Percaya atau tidak, divisi dekorasi kini sedang bekerja di Ruang Tim Basket. Hal yang menurutku tidak seharusnya kami berada di sini, tapi bagi Kak Edgar, tidak ada yang tidak mungkin. Dengan alasan kami tidak memiliki ruangan untuk menyimpan peralatan kami, ditambah, ruangan ini memang sedang tidak dipakai tim basket. Alhasil, dengan ‘kekuasaan’ Kak Edgar, kami bekerja di sini.
“Beruntung ya jadi Kak Tasya.” Kudengar Luna mulai meracau ketika kami sedang asyik-asyiknya dengan pekerjaan masing-masing. Dan pekerjaanku adalah membuka kaleng cat berwarna putih untuk melapisi warna asli dari kardus-kardus bekas yang belum kususun itu.
“Iya. Gak perlu bilang, Kak Edgar udah tau apa kebutuhan kita,” timpal Annisa.
“Hush!” Kudengar Intan mencoba menghentikan kicauan dua adik kelas itu. “Kurang keras ngomongnya!”
Alhasil, cat yang belum sepenuhnya kubuka itupun jatuh dan menimbulkan suara nyaring di satu ruangan tersebut.
“Ugh! Gak usah GR, Sya. Selo aja,” komentar Dewi.
Aku berdecak kesal, meskipun yang mereka lihat aku sedang mengulum senyumanku.
“Udah ah! Sama kalian mah aku gak fokus. Aku mau cat kardusnya di pinggir lapangan aja,” kataku sambil beranjak pergi dengan membawa cat dan kuas.
“Hahaha… Yang lagi kasmaran ni yee!!!”
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku. Penat rasanya mendengar ‘cie-cie’ yang begitu banyak dan intens. Kepalaku seakan ingin pecah. Meski sudah berulang kali aku menyangkal, tapi tak ada satu pun dari mereka yang mau mendengarkan. Semua tuli dan hanya mau membuatku tersipu malu.
Tentu aku tersipu malu, Kak Edgar memang baik. Benar-benar baik dan perhatian. Siapapun akan bereaksi yang sama denganku. Meskipun dalam hatimu kau memiliki seseorang yang lain.
~KALA SENJA~
Aku mendudukkan diri sejenak di bawah pohon beringin yang berada di pinggir lapangan. Tempat aku bekerja mengecat kardus-kardus bekas nanti. Meski tanpa godaan anggota-anggota divisiku, aku memang akan bekerja di sini. Agar catnya tidak mengotori lantai ruang tim basket.
Sore itu tim dari divisi logistik sedang mempersiapkan panggung. Kulihat dari kejauhan ada Davi yang sedang membantu kawan-kawannya. Ada Kak Edgar juga, yang sedang menaiki kerangka panggung yang terbuat dari besi-besi itu. Hebat juga kakak kelas yang satu itu.
“Jangan dilihat terus. Ntar kamu juga suka dia!”
Aku menoleh ke asal suara, kulihat Mila sedang menatapku dengan papan dada yang tengah ia peluk.
“Ngapain kamu di sini?” tanyaku yang terkejut dengan kehadirannya.
Hubunganku dengan perempuan satu ini memang tidak baik. Justru berakhir buruk, tapi aku tidak mempermasalahkannya. Toh kami berdua ditakdirkan untuk tidak saling akur.
“Kak Edgar dari dulu orangnya baik. Miriplah sama Davi,” ujar Mila memulai ceritanya, walaupun aku tidak memintanya.
“Kak Edgar jauh dari Davi. Dia mantan ketua Osis, anak basket, anak emas semua guru-guru. Bahkan katanya ia sudah dapat beasiswa di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Yang jelas, kalau kamu sama dia, kamu bakal beruntung,” tutur Mila. “Lihat aja, kamu dapet akses ruang basket buat tempat kerja anak dekor.”
Aku hanya bisa mendengarkan Mila dengan seksama. Pernyataan ini memang sering aku dengar dari setiap orang yang mau membahas kesempurnaan Kak Edgar. Iya, aku setuju jika aku beruntung karena Kak Edgar menyukai gadis biasa-biasa saja sepertiku, kadang akupun tidak percaya jika itu adalah kenyataan. Perasaan Kak Edgar padaku.
“Dan untuk pertama kalinya, dia justru suka sama orang sepertimu,” kata Mila dengan ucapan pedasnya seperti biasanya.
Tunggu!
“Pertama?” tanyaku.
Mila berjongkok di sampingku yang sedang duduk di atas rerumputan. “Sayangnya Kak Edgar dingin sama perempuan. Berpuluh-puluh kali dia dapat pernyataan cinta. Gak ada satupun yang dia tanggepin. Justru dia nyatain cinta sama kamu. Di depan banyak orang,” jawab Mila.
“Hah? Dingin apanya? Dia justru ramah sama aku,” kataku menyangkal ucapan Mila.
“Pernah kamu lihat Kak Edgar ngobrol santai sama anak perempuan?” tanya Mila.
Aku diam. Setahuku, aku tak pernah melihat Kak Edgar berbincang-bincang dengan siswa perempuan, bahkan ke sesama anggota panitia sekalipun. Atau mungkin itu hanya kebetulan saja.
“Kak Edgar walaupun baik, tapi gak bisa santai di ajak ngobrol. Cuma sama kamu doang,” kata Mila sembari berdiri kembali. “Kamu beruntung dapetin dia.” Lalu ia pun beranjak pergi meninggalkanku.
“Tapi….” Mila menghentikan langkah kakinya dan berbalik kembali melihatku. “Aku harap perasaanmu terhadap Davi tetap sama seperti saat pertama kali kamu menyukainya. Tasya, jangan menyia-nyiakan perasaanmu yang sudah selama itu hanya untuk orang baru.”
Ini lebih tidak bisa diterima akal sehatku. Meski wajahnya tetap tidak bersahabat, nada bicaranya yang ketus, juga cara dia menatapku dengan angkuh. Kata-kata yang diucapkan Mila justru terdengar seperti dukungan atas perasaanku yang telah lama tersimpan pada Davi. Garis senja memang terkadang menyimpan banyak sekali keajaiban.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas