Setelah berpamitan dengan Tante Rini, seperti yang diminta oleh Tante Rini, kini aku berada di dalam mobil Davi, dengan radio yang memutarkan lagu Hivi berjudul Remaja. Bandung saat itu sudah hampir malam, senja hanya terlihat seperti segaris jingga dan mulai diambil alih oleh hitam pekatnya malam.
“Tadi ngobrol apa aja sama mamahku?” tanya Davi padaku.
“Emm, cuma kegiatan kita kalau di sekolah,” jawabku dusta. Aku pun tidak enak jika mengatakan bahwa tadi kami membicarakan Davi, dan keburukannya menurut versi Tante Rini.
“Ohh, maaf ya, kamu jadi terjebak sama mamahku,” kata Davi meminta maaf.
Aku menggeleng, “Nggak kok. Mamah kamu asyik, aku suka,” kataku jujur.
Serius, mengobrol dengan Tante Rini ternyata lebih asyik dibandingkan bersama Davi, atau perbedaan yang sulit dideskripsikan, tapi jelas aku senang mengenal Tante Rini.
“Mamahku tuh begitu, selalu pingin tau urusan aku,” kata Davi sambil terus mengemudikan mobilnya. “Padahal gak ada yang spesial di sekolah.”
Aku tak merespon, yang terjadi justru pikiranku penuh dengan banyak hal tentang Davi, salah satunya, bagaimana takaran Mila di mata Davi? Harusnya kan dia jadi hal yang paling spesial di hati Davi, tapi kenapa Davi seperti tidak tertarik untuk menceritakan Mila pada keluarganya?
Aku ingin menanyakannya, tapi malu jika harus kutanyakan langsung pada Davi. Takutnya aku terlihat ingin ikut campur urusan mereka berdua. Berada di mobil Davi seperti sekarang saja sudah membuatku merasa bersalah.
“Kalau Davi punya pacar, apa bakal cerita sama Tante Rini?” tanyaku hati-hati.
Davi diam, tidak merespon sampai kami dihentikan lampu merah di perempatan jalan. “Mungkin,” jawab Davi singkat.
“Mungkin?” tanyaku membeo.
“Tergantung siapa yang jadi pacarku. Kalau orang yang aku suka, pasti aku bakal ngenalin dia sama mamahku,” tutur Davi sambil menoleh padaku. “Tapi kalau yang jadi pacarku adalah orang yang suka padaku, mungkin aku akan merahasiakannya.”
“Suka sama kamu?” Aku tak mengerti.
“Iya. Kalau perempuan itu suka padaku dan nembak aku duluan, aku pasti bakal terima dia, walaupun aku gak sepenuhnya suka sama dia,” terang Davi.
“Kenapa?”
“Karena aku cuma mau menghargai dia. Butuh banyak keberanian buat ngungkapin perasaan sama orang yang kita suka. Daripada saat itu dia patah hati juga, lebih baik kita terima dan jalani aja dulu. Syukur-syukur kalau nantinya aku juga suka sama dia.”
Lampu merah itu berubah menjadi hijau, pertanda Davi harus melajukan mobilnya kembali. Dari yang kudengar, di samping aku kini tahu bahwa perasaan Davi begitu samar pada Mila, aku cukup setuju dengan ucapan Davi, setidaknya kita harus menghargai perasaan orang lain, dan memahaminya. Tidak ada yang tahu bukan bagaimana kedepannya?
“Kalau Tasya sendiri?” tanya Davi.
“A-aku gak tau,” jawabku. “Aku gak pernah ditembak atau nembak orang. Hahaha….”
Davi ikut tertawa bersamaku. “Kalau ada yang nembak walaupun kamu gak suka dia gimana?”
Pertanyaan Davi membuatku cukup memakan waktu untuk berpikir. “Aku juga bakal ikut saran Davi, berusaha untuk menghargai perasaan orang lain. toh, mengungkapkan perasaan secara langsung itu gak mudah kok.”
Iya, tidak mudah. Jika itu mudah, sudah kesekian kali mungkin aku menyatakannya pada Davi. Buktinya, sampai senja berakhir pun, bisu itu masih menjadi wakil atas perasaanku pada laki-laki yang sedang mengantarku pulang, yang kini semakin samar-samar mengenai perasaan laki-laki ini.
~KALA SENJA~
Aku sampai di rumahku dengan disambut kedatangan ayahku yang baru saja pulang dari kantor kelurahan. Beliau menjadi salah satu pegawai di kantor kelurahan, dengan memarkirkan vespa merahnya, Ayah menyambutku ketika aku menyalaminya.
“Baru pulang?” tanya Ayahku.
“Iya, Pak. Habis beli buku,” jawabku.
Tanpa sadar ternyata Davi ikut turun dan menghampiri Ayahku. Aku baru menyadarinya ketika Davi sudah menyalami Ayahku.
“Ini siapa?” tanya Ayahku.
“Davi, Om. Tadi beli buku juga bareng Tasya,” jawab Davi memperkenalkan diri.
“Oh. Masuk dulu Davi, minum-minum aja dulu.”
“Iya Om makasih, tapi lain kali aja. Udah sore juga,” kata Davi. “Sekalian nganterin Tasya.”
“Ya sudah, hati-hati Davi. Makasih udah nganter pulang Tasya.”
“Iya Om sama-sama. Duluan ya Tasya.”
Aku tersenyum dan sedikit melambaikan tangan. “Makasih, Davi,” kataku.
“Iya, sama-sama,” kata Davi.
Davi pergi berlalu tapi sepertinya ia sedang mengamati motor ayahku. “Ini tahun 96 bukan ya Om?” tanya Davi.
“Produksi awal 96, masih bagus kan?” kata Ayahku menghampiri motornya dan sedikit mengelus-elus Vespa merahnya. “Kamu suka vespa?”
Davi mengangguk. “Saya lagi nabung buat punya vespa Om,” kata Davi.
“Wah! Bagus tuh, nanti Om ajak kamu ketemu sama club motor Om.”
“Boleh Om, makasih banyak.”
Aku mengerutkan kening. Heran! Davi ternyata suka motor vespa, terlihat sama antusiasnya ketika Davi membeli buku tadi siang.
~KALA SENJA~
Lagi-lagi ada gerombolan orang-orang di depan kelasku. Aku segera menghampiri karena takut-takut itu Prisil yang sedang berkelahi seperti dulu.
Tapi yang kulihat adalah Davi, Mila, dan dua orang lain yang biasanya selalu bersama Mila. Sepertinya situasinya sedang tidak baik, kulihat raut wajah Davi yang terlihat sedang tidak suka itu.
“Kalian berhenti bikin gosip. Aku gak pernah pacaran sama Mila.”
Detik kemudian duniaku tiba-tiba senyap, lalu yang terjadi selanjutnya seperti kembang api yang meletup-letup di atas pekatnya malam. Ada perasaan lega seperti air yang menemukan muara terakhirnya. Perlahan demi perlahan, samar-samar aku melihat secercah cahaya yang lambat laun semakin melebar dan menerangi semua yang jadi jarak pandangku.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas