Melepaskan
By Awindsari
Langit malam ini, berawan hitam dan kelam. Sebagai tanda hujan yang sebentar lagi akan turun. Seakan menuntunku untuk menarik selimut yang sedari tadi terlipat rapi diatas bantal.
Neina Akasia. Itu namaku. Seorang perempuan akhir zaman yang selalu mengimpikan cita-citanya dapat terwujud. Berumur 20 tahun. Membaca dan menulis novel adalah hobi baruku. Aku masih berjuang untuk menjadi sarjana sastra di salah satu universitas yang ada di Indonesia. Selain itu, aku juga seorang pekerja paruh waktu disebuah kafe baru yang aku juga lupa apa namanya. Sebenarnya aku bukanlah asli orang Jakarta, aku hanya orang kampung yang berusaha merubah hidupnya dengan merantau di Kota metropolitan ini. Begitulah sekilas tentangku.
Mengingat tentangku, ada orang lain yang juga perlu diingat. Rose Kinedia. Sahabatku. Dia keturunan indonesia_amerika. Ayahnya amerika dan ibunya Indonesia. Rose, menjadi satu-satunya sahabatku dan aku juga menjadi satu-satunya sahabat karibnya. Kami berdua berusaha saling mengerti satu sama lain. Sejauh ini bukan tidak ada pertengkaran diantara kami, sering bahkan berkali-kali dalam seminggu tapi kami selalu bisa mengatasinya. Seperti hari kemarin, aku dan Rose sempat tak saling bicara selama satu jam penuh karena hal-hal sepele yang kami ributkan namun pada akhirnya kami tetap berbaikan.
“Because, bukan sahabat namanya jika menjadi mantan”. Begitu kata Rose.
Aku tersenyum mengingat kata-kata itu. Bersyukur ada Rose yang bisa menemani disini. Bersyukur masih ada Rose yang ingin berteman dengan gadis lemah dan miskin ini. Meskipun Rose dari keluarga yang kaya tapi ia tidak pernah memandang rendah diriku.
Setelah mengingat-mengingat, aku kembali ke malam yang dingin ini. Masih berada pada posisi yang sama. Didepan laptop dan mulai berimajinasi lagi. Merangkai kata demi kata, berusaha membuat kata yang dapat menyentuh hati pembaca namun aku gagal fokus karena hujan mulai turun dengan lebatnya. Merubah suasana menjadi lebih dingin lagi. Ku buka tirai berwarna putih yang menggantung pada jendela kacaku. Melihat rintik yang turun semakin deras. Menderu bersuara khas hujan namun indah. Airnya jatuh ke tanah, perlahan-lahan membanjiri parkiran yang lumayan luas. Aku terlena. Mengingat kembali kenangan manis yang sempat terukir di bawah hujan satu tahun yang lalu. Yah sudah satu tahun lamanya dia pergi meninggalkanku. Pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan luka yang sampai sekarang tak bisa hilang meski hujan selalu membasuhnya.
Gasindo Alfarel. Gasin, lelaki yang tidak pernah lelah meyakinkan bahwa dunia tidak sekejam pemikiranku. Bahwa hanya orang bodoh yang tidak bisa mengerti diriku. Gasin, lelaki yang selalu mensuport meski dia hanya teman. Yang tidak pernah menyerah membela saat aku disakiti. Ahh aku rindu. Rindu sampai air mata ini tak terasa mengaliri pipi seperti hujan yang terlalu lebat dan takut untuk berhenti. Aku terbayang semua tentangnya. Terbayang saat-saat terakhirnya sebelum dia pergi.
“Aku sayang kamu Neina. Tetaplah berkarya meski kamu merasa lelah,” kata-kata itu terus saja melayang dalam benakku. Memenuhi setiap ruang kosong dalam hatiku. Terlalu menyiksa karena nyatanya aku merasa hampa karena kehilangan. Gasin, terlalu terlambat mengungkapkan dan terlalu cepat untuk pergi. Pada akhirnya aku menyesali semuanya.
Ada begitu banyak perbedaan. Aku hanya perempuan yang tak pandai membuatnya tersenyum sedang iya bisa membuatku tertawa. Aku perempuan yang selalu mengeluh sedang iya lelaki paling semangat. Itu hanya dua perbedaan, tentu masih banyak perbedaan yang lainnya antara aku dan Gasin waktu itu.
Aku menggigil mengingat dia yang masih tampak jelas dalam benak. Inginku gapai namun tak bisa karena tangan tak sampai.
“Gasin, Gasin, Gasin.” panggilku pada bayangnya yang enatah dari mana datangnya. Aku telah bermimpi. Bermimpi pada ia yang menyiksaku dalam diam. Membuatku tak bisa melupakan inci demi inci raut wajahnya yang tampan. Tak juga pada canda dan tawanya yang lucu. Aku masih mengingat semua itu dan masih ingin mengingat semua itu. Meski pada akhirnya aku akan terluka lagi karena dia, karena bayangnya yang telah ku ciptakan sendiri dalam setiap kata yang ku tulis dalam sebuah karya.
“Masih melamunkah aku ??” tanyaku pada gambar diri dalam kaca. Itu aku.
“Kenapa hujan selalu mengingatkanku tentangnya??”.
Aku beralih lagi dari kaca ke hujan. Ku tatap lekat hujan seakan ia bisa mengerti tatapanku dan menjawab semua tanyaku. Ahh percuma. Ia bisu meski bersuara. Ia tuli karena menuli. Aku terlalu naif berharap hujan dapat menjawab tanyaku. Terlalu percaya bahwa hujan bisa menghapus jejaknya. Nyatanya hujan telah menyerah lagi sebelum dapat menghapus jejaknya. Ia berhenti dan kini hanya rintik yang tersisa dan kemudian meninggalkan embun yang dinginnya lebih menusuk kalbuku.
“Hujan telah berhenti Neina!” suara itu berucap. Aku tahu siapa dia. Perempuan yang selalu ku kenali meski aku tak perlu menoleh untuk sekedar melihat wajahnya.
“Rose,” Kataku menyebut namanya.
“Apakah kamu memikirkan Gasin lagi??” Rose bertanya padaku. Aku hanya diam, mencoba menikmati sunyinya malam yang berembun.
“Jangan begitu Neina. Aku yakin Gasin tidak akan senang melihatmu begini. Bayangkan! sudah setahun sejak Gasin pergi, kau selalu seperti ini setiap kali melihat hujan.” Rose menasehati.
“Kau tidak akan pernah mengerti Rose!” bantahku.
“Aku mengerti. Tapi kamu tidak sadar tentang satu hal yang diinginkan Gasin sebelum ia benar-benar pergi,” kata Rose lagi. Aku menoleh padanya dan kembali ingatanku pada saat-saat terakhir Gasin. Dia berucap ‘Jangan menangis. Aku tidak akan bahagia selama kamu tidak bisa melupakanku.’ Begitulah kata-katanya. Namun biar saja, biar dia rasakan ketidak bahagianku ini karena dia pergi.
“Kau egois,” Rose membalikan tubuhku. Aku tahu dia paham apa yang baru saja ku pikirkan.
“Kau terlalu peka Rose dan itu tidak baik untukku saat ini. Lebih baik kau diam saja.” Aku yakin kata-kataku tadi adalah bom baginya karena dia sahabatku.
“Neina, Neina..Aku tidak peduli dengan ucapanmu. Aku hanya peduli dengan keadaanmu saat ini. Aku tidak akan pernah diam selagi kamu masih menyakiti dirimu sendiri dan juga Gasin.” Itukah jawabannya atas apa yang aku katakan tadi. Sekali lagi, dia adalah sahabatku.
Kami berdua terdiam. Hanya angin yang ku rasakan tiba-tiba berhembus lembut di leherku. Seakan memaksaku untuk diam dan menuruti semua keinginan Rose. Mungkinkah itu Gasin?, tapi entahlah saat ini aku hanya harus diam, begitu kata otakku. Seperti embun yang semakin pekat di dalam kegelapan malam yang semakin mencekam, aku dan Rose juga memutuskan untuk mengakhiri malam dan tidur. Sehingga besok bisa memulai hari lagi meski akan ada hari yang sama seperti hari ini.
###
“Selamat pagi,” sapaku pada Rose.
“Pagi.” Balasnya.
“Hari ini kita hanya masuk dua mata kuliah, kan ?” tanyanya padaku.
“Iya.” Jawabku setelah mengecek jadwal kami.
“Sepulang kuliah kamu harus ikut denganku Neina!”
“Kemana?” aku bertanya padanya.
“Rahasia.” Jawabnya.
“Tapi aku akan ke Café untuk bekerja,”
“Akan ku pastikan kau bolos kerja dan ikut bersamaku.” Rose tersenyum tapi aku semakin serius. Tidak mungkin aku bolos kerja hari ini karena aku tidak ingin dipecat.
“Maaf. Aku tidak bisa Rose, aku harus bekerja.” Tolakku padanya. Dia tampak kecewa dengan penolakanku. Sebenarnya kami memang sudah sangat lama tidak berpergian bersama sejak aku mulai menyibukan diri di Café itu. Tapi aku sungguh tidak bisa.
“Baiklah,” putusnya. Dia menyerah. Rose yang biasanya keras kepala kini menyerah padaku. Sekarang aku yang merasa bingung. Sungguh tidak seperti biasanya dia dengan mudahnya menyerah pada keputusanku. Dan benar aku sedikit kecewa karena dia menyerah.
Akhirnya kami berdua berpisah setelah Rose mangantarku ke Café tempatku bekerja. Dia menekuk wajah cantiknya bertanda sedang kecewa.
“Maaf,” kataku dalam hati.
Tanpa melihatku lagi, Rose melajukan mobilnya dengan kencang.
“Rose!” panggilku namun percuma, dia telah berlalu dengan mobilnya.
##
“Setengah enam,” aku melihat arloji dipergelangan tanganku. Artinya Café sudah tutup sejak setengah jam yang lalu dan seharusnya aku bisa pulang. Dan aku bisa bertemu Rose untuk meminta maaf. Namun entah kenapa bus yang akan ku tumpangi tak kunjung datang. Aku mulai kesal dan mulai bertambah kesal ketika gerimis mulai turun.
Rupanya kesialanku tidak hanya berhenti disitu. Lampu mati. Otomatis semua akan segera menjadi gelap bila listrik tak juga bernyawa. Dan itu benar saja. Sampai jarum jam menunjukan pukul setengah 7 listrik tidak hidup juga.
“Sialan!” umpatku.
“Kenapa tiba-tiba listrik mati dan kenapa lama sekali??, benar-benar sialan. Kota ini seperti sama saja dengan desa jika gelap begini!” aku sangat kesal.
Sedari tadi aku hanya mengumpat. Namun kini aku mulai beranjak. Mengikuti nasib yang akan menuntunku. Toh jika ada yang bersedia menolongku dan mengantarku pulang maka itu adalah sebuah keberuntungan. Lihat saja sebatas mana kesialan ini menimpaku.
“Ntit ntit ntit, Neina!” tiba-tiba suara klakson mobil memenuhi pendengaranku. Setelah bunyi klakson mobil itu terdengar lagi seseorang memanggilku dan aku tahu pasti siapa dia ‘Rose’ si mawar cantik yang selalu siap menjadi pelindungku dengan duri-durinya yang terkadang dapat kapan saja menusuk tapi dia sahabatku.
“Rose!” aku berteriak kegirangan merasa diselamatkan.
“Cepat masuk!” perintahnya padaku. Aku pun dengan sigap membuka pintu mobil itu.
Karena sedang mati lampu, mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku tahu Rose mengerti aturan. Selama perjalanan pulang kami berdua masih tetap diam. Entah itu menikmati suasana malam atau kami berdua masih enggan untuk bicara perihal siang tadi. Aku pun bingung harus memulai dari mana.
Kemudian kami berhenti disebuah tempat makan faporit kami. Rose mengajak ku makan malam sebelum kami pulang ke rumah. Kebetulan saat itu listrik sudah kembali normal.
“Maafkan aku.” ucapku sambil menunggu makanan datang.
“Untuk?” tanyanya.
“Tadi siang,” jawabku.
“Ohhh,” dia berd-ohh. Hanya berdeohhh saja.
“Kau selalu seperti itu Neina…” Kalimatnya terputus dan aku masih menunggu.
“Sejak Gasin pergi,” Rose menyambung kalimatnya. Dia kembali berulah. Menyebut nama Gasin tapi aku tidak keberatan karena sejak tadi aku selalu memikirkannya.
“Iya,” kataku.
“Buang semua rasa kesepianmu dan berbahagia Neina, Pleasee,” ucap Rose.
Aku diam. Tentu saja yang bisa ku lakukan hanya diam. Aku merenung. Ahh benar selama ini aku merasa kesepian meskipun ada Rose. Aku memandang perempuan di depanku. Pasti dia sangat terluka karena keegoisanku. Apakah selama ini seolah-olah aku menganggap Rose tidak ada sementara dia selalu ada. Apakah aku terlalu sibuk memikirkan Gasin yang telah lama meninggal. Tapi aku merasa tidak berhak bahagia sejak dia pergi. Semua salah ku. Hanya itu yang ku pikirkan.
“Aku tidak berhak bahagia Rose.”
“Bukan salahmu Gasin pergi Neina. Itu semua sudah takdir. Kau berdosa jika berpikir itu adalah salahmu,” Rose menggenggam tanganku. Tanpa sadar air mata jatuh di pipi. Aku menangis lagi. Betapa sepinya hatiku meski mawar-mawar dari seorang Rose terus saja menemani. Aku tidak bisa melupakan lelaki itu. Gasin mempunyai tempat tersendiri di hatiku dan aku tidak ingin menghianatinya meski suatu saat ada seorang pangeran yang jatuh cinta padaku.
“Aku tahu. Kau berhak mengingatnya. Gasin punya tempat yang istimewa dihati mu tapi kamu berhak bahagia, aku yakin Gasin tidak akan tenang disana jika kau seperti ini Neina. Tersenyumlah, setidaknya untuk hari kelahirannya,” kalimat panjang Rose berakhir. Aku tersadar hari ini adalah hari ulang tahun lelaki yang sangat ingin ku lihat itu.
“Bukan hanya kamu yang kehilangannya. Aku juga tapi biarkan dia pergi dengan tenang agar kita semua bahagia,” ucap Rose lagi. Aku sedari tadi hanya mendengarkan seakan patuh padahal hatiku sedang berkecamuk perang melawan dinginnya asa yang mulai berkabut. Oh tuhan apa yang ku lakukan sampai melupakan ulang tahun Gasin.
Bergegas ku ambil tasku dan meninggalkan Rose yang mematung di kusri. Aku tidak memintanya mengikutiku. Sekarang aku hanya ingin sendiri. Mengenang lagi kisah Gasin dan diriku 1 tahun yang lalu. Dimana hari ini pada 1 tahun yang lalu adalah hari istimewa yang akan membuatnya bahagia, itu harapanku. Karena aku akan mengungkapkan perasaanku padanya. Yah aku yang berinisiatif duluan ingin ia mendengar perasaanku namun nasib berkata lain. Hari ini pada satu tahun yang lalu Gasin dinyatakan meninggal dunia. Aku terpukul karena hanya bisa mendengar dia mengatakan perasaannya namun aku tak sempat mengatakan perasaanku.
“Gasin,” Aku menyebut namanya dalam tangisku. Ku tepuk dadaku yang mulai merasa nyeri karena sedih.
“Gasin maafkan aku. Aku kesepian tanpamu,” racauku lagi.
Aku yang masih menangis tak sadar Rose sudah ada di ranjang kamar ku. Dia pun menangis mendapati diriku yang tak kunjung sembuh akan kesedihan. Sekarang aku yakin Rose juga merasa kehilangan yang berarti. Ia menagis, kami menangis sejadi-jadinya hingga tanpa sadar terlelap sampai bangun keesokan harinya.
Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak lagi menaungi kesedihan yang panjang dalam diri ku. Aku akan melupakan Gasin namun tidak dengan kenangan-kenangan yang telah ia torehkan pada ku. Gasin adalah Gasin yang akan tetap memiliki tempat di hatiku hingga aku mati. Begitu juga Rose, dia adalah mawar yang juga memiliki tempat di hatiku, dia sahabat terbaik yang pernah ku miliki. Aku menyayanginya. Sedangkan aku adalah aku yang pernah dipenuhi rasa kesepian namun akan bangkit bersama kenangan yang ditinggalkan Gasin dan semangat yang diberikan sahabatku, Rose, hingga nanti pagi dan senja terus berganti meski hujan kembali datang.
“Just say hello for the future,” itu kata Rose.
END.