“Hoi”, tangan Giska menepuk bahu Sela dan mengagetkannya. Dengan beratnya tugas magang untuk mencari pengalaman di akhir semester 5, fokus Sela yang harusnya ia tujukan di halaman Ms.word nya mendadak teralihkan.
"Kamu ngelamunin apa Sel?”, tanya Giska
“Jangan-jangan lagi ngelamunin orang yang kamu ceritain itu, seseorang yang jadi tokoh utama di hayalanmu?”, sambungnya
Pikiran Sela dipenuhi hal-hal tentang Angga, teman SMA yang sekarang sudah jadi anggota kepolisian dan sedang menyelidiki kasus penyerangan dari salah seorang pasien di Rumah Sakit tempat Sela magang.
“Ngawur kamu, senengnya ngledekin aku aja Gis. Udah sana kerjain tuh tugasmu”.
“Katanya udah biasa aja, dan dia hanya sebatas ingatan bahagia. Tapi kok masih dilamunin? hehehe”.
Teman sekaligus sahabat seperjuangan saat pelaksanaan masa penerimaan masahasiswa baru itu tahu betul bahwa Sela masih menyembunyikan perasaannya sendiri dan menganggap apa yang tejadi saat ia masih satu SMA dengan Angga adalah pengalaman masa putih abu-abu semata. Apalagi setelah pertemuan tak sengaja mereka berdua yang membuat sobat karibnya itu menjadi pendiam.
Ditengah percakapan mereka, Pak Ahmad, Kepala Bagian Promosi Kesehatan masuk ke ruangan. Seketika keduanya kembali mengetik tiap kata pada laporan program promosi kesehatan yang telah ditugaskan.
“Semangat semua, hasil tidak akan pernah menghianati proses. Kalian bisa belajar sebanyak-banyaknya disini”.
Giska pun hanya bisa nyengir mendengar kalimat dari Pak Ahmad, “belajar sebanyak-banyaknya sih iya, tapi gak harus ngasih semua tugas gini lah pak kan sedih jadinya”. Rasa sebal tapi tak bisa diutarakan semakin membuat perasaan campur aduk. Sudah beberapa hari yang lalu Giska dan Sela menggarap laporan tahunan itu. Senang bisa mendapatkan pengalaman yang bisa digunakan saat nanti benar-benar bekerja, tapi juga ada perasaan geram karena semua seakan harus dikerjakan sebaik mungkin tanpa memandang ia yang masih mahasiswa. Namun pada akhirnya segala amarah luntur tak bersisa ketika melihat jam dinding yang menunjuk pada angka tiga. Tanpa berpikir panjang lagi, mereka pun bergegas untuk meninggalkan tempat duduk dan pulang.
---
Pagi hari sejuk dan cenderung dingin tak membuat Sela harus menarik selimutnya lagi. Pukul lima pagi seperti biasa ia bangun dari tidur malam yang hanya berkisar tiga jam. Laporan yang ia kerjakan selama semalam suntuk itu akan diserahkannya pada Pak Ahmad pagi ini. Seperti biasa Giska tak pernah absen untuk menjemput Sela dan berangkat bersama ke Rumah Sakit.
Tepat pukul sembilan pagi Sela memasuki ruang Pak Ahmad dan menyerahkan laporan tahunan program promosi kesehatan yang telah ditugaskan. Setiap lembar dan kata per kata tak luput dari koreksi Kabag Promkes senior itu.
“Di bagian pembuka sudah bagus, tapi di pembahasan masih banyak kata yang typo dan parahnya di lampiran. Tabelnya apa keterangannya apa, gak nyamabung. Diperbaiki ya dan serahkan besok pagi”, dengan senyuman yang tak mengenakkan Pak Ahmad menyerahkan kembali laporan milik Sela. Dan dengan jawaban senyum yang tak cukup ikhlas pun diberikan Sela sembari kedua tangan menerima laporan yang banyak terlihat coretan tinta berwarna merah.
“Cemangat cemangaaat”, Giska yang menunggu di balik pintu dan menguping, langsung meraih pipi Sela dan menggeleng-gelengkannya untuk berusaha menyemangati dengan berakting lucu.
“Kamu mau bantu aku kan Giska cantiiiiik”, Sela pun berusaha merayu sahabatnya yang paling suka dibilang cantik itu
Namun respon yang diharapkan Sela berbeda dengan yang diberika Giska. Ia seketika melepaskan pipi Sela dan melarikan diri seakan tak mendengar kata “cantik” untuk dirinya. Beberapa kali melangkahkan kaki menjauh dari ruangan Pak Ahmad, Angga terlihat berjalan ke arah Sela.
“Kamu kenapa Sel, kok kelihatan sedih gitu?”, muka masam Sela pun tak lepas dari penglihatan Angga. Akan tetapi, ia segera tahu alasannya karena ia melihat tulisan revisi besar pada halaman sampul laporan tebal di tangan Sela.
“Mau aku bantuin?, tapi nanti setelah aku selesaikan urusanku bentar”.
Tanpa bisa menjawab dengan kata-kata, Sela hanya bisa mengangguk meski ia sendiri bingung dengan situasinya. “Mengapa Angga tiba-tiba baik padaku? Apa maunya dia?”, pertanyaan itu berputar-putar dalam kepalanya.
---
“Masih lima menit lagi”. Giska mengecek jam tangan hampir setiap lima menit sekali untuk menunggu jam kerjanya selesai. “Hohoi akhirnya”, jarum jam yang mengarah pada angka tiga membuat hatinya riang gembira bak kanak-kanak yang sedang bermain.
“Kamu gak mau pulang Sel, masih serius ngetik aja”.
“Harusnya kamu gak bilang gitu, mau aku kasih tinju nih!”. Sedikit candaan yang membuat Sela bisa istirahat sebentar dari tugasnya. Sela terlihat lelah dan berusaha merenggangkan setiap sendi tulangnya yang kaku dengan menggoyang-goyangkan badan. “Giska yang cantik beneran gak mau bantu?”. Sela merayu temannya lagi.
“Uh uh uh kasian, capek ya”, Giska menggoda Sela yang memang terlihat lelah.
“Serius maaaaf banget. Aku ada keperluan beli kue ulang tahun buat mama, soalnya acaranya nanti sore. Maap yaah”.
Apa boleh buat, Sela pun tak bisa berharap apa-apa dan meneruskan tugasnya sendiri. Sambil mengatakan kata “semangat”, Giska perlahan meninggalkan ruangan dan menarik daun pintu. Namun, beberapa saat kemudian Angga membuka kembali pintu itu dan menghampiri Sela. Sambil mengernyitkan dahi dan tatapan mata fokus tampak ingin memahami apa yang tertulis di layar komputer, Angga mencoba menawarkan bantuan pada Sela. “Apa yang bisa aku bantu Sel?”.
Sela yang sebenarnya masih bingung dengan tujuan Angga ingin membantunya, karena rasa letih yang sudah diatas ambang batas akhirnya menerima tawaran Angga. Ia pun menjelaskan tentang apa yang bisa Angga lakukan. Bergegas Angga menghidupkan komputer disebelah Sela dan mengerjakan apa yang telah Sela jelaskan.
“Ahhh akhirnya selesai juga”. Setelah beberapa jam tugas mampu diselesaikan dan tanpa sadar Sela menggeleng-gelengkan kepala dan menarik tangan ke atas untuk melemaskan otot-ototnya. Tiba-tiba saja terdengar bunyi “kreuuk kreuuk” dari perutnya.
“Yuk makan bareng”. Ajakan makan Angga membuat hati Sela terguncang dan hanya membuat dirinya terdiam. Tetapi, pikiran dan tubuhnya berlawanan. Dengan ringannya badan ia angkat meskipun dalam pikiran sulit untuk mengiyakan.
Di sebuah warung bakso diantara bangunan kantor kepolisisan dan rumah sakit, mereka duduk berdampingan sambil menikmati semangkuk bakso.
“Sel kamu gak kepedesan?, sambalmu banyak banget loh”.
“Pedes sih, tapi enak buat ngilangin stres”. Ia pun mulai bercerita tentang cara dirinya menghilangkan stres dengan memakan bakso pedas.
“Ini semacam alkohol yang menimbulkan efek euforia. Cabe juga bisa memicu tubuh menghasilkan hormon endorfin dan menimbullkan rasa bahagia”, lanjutnya.
Kebiasaan yang Sela miliki sejak dulu ialah makan makanan pedas saat ia merasa tertekan dengan kondisi yang tidak ia inginkan. Hal itu dilakukannya sebab ia akan mengalami insomnia berat bila sedang dalam kondisi yang tidak nyaman. Sehingga ia akan berusaha menghilangkan tekanan itu agar bisa tidur di malam harinya. Namun, kebiasaannya itu juga menimbulkan dampak negatif bagi dirinya sendiri. Setiap pagi ia akan merasa sakit perut dan harus bolak-balik ke kamar mandi jika sehari sebelumnya ia makan makanan pedas. Untuk menghindari efek yang tidak baik itu, ia mencari cara lain yang lebih sehat. Hingga suatu hari saat merasa kesal dan tertekan, ia terhindar dari insomnianya dengan membayangkan hal yang membuat dirinya bahagia.
“Sama kayak dulu, kamu masih bisa aja cari jalan keluar dari setiap masalah kamu”. Kata Angga yang sudah mengenal Sela semenjak kelas satu SMA.
“Laporan itu pasti bikin kamu tertekan banget ya. Eh tapi kan kamu udah gak tahan sama makanan pedas, kenapa malah sekarang makan itu. Bukannya mending nanti lakuin cara yang satunya itu, eee menghayal hal-hal yang bikin kamu bahagia”, sambung Angga.
Mendengar akan hal itu, seketika Sela berhenti menyuapi dirinya dengan bakso pedas yang sedari tadi tak henti ia makan. Ia merasa sebuah kesalahan bahwa dirinya menceritakan kebiasannya pada Angga. Tapi ia pun teringat dengan kata-kata Giska agar mengungkapkan apa yang sebenarnya. Gelisah tergambar jelas pada wajah Sela dan ia menengok untuk memandang wajah Angga. “Aku gak bisa ngelakuin itu Ga”
“Kenapa?”, tanya Angga.
“Karena hal yang membuatku merasa bahagia dan melupakan semua masalahku itu tentang kamu”
Sekilas ia teringat saat masa SMA kelas 3. Kala itu, Angga yang populer di kalangan siswi-siswi di Sekolahnya tiba-tiba selalu berbuat baik pada Sela. Terlintas dalam pikiran Sela bahwa Angga menaruh rasa suka pada dirinya. Bukan hanya satu atau dua kali, tapi sudah sering Angga mendekatinya. Hingga ia yakin betul akan feeling-nya itu ketika Sela sedang marah pada Angga karena merasa risih bila banyak anak membicarakan hal buruk perihal kedekatan mereka. “Kamu gak apa-apa marah sama aku Sel. Tapi aku gak akan bisa marah sama kamu”. Kalimat itu membuat luluh hati Sela sebab baru pertama kali ia diperlakukan seperti itu saat semua anak tidak suka sifat emosional dalam dirinya dan perkataan kasar Sela bila amarahnya keluar. Namun, hatinya kembali terkoyak saat kelulusan memisahkan mereka berdua. Bak luka diberi garam, sangat menyakitkan karena sejak saat itu pula Angga tidak pernah lagi menghubunginya. Rasa marah dan kecewa ia ceritakan semua pada sahabatnya, Ambar. Dan luka itu semakin parah ketika Ambar menduga bahwa Angga hanya memanfaatkan Sela sebagai teman untuk mengajarinya pelajaran matematika saja. Sela memang sudah terkenal pandai dalam pelajaran matematika sejak kelas 1 SMA. Selepas saat itu tidak ada lagi yang ia harapkan dari Angga, meskipun cerita indah yang telah dilewatinya ia gunakan sebagai hayalan pengantar tidur.
“Aku bisa aja memilih menghayal itu sebelum tidur, cuma saat ini aku gak bisa. Setelah lulus dan gak pernah lihat kamu lagi, kamu hanya sebatas seseorang dalam hayalanku aja dan gak ada harapan apapun tentang kamu. Tapi, kamu tiba-tiba muncul dan baik lagi sama aku. Itu membuat aku takut ada harapan lain muncul kalau aku menghayal indah tentang kamu”.
Kata-kata Sela membuat Angga hanya tertunduk diam dan bingung dengan apa yang harus ia lakukan.
“Aku udah selesai makan, aku pulang dulu aja”. Sela sudah tak tahan jika harus berlama-lama duduk disebelah Angga. Ia pun memutuskan untuk segera pergi dari warung bakso itu sementara Angga yang masih linglung dengan situasinya.
---
Hari pun berganti. Angga yang kemarin sudah menyelesaikan tugasnya di Rumah Sakit tak tampak lagi. Bagi Sela apa yang tejadi semalam hanya sebuah mimpi yang akan ia lupakan bila hari berubah gelap kembali dan digantikan dengan mimpi lain. Tak terasa pula magangnya di RS Medika Mulia selesai. Ia kembali pada kehidupan normalnya sebagai mahasiswa di kampus yang pada akhirnya tiba hari wisuda dirinya. Foto bersama Giska di depan Fakultas Kesehatan Masyarakat di salah satu Univesitas di Semarang itu tak luput dari agendanya. Tetapi, sosok yang tak asing muncul dari sebuah mobil tepat di depan gerbang fakultas. Seseorang itu pun menghampiri dirinya.
“Selesaikan urusan hati kalian Sel. Aku gak mau sahabatku ini teluka terus”. Selagi Giska meninggalkan tempat, Angga sudah berada tepat di depan Sela.
“Sel, aku salah karena harus menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya ke kamu dari dulu”. Karena berbagai alasan ia belum bisa mengatakan suka pada Sela saat SMA, meski ia juga tahu Sela pun merasakan hal yang sama. Angga tahu bahwa Sela orang yang memperjuangkan mimpinya menjadi seseorang yang berguna bagi negeri ini terutama dalam bidang Kesehatan Masyarakat. Karena mimpi itu, Angga tak mau dirinya menjadi sosok yang biasa saja. Ia pun berusaha meraih mimpinya menjadi seorang polisi. Selain itu, Angga mengharapkan orang yang mampu menginspirasinya itu, menjadi sosok spesial yang sah bagi agama maupun hukum negara. Karena baginya hal itu merupakan janji yang hakiki daripada sekadar ungkapan cinta pasangan kekasih.
“Seikat bunga pada akhirnya akan kalah dengan sebuah janji suci”. Kalimat itu yang ia tulis pada album foto kenangan SMA. Secara tak langsung Angga ingin mengucapkan hal itu pada Sela meskipun Sela sendiri belum menyadarinya.
Sulit dipercaya dengan apa yang baru saja ia ketahui, Sela hanya mampu mengeluarkan air mata. Dalam logikanya, ada rasa kecewa karena sikap Angga yang egois dan tak memahami perasaan Sela. Namun, jauh di dalam lubuk hati pula ada rasa bahagia yang tak terkira bahwa apa yang selama ini hanya berada dalam hayalan yang dianggapnya tanpa harapan, ternyata bisa terwujud. Rahasia Tuhan yang tak pernah ia prediksi, nyatanya menyimpan apa yang manusia butuhkan. Ya, Sela butuh rasa sakit sehingga ia tak pernah lupa tentang Angga yang selalu dalam ingatan dirinya. Dan Angga yang harus menyimpan semua rahasia itu dari dulu, untuk memampukan dan memberanikan diri agar bisa meraih tangan Sela dengan bangga. Segala rasa sakit terbayar lunas pada akhirnya. Angga mengambil cincin dari sebuah kotak dan memperlihatkannya pada Sela. “Dengan cincin ini, maukah kamu menerima janjiku untuk menjadi imam dalam hidupmu sampai akhir hayat?”. Senyum Sela merekah sebagai tanda “iya” dalam jawabannya.