Mungkin sudah banyak berita mengenai kejadian yang terjadi pada Minggu, 13 Mei 2018 lalu di Surabaya. Tentu akupun merasa prihatin atas rentetan tragedi yang tak pernah diprediksi sebelumnya oleh kita. Akupun sama, tak pernah mengerti tentang jalan pikir manusia-manusia yang menghancurkan kedamaian seseorang meski atas dasar apapun. Itu salah! Bagi mereka mungkin tak pernah ada kedamaian dalam hati mereka.
Kuharap dari tragedi ini kita bisa lebih merekatkan jarak yang sempat melebar. Mempersempitnya agar 'Si Pandai Merusak Kedamaian' tidak akan mudah menghancurkan kita.
.
.
.
.
Selama seminggu ke depan, kami dihadapkan dengan soal ujian. Aku sudah cukup siap untuk mengikuti UTS kali ini. Ini ujian pertamaku di kelas dua. Kelas kami di bagi dua kelas. Di mana setiap meja berisi dua orang, satu anak kelas tiga, dan satu lagi anak kelas dua. Spesial untuk anak kelas satu biasanya satu meja satu orang.
Tentu hal ini membuatku terpisah dengan ketiga temanku yang berada di kelas yang berbeda karena harus sesuai dengan urutan absensi.
Selama pekan ujian, beruntungnya suasana di kelas tempat aku ujian terbilang seru. Kakak-kakak kelas yang sering bergurau atau menjahili adik kelasnya seperti kami. Padahal tidak sedikit anak kelas tiga yang cukup tertekan dengan tuntutan Ujian Nasional tahun ini, tapi kondisi berbeda justru muncul dari kelasku.
Hingga hari terakhir ujian, setelah bel pulang berbunyi dan satu per satu kami merapikan barang bawaan kami, Raka mengajak kami ke kelas sebelah karena akan berdiskusi mengenai sesuatu.
Kelas sebelah, di mana teman-temanku ujian terkesan sepi dan monoton. Berbeda dengan kelasku. Aku menghampiri ketiga sahabatku. Kulihat Adi yang baru saja menghampiri Prisil dan membicarakan sesuatu. Ia memandang ke arahku saat kami papasan.
"Susah!" keluh Citra begitu aku sampai.
Aku hanya tertawa, komentar Citra tidak semuanya salah.
"Zonk banget dong waktu Matematika kemarin, mana hari Jumat pula. Sebentar kan waktunya," kataku.
"Kamu yang belajar bareng Adi aja bilang gitu. Lah, apalagi aku!" kata Citra.
"Udah kok, udah beres," kata Mia.
"Temen-temen minta perhatiannya dulu dong," kata Davi yang sudah ada di depan kelas.
Kami semua akhirnya melihat padanya. Sudah seminggu aku tidak melihat Davi, hanya beberapa kali papasan saja karena kami berbeda kelas.
"Senin sampai Rabu kita kan libur. Nah, foto bareng yang waktu itu Raka usulin gimana kalau di tiga hari itu?"
Kami saling berunding. Sebenarnya hari libur itu mau aku pakai untuk main dengan ketiga sahabatku.
"Kita mainnya Minggu aja atuh. Gimana?" Usul Mia.
"Gak apa-apa," kata Prisil.
"Aku juga boleh-boleh aja," kata Citra.
"Tasya gimana?" Tanya Mia padaku.
Aku mengangguk dan memberi tanda 'OK' pada Mia.
Tak lama, akhirnya kami semua setuju untuk foto bareng di hari Senin. Agar sepi karena hari itu adalah hari kerja orang-orang.
"Biar fotonya bisa diambil minggu itu juga," kata Raka.
"Oh iya." Mia mengangkat tangan dan mengajakku ke depan kelas. Membuatku bingung namun tetap mengikutinya.
"Kupon makan itu, mau dipake gak? Lumayan potongan harganya 50%," kata Mia.
"Boleh-boleh!” Semua sontak setuju.
"Kalau gitu aku minta nama kalian, sekalin bayar buat foto. Hari ini aku mau booking buat studio foto sama minta ijin Pamanku."
Satu kelas tiba-tiba mengantri di depan kami. "Tasya tulisin ya," kata Raka.
Aku mengangguk. Sudah tugasku sebagai sekertaris untuk tulis menulis berbagai hal menyangkut kelas. Pantas Mia tadi menyeretku ke depan, rupanya untuk mencatat orang-orang yang akan ikut foto.
****
Selesai dengan diskusi mengenai foto kelas, dan ternyata Bu Tira juga ikut, kami satu per satu bubar. Adi menghampiriku ketika ketiga sahabatku tidak ada.
"Tadi gimana ujiannya?" Tanya Adi.
"Parah sih waktu Matemtika kemarin. Cuma waktu ujian Fisika bagian esai nomor terakhirnya susah banget. Aku bingung cara ngerubah rumusnya, hasilnya jadi aneh," jawabku panjang lebar.
"Iya. Itu aku juga kebingungan, Sya," kata Adi.
"BTW udah sampe mana nontonnya?" tanyaku.
"Lumayan, aku nonton drama yang akhir-akhir ini baru keluar aja. Aku juga lagi ngikutin variety show-nya juga."
"Ohh."
"Eh Sya, aku minta saran. Gimana kalau aku coba ajak pergi Prisil Senin besok?"
"Pas foto kelas?" tanyaku antusias.
Adi mengangguk sedikit malu.
"Boleh-boleh, nanti aku coba tanya ya. Semoga bisa jalan bareng Senin nanti," kataku senang.
"Hahaha. Makasih ya, kamu sampe seneng gitu."
"Iya, terlalu semangat. Seneng habisnya."
"Ya udah gih kayaknya kamu ditungguin temen-temen kamu tuh."
"Oh iya. Ya udah, aku duluan kalau gitu, Di. Jangan lupa hari Senin ya," pamitku.
****
Hari Minggu pagi, setelah mengantar Ibuku membeli sayur-sayuran di pasar. Aku bersiap-siap untuk selanjutnya pergi menemui ketiga sahabatku. Hari ini rencananya kami akan nonton bioskop, dan melakukan banyak hal yang bisa membuar kami senang.
"Ketemuan dimana emangnya Teh?" tanya Ayahku.
"Sekolah Pak," jawabku.
"Kalau gitu diantar Bapak aja. Bapak sekalian mau keluar."
Aku setuju dengan tawaran Ayahku. Sudah cukup lama aku tidak berboncengan dengan Vespa merah Ayahku ini. Itu adalah rindu yang lain, rindu pada suatu momen kebersamaan yang sudah lama terjadi. Dan kini saatnya rindu itu di balas.
Aku selalu penasaran dengan kondisi Bandung sebelum kendaraan bermotor mendominasi. Sebelum rumah-rumah dan bangunan-bangunan lain berdiri. Yang cuma Bandung dan pohon dan juga kabut di pagi hari. Bagaimana kondisi saat itu dulu? Menyenangkankah?
Meski Bandung cukup macet tadi, aku sampai tepat waktu dan melihat Prisil sedang berdiri di depan gerbang sekolah yang terkunci.
"Om." Prisil menyalami Ayahku.
"Eh Prisil. Apakabar?" Sapa Ayahku.
"Baik Om," balas Prisil. "Mau kemana Om?"
"Jalan-jalan. Kalian hati-hati ya."
"Siap Om."
Aku menyalami Ayahku ketika beliau akan pergi kembali.
Setelah Ayahku benar-benar pergi, Prisil bertanya padaku, "Tumben dianter."
"Sekalian mau pergi juga katanya," kataku.
"Ya udah duduk di situ yuk. Panas." Prisil menunjuk ke arah pohon yang cukup besar untuk kami bernaung dari panasnya matahari siang itu.
Tak berapa lama Citra dan Mia datang. Sengaja kami berempat pergi menggunakan angkutan umum.
Kami pergi menonton film di salah satu mall yang cukup terkenal di Bandung. Prisil yang mengajak kami, katanya film yang ingin dia tonton cukup seru. Semacam film-film superhero. Dan ternyata memang seru.
Setelah itu, kami mengelilingi mall tersebut. Melihat-lihat baju, atau masuk ke toko buku hingga mereka menyeretku keluar karena bosan. Aku sempat membeli beberapa buku untuk kubaca nanti.
"Si Tasya mah jangan di bawa ke toko buku? Moal indit-indit (gak akan pergi-pergi)," omel Mia saat kami menunggu makanan pesanan kami.
"Hahaha..." Aku hanya bisa tertawa dan memperlihatkan buku yang baru saja kubeli. "Soalnya banyak buku-buku bagus."
"Sya kenapa gak ke Palasari aja? Di sana kan murah," kata Prisil.
"Tapi buku-buku barunya agak susah aku cari, Sil. Yaa kadang kesana juga sih sama Bapak," kataku.
"Daripada mikirin buku, coba aku pingin tanya kamu sama Raka gimana kabarnya?" tanya Citra mengalihkan pembicaraan.
Pertanyaan Citra mengundang rasa penasaran aku dan Prisil. Apalagi aku, aku tidak tahu sejak kapan Mia dan Raka begitu dekat.
"Hahaha..." kini giliran Mia yang tertawa.
"Lain seuri ih! (Bukan ketawa ih!)” protes Citra.
"Iya kamu tuh, gimana sih," tambah Prisil.
"Habis kalian tiba-tiba nanya atuh. Kan saya kaget," ucap Mia namun dengan logat Sundanya yang kental. "Gak gimana-gimana kok. Gitu aja. Si Raka mah gak ada bedanya. Si eta mah anggeur weh heureuy wae. Kamari oge. (Dia tuh tetep aja bercanda. Kemarin juga)"
"Hah gimana emang?" Tanya Prisil.
"Masa waktu kita booking foto dia nanya paket foto prewedding ke mbaknya. Kan aing (aku) yang malu yah!"
Kami tertawa.
"Terus waktu ke tempat makan Om aku tuh, dia nyemilin kerupuk waktu aku lagi ngurusin tempat makan. Gak ngebantu pisan (banget)."
"Si Raka gelo (gila)!" Kata Citra.
Dari cerita Mia, aku tahu bahwa dia juga senang meski kedengarannya Raka sering bercanda. Mia tak pernah bercerita mengenai orang yang ia suka. Sejauh ini yang aku tahu Mia belum pernah pacaran sebelumnya. Raka itu yang pertama, baik sekedar teman PDKT atau calon pacar.
"Yang aku heran kok kamu sama Raka bisa deket sih. Dari kapan?" tanyaku.
"Yaelah, kemana aja sih si Nona Galau ini. Waktu gosip si Mila pacaran sama Davi si Raka sering minjem alat tulis ke Mia," jawab Citra.
"Tapi kan sebelah Mia itu Davi," kataku.
"Iya. Kan dari Davi Beb," jawab Mia. "Dia mah keliatan banget cari perhatiannya. Cuma memang Raka kalau di ajak serius pasti serius," lanjutnya malu-malu.
"Ajak serius nikah nih?" goda Citra.
"Maneh mah aya-aya wae! (Kamu tuh ada-ada aja) " protes Mia.
Lagi-lagi kami tertawa. Membicarakan banyak topik random yang entah bagaimana bisa saling menyambung satu sama lain. Dari mulai PDKT Mia dan Raka, ayam geprek yang baru buka di dekat sekolah, hingga ramen yang kami pesan dengan ukuran jumbo.
"Tidak menyangka harga murah porsi gak murahan Sist," komentar Mia melihat mangkuk ramen kami masing-masing yang super besar itu.
"Aku pesen dimsum hayoh," kata Prisil. "Bantuin abisin ah!"
Dan benar saja, dimsum yang di pesan Prisil isinya sangat banyak.
"Bantuin!" rengeknya.
"Gak mau ih. Salah sendiri segala di beli kamu mah, Sil," kata Mia.
"Atuh Ia ih, bantuin," kata Prisil.
Dengan opera sabun sebentar itu, pada akhirnya kami ikut menghabiskan dimsum pesanan Prisil. Tak lupa saling mencicipi ramen kami masing-masing. Kebiasaan sejak dulu. Kami selalu membeli pesanan yang berbeda-beda agar bisa merasakannya sama-sama. Mungkin bisa menjadi tips untukmu.
"Tapi serius deh Sya, kabar kamu sama Davi gimana?" tanya Citra tiba-tiba. "Kalian semakin berjarak tau gak."
Baiklah! Saat itu aku bungkam. Tak bisa menjawab sama sekali. Pertanyaan Citra mengingatkanku pada terakhir kalinya aku bersama Davi, dalam guyuran hujan sore itu. Ia memayungiku dan memotong jarak kami menjadi terlalu dekat.
Jantungku kembali berdebar. Sensasi yang sesungguhnya kunikmati itu, perlahan mengabur dan menjadi sayatan tak kasat mata. Meski tak ingin mengakui, tapi sesungguhnya kami kembali berjarak. Walaupun ketiga sahabatku tak pernah tahu mengenai kisahku di bawah senja yang selalu ada Davi di sana. Nyatanya, kami memang sedang berjarak, dan entah sampai kapan ia akan kembali mendekat.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas