Pagi ini ketika aku terbangun dari tempat tidur, aku berjalan menuju jendela kamarku, kemudian memandang ke luar jendela dan melihat hamparan langit yang luas yang diselimuti oleh awan hitam tebal yang merata. Padahal tadi malam, langit sangat bersih dan bertaburan bintang. Benar-benar suatu perubahan cuaca yang tak terduga. Sudah tiga hari terakhir cuaca selalu berubah-ubah. Terkadang sangat terik, namun lima menit kemudian menjadi hujan deras. Namun anehnya, entah mengapa perubahan cuaca yang terjadi hampir selalu selaras dengan perubahan suasana hatiku. Cuaca pagi ini seakan merepresentasikan suasana hatiku yang sedang pilu dan kelam. Pilu dan kelam akibat merindukan seseorang yang paling kusayangi.
Hari ini aku akan pergi ke tempat dimana aku merasa paling bahagia sekaligus sedih. Aku akan ke makam orang yang paling kusayangi, Ibuku. Setelah menyiapkan segala sesuatu, aku berangkat ke makam Ibu dengan Ayah dan Pak Tono, Supir keluargaku sejak aku bayi. Kami memakai setelan serba hitam. Selama di dalam mobil kami tidak berbicara sepatah kata pun dan juga tidak saling memandang. Sesampainya di pemakaman, aku melihat sorot mata Ayah yang sedih namun berusaha terlihat tegar. Ayah selalu seperti itu, jarang berbicara dan jarang menunjukkan emosinya, mungkin karena Ayah merupakan tentara yang dilatih agar selalu tegas dan tegar. Entahlah, aku tidak benar-benar dekat dengan Ayah. Aku hanya dekat dengan Ibu, baik secara fisik maupun batin –mungkin karena Ayah hampir selalu pergi dinas keluar kota dan jarang pulang ke rumah–.
Makam Ibu berada di bawah pohon kamboja paling rindang di pemakaman itu. Cukup mudah untuk dilihat, bahkan dari luar pagar pemakaman. Sesampainya di makam Ibu, aku tidak mampu menahan air mata untuk tidak keluar dari pelupuk mataku. “Ibu, Anna datang. Ibu maafkan Anna karena setelah setahun kematian Ibu Anna baru sempat datang ke sini. Maafkan Anna Ibu.” batinku sembari mengusap batu nisan bertuliskan nama Ibu. Ayah merengkuh tanganku tanpa melihatku, seakan Ayah berusaha untuk memberiku kekuatan. Aku menatap Ayah dan mengangguk. Aku segera mengusap air mataku. Aku harus kuat! Aku tidak boleh cengeng! Aku menguatkan hati dan pikiranku dan segera membantu Ayah dan Pak Tono membersihkan makam Ibu.
Setelah makam Ibu bersih, Ayah berkata dengan suara yang parau, “Anna, marilah kita berdoa.” Aku hanya mengangguk. Setelah selesai berdoa Ayah berkata tanpa melihat mataku, “Anna, Ayah harus kembali ke kantor sekarang. Kamu pulang dengan Pak Tono ya, Ayah akan naik taksi saja.” “Iya Ayah.” Jawabku sembari menatap makam Ibu. Itu adalah kali pertama aku berbicara dengan Ayah setelah Ibu meninggal. Bukannya tidak sopan, aku hanya tidak tahu cara berkomunikasi dengan Ayah. Bagitu pula dengan Ayah. Bahkan semasa Ibu masih hidup, hubunganku dan Ayah terlalu canggung. Kami jarang bertemu, terlebih untuk berinteraksi. Setelah Ayah pergi, Pak Tono memberiku sebuah kotak kayu berlapiskan kain batik berwarna biru dengan motif mega mendung tanpa berkata sepatah katapun. “Ini apa Pak?” tanyaku penasaran.