Hari ini kami tak lantas pulang. Sengaja karena Citra mengusulkan untuk menonton film horor di kelas. Ia juga dengan senang hati membawa laptop miliknya. Katanya ia terlalu takut untuk menonton film itu sendiri.
“Padahal kamu kan yang paling pemberani,” kata Mia.
“Seriusan sih film ini gelo dari film pertamanya,” kata Citra sedikit heboh.
Satu-satunya orang yang terlihat ketakutan bahkan sebelum film dimulai adalah Prisil. Ia tadinya berniat pulang, tapi entah kenapa justru Prisil masih duduk di bangkunya.
Kelas kini hanya tinggal kami berempat. Ada beberapa siswa yang sedang ekskul di lapangan. Juga terik matahari yang menandakan hari itu belum terlalu sore. Tapi kesunyian tiba-tiba saja sangat mengekang.
Citra memutar filmnya. Aku memang bukan termasuk orang pemberani seperti Citra atau Mia, tapi tidak setakut Prisil. Dalam beberapa hal mungkin ada film yang benar-benar menakutkan, ada pula yang biasa saja.
Film itu bercerita mengenai sebuah boneka terkutuk yang memiliki dendam kepada umat manusia dan bertekad untuk membunuh seluruh umat manusia. Kupikir film ini lebih ke arah sadis ketimbang menyeramkan, tapi Prisil sudah berteriak-teriak tak kala boneka terkutuk itu muncul tiba-tiba dengan sebilah pisau di tangannya.
Hingga film itu mencapai klimaks, kami semua menarik nafas bersamaan. Film tersebut menegangkan karena kami sendiri merasa seperti sedang diteror oleh boneka tersebut. Pada bagian akhir film, boneka yang sudah terbakar itu tiba-tiba muncul di depan sebuah rumah, tepatnya di dalam kotak kardus.
“Tamat,” ujar Mia.
“Si Citra apa-apaan sih nonton film sadis begitu,” komentar Prisil yang paling penakut diantara kami. Suaranya sedikit parau akibat teriakan-teriakan tadi.
“Dulu mah gak sesadis ini loh, Sil,” kata Citra.
“Aku jadi takut kan pulang sendiri,” kata Prisil. “Mana udah sore lagi.”
Aku melihat ke arah jendela, hari memang sudah sore. Suara siswa yang sedang ekskul tadi pun tidak terdengar lagi. Dan kini suasana benar-benar mencekam.
“DARRR!!!!”
Mia memukul meja dan berteriak mengagetkan kami. Membuatku harus mengelus dada akibat kelakuannya.
“Dasar gelo!” omel Prisil.
“Hahahaha. Lagian kalian jadi tegang gitu sih, selo kali,” kata Mia. “Prisil kan bisa pulang bareng aku sama Citra.”
“Terus aku sendiri,” kataku.
“Hahaha. Yaelah Sya, biasanya juga sendiri. Atau harus panggil Davi,” goda Mia.
Aku mendorong pelan pergelangan Mia. “Ngapain bawa-bawa pacar orang sih? Udah ah, pulang yuk. Udah sore nih.”
Kami akhirnya pulang, dengan aku yang menyusuri jalanan sore nan sepi itu sendirian. Angkot memang akan jarang melintas jika sudah sore seperti ini.
Suasana tempat aku berdiri menunggu angkot kali ini kurasa sedikit berbeda. Dedaunan yang bergerak oleh angin memunculkan suara-suara yang membuatku sedikit merinding. Tak ada siapapun, tak ada kendaraan beroda sama sekali. Hanya aku, di sisi jalan sendirian, dengan suasana senja yang berbeda dari biasanya.
Ini pasti efek dari nonton film barusan. Bulu kudukku berdiri mengingat adegan tiap adegan dari film tersebut. Alhasil, bulu kudukku berdiri.
“Tasya!”
“Hah!!!” Aku terkejut mendengar suara orang yang memanggilku tiba-tiba. Aku menoleh dan menemukan Davi yang berjalan ke arahku.
Eh?
“Masih di sekolah?” tanyanya.
Aku tak bergeming. Diam untuk beberapa saat melihat ketakutan terbesarku yang sebenarnya. Davi tengah menggendong tasnya dengan seragam yang tidak serapi biasanya.
“Kamu juga disini,” kataku. Entah apa maksud dari ucapanku itu. Tapi kenyataannya, hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
“Tadi abis nungguin Mila latihan,” katanya.
Oh iya. Davi ini kan pacarnya Mila. Wajar bila ia menunggu Mila latihan ekskul.
“Oh,” kataku. Tanpa sadar mungkin aku sedang jengkel, marah dengan diriku sendiri.
“Kamu belum jawab pertanyaanku,” kata Davi yang sudah berdiri tepat di sampingku.
“Oh. Itu, aku abis nonton bareng temen-temen,” jawabku terbata-bata.
“Dimana?”
“Di kelas, barusan.”
“Film apa?”
“Horor”
“Oh.”
Setelah itu kami kembali sunyi. Aku menunggu angkotku tiba dengan semilir angin yang kini menggoyangkan ranting hingga membuat helai demi helai dedaunan hijau itu berjatuhan.
Aku ingin bertanya pada Davi, kenapa dia masih ada di sini bersamaku. Berdiri di sampingku, dan membuat debaran khusus dalam rongga dadaku. Bedanya kali ini sedikit linu dan sesak, mengerti bahwa nyatanya, hati Davi telah dimiliki yang lain. Meskipun dalam keduanya aku tetap sama, menjadi pembisu, baik ketika Davi masih sendiri, ataupun sudah bersama yang lain.
Niatku itu urung kulaksanakan. Aku memilih diam sembari menunggu angkot, menghargai hubungan David an Mila juga perlu. Agar aku tak berlama-lama dikekang oleh cinta yang semu.
Angkot pun tiba, aku menaiki angkot berwarna hijau itu. Di dalamnya hanya ada seorang laki-laki memakai seragam SMP dan seorang ibu yang membawa anak kecil perempuan sekitar dua tahunan.
Aku heran ketika Davi pun ikut masuk dan duduk di sampingku, benar-benar tepat di sampingku. Padahal masih ada ruang kosong di angkot tersebut.
“Kenapa kamu ikut masuk?” tanyaku heran.
“Jagain kamu, takut ada orang aneh gangguin kamu lagi,” jawab Davi.
Kehadiran Davi sendiri adalah segelintir alasanku enggan melepas diri dari cinta yang sepihak, namun kalimatnya barusan sepertinya terlalu sukses untuk menggambarkan bahwa aku kembali jatuh cinta padanya, lebih dan lebih.
Mengabaikan nyeri di ulu hati dan menahan luka yang akan membekas di lain senja.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas