Kamu tau bagaimana rasa pahit kopi? Ya, rasa ini sepahit itu, sepahit kenyataan bahwa kamu telah pergi dari pandangan, namun sepahit-pahit kopi akan ada sisi manisnya, sisi manis dari gula yang biasa dimasukkan ke dalam secangkir kopi, semanis kenangan saat kita berjumpa, semanis detakkan rasa yang pernah ada.
Dari balik jendela, aku melihat sisi kanan jalan, melihat ke arah kamu biasa berjalan, berjalan melewati zebra cross dengan tas dipunggungmu, sederhana, Mr. Kaku. Aku tersenyum mengingatmu, aku meminum secangkir es capucino yang terletak dimejaku sekarang. Pancaran sinar mentari dari luar sana, membuatku terbayang betapa gerahnya, betapa panasnya hari ini.
Secangkir kopi hangat di dinginnya malam dan secangkir es kopi diteriknya siang. Rasanya paling cocok untuk diminum dikeadaan itu, namun bagaimana pun keadaannya, kamu akan tetap memesan secangkir kopi hangat. Minuman yang bisa diminum secara perlahan, santai. Tersirat menjelaskan bagaimana pahit itu bisa dinikmati dan dari itu juga, sedikit mencerminkan tentang seperti apa dirimu.
Aku lebih suka menikmati es capucino, bisa ku habiskan begitu cepat tanpa ragu untuk menghilangkan dahaga dan karena itu, terlihat kita berbeda, pada kenyataannya kita tidak bisa bersatu, bila keduanya disatukan, cangkir yang menjadi tempatnya berada sekarang bisa saja pecah, namun..., cangkir kita masih bisa berdampingan.
Teringat saat kita hanya sebatas dua asing yang menghabiskan kopi di cangkir masing-masing. Tersirat kopi mengajarkan kejujuran, tidak menyembunyikan pahit hitamnya rasa dan warna yang ada padanya, sama seperti kamu, apa adanya.
Tepat di hari itu, hujan turun cukup deras, setelah menghabiskan kopi, kita keluar dari café, menunggu dan menaiki bis yang sama untuk pulang, tanpa saling menyapa, tanpa saling bicara. Kamu terlihat begitu nyaman mendengarkan suara di earphone-mu sampai kamu Mr. Kaku, menoleh ke arahku, suara marahku ditelpon sepertinya mengusik kenyamananmu. Aku menutup telpon dengan kekesalan yang menggumpal di dadaku.
“Are you muslim?”
“Ya”
Saat kamu bertanya seperti itu, aku berpikir mungkin kamu akan men-judge me because, tidak menyangka wanita berwajah polos sepertiku mengumpat.
“Where do you come from?”
“I am from Indonesia, Jakarta”
Kamu terus bertanya membuat tubuhku kaku,
“Jakarta? Saya juga dari Jakarta, ibu saya asli sana, tapi saya ada darah Australi dari ayah, kamu bisa lihat dari wajah saya kan? dan wajah kamu memang wajah Indonesia”
“O.. ya ya, nice to meet you”
Perkataanmu membuatku tersenyum dan mengusir kekakuan yang sempat ada.
Kita berkenalan, namamu Asqa dan aku memperkenalkan diriku “Manza”. Setelah berkenalan, kamu langsung memakaikan satu earphone ketelingaku. Apa yang ternyata didengarkan olehmu? kamu mendengarkan ayat Al-Qur’an, jantungku berdetak cepat saat itu, tak menyangka tampang seperti kamu.., aku malu, entah kapan terakhir kali aku mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
“Ini obat penyejuk hati”
Aku tidak mengerti maksudmu, mungkin ketidakmengertianku terlihat jelas diwajahku.
“Al-Qur’an itu obat hati yang cocok untuk semua manusia, bisa membuat nyaman, menentramkan, rasa kesal didada bisa hilang karenanya”
Aku menganggukkan kepala dan tersenyum.
Kita tak sempat bertukar kontak satu sama lain. Namun, tanpa sengaja diwaktu yang sama, kita bertemu beberapa kali di café “a million memories”, café sejuta kenangan, kenangan saat kita bersama. Kenangan yang begitu membekas dilubuk hati ini, semuanya mengenai agama, topik pembicaraan yang selalu kamu buka, pembicaraan untuk memperkuat iman islam. Banyak hal yang baru ku tau. Terkadang, aku mempelajari dan memperdalamnya sendiri untuk sekedar bisa bertemu lagi denganmu, dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah ku siapkan. Karena dengan alasan itulah kamu mau bertemu, kamu hanya ingin membahas hal-hal penting.
Dua cangkir capucino berbeda selalu menemani di meja kita. Sesekali kamu mentraktir, memesan es capucino untukku dan capucino hangat untukmu.
“Ini obat penyejuk tenggorokkan”
“Ini juga” katamu menunjuk kopi hangatmu sambil tersenyum.
Yang paling berkesan untukku, aku sempat menjadi seorang pengungtit, berjalan mengikutimu. Kamu tersenyum dan mempercepat langkahmu, tak menghiraukanku. Aku hanya iseng, aku tidak benar-benar ingin mengikutimu, tapi langkah kakiku tak mau berhenti hingga aku menyadari bahwa kita sudah berada di depan masjid Sunshine Australia. Australia, tempat aku dan kamu menempuh pendidikan sekarang. Kamu menoleh ke arahku dan bilang “Sholat dulu”. Jantungku berdetak kaget saat itu.
Kamu tau apa yang begitu memalukan pada diriku? aku lupa caranya berwudhu, aku lupa caranya sholat, aku lupa bacaannya. Aku hanya berpikir untung kita mengambil wudhu di tempat yang berbeda, jadi kamu tidak melihat ketidaktauanku. Aku langsung googling, sebisa mungkin aku membaca dan memahami sebelum sholat dzuhur berjama’ah di mulai. Waktu sholat, aku masih mengintip-ngintip gerakan apa sesudahnya.
Selesai sholat berjama’ah, aku merasa bahwa aku membohongi diriku sendiri dengan ketidakkyusukkan dan ketidaktauanku dalam sholat, aku malu. Aku melihat kamu Mr.Kaku, masih didalam masjid yang sudah tampak sepi, ada beberapa orang saja disana, kamu mengaji. Aku duduk disampingmu, suara mengajimu begitu indah terdengarkan ditelingaku. Kamu mengakhiri bacaan setelah sadar akan keberadaanku. Kamu melihatku, aku tersenyum.
Setelahnya, kita berkeliling kota, sempat mampir ke beberapa toko, membeli pernak-pernik lucu dan sebelum mengakhiri pertemuan, kita duduk menikmati es krim capucino, traktiran pertamaku untukmu. Untuk sekian kalinya kamu Mr. Kaku, membuat jantungku berdetak cepat, membuat tangan ini kaku melihat apa yang kamu berikan untukku dan untuk pertama kalinya, aku menyembunyikan rasaku.
“Kamu pasti lebih berkarisma bila memakai jilbab ini” katamu yang entah kapan kamu membelinya.
Aku mengambil jilbab itu dari tanganmu dengan ekspresi datar. Pakaianku sekarang cukup mendukung untukku memakainya, untukku menutupi rambut panjangku. Aku mencoba jilbab bergaya turki dan itu membuat ada kesan Arabia diwajahku. Kamu terlihat excited,
“Jangan dilepas lagi”
“InsyaAllah”
Aku tersenyum, rasanya begitu bahagia, namun... tak tau bahwa itu hari terakhir aku melihatmu.
...
Aku menunggu detik demi detik. Kamu seseorang yang tepat waktu, bila kamu sudah bilang akan datang kamu pasti datang, namun kali ini berbeda. Aku menunggumu hingga malam, tak ada kabar apa pun darimu. Entah kenapa aku tidak resah akan itu, tapi beribu pertanyaan muncul dibenakku sampai sebuah panggilan masuk menjawab semua.
“Apa? Asqa kecelakaan?”
Aku terdiam, tak percaya.
Jalanan licin, bantingan stir, bunyi rem mobil serta motor terdengar begitu keras mengusik kesunyian jalan. Tabrakkan tak terelakkan, "bruk". Darah mengalir kesegala arah, bunyi detak jantung terdengar semakin melemah "deg, deg.., deg..."
Beberapa menit setelah panggilan masuk, aku mendapat berita bahwa kamu sudah tidak ada, kamu sudah dipanggil oleh sang pencipta. Tubuhku terasa begitu lemah, aku melangkah pulang. Aku duduk dikursi bis dengan air mata yang perlahan menetes, bayanganmu muncul saat kamu berkata,
“Man arofa bu’das safari ista’adda, barang siapa yang tau jauhnya sebuah perjalanan hendaknya ia bersiap-siap”
Dan aku mengerti maksudmu sekarang, kita semua akan berpulang dan sebaik-baiknya, kita harus mempersiapkan bekal untuk menuju akhirat.
Semenjak bertemu denganmu, hidupku menjadi begitu bermakna, semenjak bertemu denganmu, banyak penyadaran yang aku dapatkan. Tersirat karenamu, aku jadi lebih dekat dengan sang pencipta. Aku bisa merasakan kekuatan doa, aku bisa merasakan kenyamanan didada dan banyak hal indah yang tak bisa ku ungkap lewat kata.
Kamu mungkin dihadirkan dihidupku untuk mengajarkanku tentang bagaimana kita menjalani hidup ini. Sebentar, tapi begitu berharga. Aku akan berusaha menjalani hidup dengan tetap “mencari ridho dariNya” seperti katamu. Terima kasih, sekarang hanya doa yang bisa aku panjatkan untukmu. Kamu tau?, bagiku kamu itu.... Kamu obat penyejuk iman.
END
wow
Comment on chapter Kamu obat penyejuk iman (KOPI)