget, Sya. Sedikit banyak aku tahu siapa kamu, gimana perilaku kamu. Akhir-akhir ini kamu gila kerja, dan aku yakin ada sesuatu yang ganggu pikiran kamu, kan?” tebaknya.

Yang seratus persen, Prisil lebih menyadari ketimbang diriku sendiri.

“Aku tau kamu pasti gak akan cerita. Kamu sendiri bingung kan? Sekarang aku pingin kamu jawab sendiri, gak perlu kasih tau aku. Kamu udah gak suka Davi lagi?”

Mendengar nama Davi, rasanya membuat hatiku kembali mati. Degup jantungku berpacu cepat seperti pacuan kuda. Dan sekeliling wajahku, rasanya ada sesuatu yang membuatnya memanas.

Panjang umur rupanya. Davi datang menghampiri kami. Aku merasa seakan baru saja tertangkap basah melakukan pencurian di rumah seorang kaya raya.

“Kalian masih di sini?” tanya Davi.

Ia baik-baik saja. Sementara hatiku sudah remuk tak berjiwa. Menekan kuat-kuat rongga dadaku tak pernah berhasil membuat aku sedikit membaik. Melelehkan air matapun tak pernah membuat waktu kembali berputar pada waktu Davi, secara tidak langsung, meremukkan jantungku hingga menjadi debu dan diterbangkan oleh angin kepedihan.

“Nunggu ujan reda,” jawab Prisil seolah mewakiliku.

“Ohh.”

“Kamu ngapain masih di sini?” tanya Prisil kemudian.

Mungkin Prisil memiliki leluhur seorang cenayang. Buktinya, tanpa mendengar secara lisan pun, ia seolah-olah tahu isi hatiku sesungguhnya yang enggan menjawab pertanyaan Davi.

“Nungguin anak logistik kumpul,” jawab Davi.

Aku ingin hujan reda secepat mungkin, agar setidaknya aku bisa berlari menerjang hujan dan menjauh sejauh-jauhnya dari sosok Davi. Atau jika berkenan, aku terobos saja derasnya hujan sekarang. Toh, masuk angin bisa disembuhkan dengan mudah daripada menyembuhkan hati yang patah.

Pemikiran gilaku itu segera ditepis ketika Kak Edgar datang dan bergabung bersama kami.

“Yuk pulang!” ajaknya.

Tanpa perlu menyebut nama, aku yakin Kak Edgar sedang mengajakku.

“Hujan, Kak,” kataku.

“Aku bawa payung,” kata Kak Edgar memperlihatkan payung yang ia bawa.

“Kakak bawa payung itu?” tanyaku tidak percaya. Sebab itu bukanlah payung lipat yang biasa orang-orang bawa untuk berpergian.

“Punya ibu kantin. Yuk!”

Aku berdiri, tanpa sadar. Berniat untuk menolak ajakan Kak Edgar, karena aku merasa bersalah selalu dibantu olehnya. Padahal aku belum menjawab apapun perihal perasaannya padaku.

“Kak, kalau Kakak tolongin aku terus, aku makin merasa bersalah. Aku bahkan belum menanggapi ucapan Kakak dulu,” kataku.

Yang terjadi Kak Edgar malah tersenyum padaku dengan payung yang sudah terbuka lebar, siap untuk melindungi orang di bawahnya.

“Kalau gitu, aku tunggu jawabanmu saat penutupan pensi nanti, Tasya.”

Kak Edgar merentangkan tangannya ke arahku. Seolah-olah menungguku menggapainya. Dan tanganku mengambil alih kendali lagi, ia meraihnya dan Kak Edgar menarikku agar lebih dekat dengannya. Tangan yang baru saja menggenggamku tadi kini sudah merangkulku dari belakang agar hujan tak membasahi satu senti pun ke tubuhku.

“Aku tunggu jawabannya, Tasya!”

Lalu selanjutnya, kami menerobos hujan yang deras itu di bawah payung yang sama. Karena keterbatasan tinggi badanku, aku bisa merasakan deru napas Kak Edgar yang tak beraturan. Persis seperti yang pernah kudengar pula pada Davi.

Mengenangnya, membuatku sedikit menoleh ke belakang. Tepatnya ke arah Davi yang hanya bisa kulihat samar-samar sebab derasnya hujan menghalangi jarak pandangku padanya. Davi tetap berada di tempat, dan aku sedang dirangkul seseorang yang mencintaiku.

Itu menyakitkan, sungguh! Cintaku pada Davi dengan kadar yang utuh. Dan tanpa aba-aba, seolah-olah Davi mendorong perasaanku untuk menerima Kak Edgar secara menyeluruh, di saat hatiku hanya berisi tentang Davi semata.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • zufniviandhany24

    ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256

    Comment on chapter Satu Kelas
Similar Tags
Aku Biru dan Kamu Abu
832      486     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?
Last October
1907      758     2     
Romance
Kalau ada satu yang bisa mengobati rasa sakit hatiku, aku ingin kamu jadi satu-satunya. Aku akan menunggumu. Meski harus 1000 tahun sekali pun. -Akhira Meisa, 2010. :: Terbit setiap Senin ::
Warna Untuk Pelangi
8578      1823     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Reminisensi Senja Milik Aziza
925      493     1     
Romance
Ketika cinta yang diharapkan Aziza datang menyapa, ternyata bukan hanya bahagia saja yang mengiringinya. Melainkan ada sedih di baliknya, air mata di sela tawanya. Lantas, berada di antara dua rasa itu, akankah Aziza bertahan menikmati cintanya di penghujung senja? Atau memutuskan untuk mencari cinta di senja yang lainnya?
KEMEJA BIRU
289      158     0     
True Story
Warna baru kesukaan Gelis ternyata Biru, pekat maupun lembut, Gelisa Sundana Cloura Naurza Purmadzaki sangat menyukai warnanya. Gelis sedang jatuh cinta, di kampus Pak Nata tidak berdiri untuknya, hanya melewatinya begitu saja. Gengsi dan buang muka adalah kemahiran Gelis. Gelis mencoba berhenti berpaling dari Pak Natapurna Pradiksa, seorang dosen muda yang senang memberikan senyuman dan kerama...
The World Between Us
2429      1044     0     
Romance
Raka Nuraga cowok nakal yang hidupnya terganggu dengan kedatangan Sabrina seseorang wanita yang jauh berbeda dengannya. Ibarat mereka hidup di dua dunia yang berbeda. "Tapi ka, dunia kita beda gue takut lo gak bisa beradaptasi sama dunia gue" "gue bakal usaha adaptasi!, berubah! biar bisa masuk kedunia lo." "Emang lo bisa ?" "Kan lo bilang gaada yang gabis...
About love
1283      598     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
KILLOVE
4681      1444     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
The Boy
1896      739     3     
Romance
Fikri datang sebagai mahasiswa ke perguruan tinggi ternama. Mendapatkan beasiswa yang tiba-tiba saja dari pihak PTS tersebut. Merasa curiga tapi di lain sisi, PTS itu adalah tempat dimana ia bisa menemukan seseorang yang menghadirkan dirinya. Seorang ayah yang begitu jauh bagai bintang di langit.
CORAT-CORET MASA SMA
489      354     3     
Short Story
Masa SMA, masa paling bahagia! Tapi sayangnya tidak untuk selamanya. Masa depan sudah di depan mata, dan Adinda pun harus berpikir ulang mengenai cita-citanya.