KETIKA SEMUA DIAM
Angin sepoi-sepoi menyibak rambutnya yang panjang terurai. Bunga flamboyan yang sedang bermekaran menambah keindahan taman kecil sekolah. Satu, dua dari beberapa bunga jatuh berguguran. Beberapa runtuhan bunga tersebut jatuh pada rambut gadis yang sedang asik membaca sebuah buku yang tidak terlalu tebal.
Dinda, gadis berkulit bersih yang memiliki kepribadian tertutup. Tidak banyak yang mengetahui sejarah pribadinya. Bisa dikatakan membaca adalah hobinya, terlihat dari kegiatan yang ia lakukan setiap hari dengan memegang buku. Tidak seperti gadis-gadis seusianya yang selalu periang, hilir-mudik ke kantin, alasan izin ke kamar mandi hanya untuk mengintip kakak kelasnya dari jendela kaca pintu.
“Woe.. lo. Jangan pengecut lo.” Sekerumpulan siswi datang menghampiri Dinda. Logo yang sama menempel di baju mereka. Salah satu siswi yang menjadi ketua gengnya, mendekat ke arah muka Dinda.
Dinda hampir terjerembab kebelakang, bila tangannya tidak cekatan memegang pohon yang ada disamping kirinya. Dadanya kirinya mendapat dorongan telunjuk salah satu geng itu. Buku yang dipegangnya terlempar jauh didepannya. Bukan ia tak mau melawan, atau seorang yang lemah. Namun memilih diam adalah salah satu cara yang dipilihnya.
Dinda hanya membisu, memandang bukunya tanpa memperdulikan kumpulan empat siswi yang semakin kesal terhadap sikap acuhnya.. Ditarik nafasnya dalam-dalam untuk menenangkan degupan jantungnya yang semakin kencang. Berusaha tetap menahan gejolak amarah yang seolah akan meledak dengan hebatnya saat itu juga.
“Hei. Lo denger ga sih.” Jidatnya kini berganti mendapat dorongan telunjuk siswi yang tidak kalah galaknya dengan siswi sebelumnya.
“Udah lah Win, ayo cabut!” Ajak salah satu cewek yang sedari tadi memilih diam. “Ga ada gunanya juga lo teriak-teriak sama batu.” Lanjutnya menarik pergelangan tangan salah satu siswi yang dipanggil Win.
“Awas lo berani deketin Andre!” Ancam siswa pertama sambil mengepalkan tangannya ke arah Dinda.
“Sintia, ayo buruan! Gua udah laper berat nih.” Siswi yang tadinya menarik lengan Winda, kembali mendekati Sintia untuk menjauh dari Dinda.
“Iye, bentar comel. Gua ga rela Andre lebih suka sama cewek sok cantik daripada sama gua.” Mulutnya mengerucut menandakan kekesalan. Matanya terbuka lebar dengan rahang yang mengencang.
Dinda membersihkan bukunya yang terkena debu. Dipasang kembali earphonenya yang sebelah kiri karena menggelantung di bahunya. Ia kembali bersandar menikmati suasa yang sekarang terasa damai tanpa ada yang mengusiknya kembali.
Ia menoleh ke pohon diatas kepalanya. Seekor burung sedang bertengger disebuah ranting sedang berkicau. Dinda tersenyum sesaat.
Sirine bel masuk berbunyi, ia bangkit, membereskan buku dan melepaskan earphonenya. Seluruh siswa tampak berhamburan menuju ke dalam kelasnya masing-masing.
“Aduh” badanya tersungkur ke depan. Gerakan refleknya membuat badannya tidak sampai menyentuh lantai. Dinda menggunakan tehnik jatuh depan yang dipelajarinya dalam latihan beladiri.
Dinda tak mempedulikan bukunya yang terlempar entah dimana. Kelalaiannya berujung pada dirinya sendiri.
“Ah... sial.” Bisiknya. Ia berjongkok merapikan tali sepatunya yang lepas dari ikatan. Sepasang kaki bersepatu mendekat kearahnya. Dinda masih membisu, perlahan mengamati si pemilik kaki dari bawah sampai ke atas. Digelengkan kepalanya penuh tanya. Andre, idola seluruh siswi di SMK Bintang Nusantara School, mengulurkan tanganya yang memegang buku Dinda sambil menyunggingkan senyumnya.
Tanpa basa-basi Dinda mengambil buku itu dari tangan Andre tanpa mengucap terima kasih. Berlalu begitu saja meninggalkannya.
******
“Sialan tuh cewek.” Umpat Andre pada Dinda.
“Ada apa lo? Kayaknya lo nge-fans berat sama tuh cewek. Haha...” tawa Albert sambil menepuk pundak Andre. “Seorang Andre bisa dicuekin sama cewek superdiam.”
“Aduh.” Kata Albert karena jidatnya disentil kawanya.
“Gua heran tau sob. Tuh cewek hatinya terbuat dari apa kali yaak? Herman banget gua, eh heran maksud gua. Susah banget sih negedeketin dia.” Curhat Andre pada sahabatnya.
“Lo kurang kali sajennya.” Timpal Albert.
“Tau ah.. ke kantin aja nyook! Malas gua ke kelas.” Ajak Andre pada Albert. Ditariknya ujung lengan baju Albert meninggalkan lorong menuju kelas memutar ke arah kantin sekolah yang berada di depan mushola sekolah.
“Ih ga lah, gua takut. Ntar gua dijemur di lapangan lagi.” Ungkap Albert ke Andre, walau kakinyapun tetap berjalan mengikuti tarikan Andre.
“Halah ga usah muna deh lo. Biasanye lo juga asal-asalan di kelas. Emang loe udah ngerjain tugas Bahasa Indo? Ga yakin gua mah.” Mereka berdua mengambil posisi duduk di ujung kantin sehingga tertutup kulkas. Sekilas dari lorong kelas tak akan namapak bila ada mereka.
“Pak, biasa.” Pintanya pada pak Endang yang berjualan di kantin sekolah, sambil cengar-cengir sok kenal sok dekat.
“Waduh, udah masuk. Bapak ga mau ngelayani, nanti bapak diomelin sama kepsek.” Alasan pak Endang. Aturan yang tegas dan tertib memang tidak membuat Andre takut dan jera.
Sering mendapat panggilan orang tua, membuatnya suatu hal yang mengasyikan. Dengan pemanggilan orang tua berarti ada perhatian dari orang tua. Sibuknya pekerjaan orangtuanya, membuat Andre badung.
“Yah bapak, tenang aja pak.” Andre berdiri dari kursinya, hendak mengambil minuman yang ada di softcass. Tanpa disadarinya dibelakangnya sudah berdiri Bu Hana, Guru Bahasa Indonesia yang memang super tegas.
Pak Endang hanya tersenyum melihat Andre yang terus asyik meminum air mineral. Albert sendiri sudah kabur, berlari meninggalkan Andre yang sampai saat ini masih asyik dengan air yang dingin itu.
“Ehmm.” Dehaman Bu Hana membuat Andre menyadarinya.
“Auw..auw..auw..” teriakan Andre karena perutnya mendapat cubitan dari bu Hana.
“Maaf bu, tadi saya belum sempat sarapan. Perut saya sedikit mules dari semalam belum makan.” Alibinya untuk menyelamatkan diri.
“Emang ibu percaya sama yang Andre katakan? Andre, kamu tau tidak?” ...
“Tidak tau bu.”
“Andre!” belum selesai bu Hana berbicara, Andre memotong kalimat gurunya, sehingga membuat bu Hana semakin geram.
“Maaf bu, jangan marahin saya dong bu, ibu kan tahu, orang tua saya sibuk, saya ga ada yang masakin. Saya telat makan bu.” Kepalanya menunduk, memelas untuk mendapatkan pengurangan hukuman.
“Andre, perlu kamu ingat. Kepercayaan itu sangatlah mahal. Manusia yang dipegang lidahnya. Sekali dua kali berbohong orang percaya, tapi kalau keseringan siapa yang akan percaya?” nasehat bu Hana. Andre hanya menundukan kepalanya. Seisi sekolahpun juga mengetahui siapa Andre.
“iya bu, maafin Andre.” Mimiknya terlihat lesu.
“Ayo ikut ibu keruang BP!” ajak bu Hana. Andre mengikutinya dari belakang. Nasehat-demi nasehat bu Hana berikan kepada Andre. Bu Hana yang biasanya memberikan sanksi kepada siswa/i dengan menjemurnya dilapangan, membersihkan kamar mandi, namun kali ini hanya sebuah petuah-petuah yang tidak diketahui, apakah hanya sebuah angin lewat buat Andre?
“Jangan di kelas 11 Akuntansi dong bu. Ga apa-apa deh bu di kelas lain!” pintanya penuh harap.
“Loh.. kamu sudah berjanji dengan ibu, tidak akan mengulanginya lagi. Konsisten dong jadi cowok.” Tatap bu Hana penuh keheranan. Andre terus meremas-remas tangannya sendiri. Terlihat ada ketakutan yang dia sembunyikan. Entah takut atau malu, bu Hana sendiripun tidak mengerti.
“Ibu Hana ga tau ya bu?” celetuk walikelas 11 Akuntansi.
“Loh..loh.. emang ada apa pak Budi? Sepertinya saya ketinggalan berita.” Tanya bu Hana sambil berdiri dari kursinya berjalan ke meja dekat pak Budi berada.
“Begini lo bu, Andre itu dari dulu suka sama Dinda anak 11 Akuntansi. Cuma ibu tahu sendiri Dinda anaknya seperti apa? Apalagi cewek-cewek sini rata-rata suka sama Andre.” Penjelasan pak Budi sambil menyeruput teh hangat yang dibuatnya.
“Oh gitu, saya jadi kepo nih pak. Beneran itu Andre?” tanya bu Hana pada Andre yang sedang istirahat ditempat sambil menggoyang-goyangkan badanya. Cengar-cengir menahan malu.
“Hehe. Iya sih bu. Tapi dianya cuek banget. Saya suka sama cueknya bu.” Akhirnya Andrepun jujur tentang perasaannya di depan bu Hana dan pak Budi.
“Ya udah, itu hak kamu Andre. Tapii.......” Bu Hana kembali ke tempat duduknya. Berhadapan dengan Andre yang berdiri di depan mejanya.
“Tapi apaan bu?” Tanya Andre.
“Hmm.. ibu di sini juga perempuan. Kamu tau ga apa yang di suka cewek seperti Dinda?” tanya bu Hana kepada Andre dengan sebuah kalimat yang penuh tanda tanya.
“Eh... emang ibu tau?” Andre tersenyum penuh harap.
“Andre, kalau kamu ingin bisa deket dengan Dinda, kamu harus rajin belajar. Jangan suka bikin ulah di manapun Andre berada. Semua manusia mempunyai permasalahan masing-masing. Bersikaplah lebih dewasa! Jangan tunjukan permasalahanmu dengan pelampiasan. Dinda ga akan suka.” Ucap bu Hana.
‘Iya bu” jawab Andre.
“Ok, Dinda tahu ga kalau kamu suka sama dia?” Bu Hana meminta penjelasan Andre.
“Ga tau bu, saya saja susah ngedeketinya bu. Dia suka menyendiri. Tiap saya samperin, dia asik membaca.” Andre masih menundukan kepalanya.
“Ok. Now! Kamu masuk ke setiap kelas, meminta maaf kepada semua siswa/i yang pernah kamu isengin. Tidak akan pernah mengulanginya dan akan merubah sikap kekanak-kanakan kamu!” perintah Bu Hana.
“Jih.. malu atuh bu.” Elak Andre.
“Lebih baik malu, atau tidak akan bisa mengenal Dinda?” Tawaran bu Hana cukup membuat Andre terkejut.
“Yah.. Baiklah bu.” Jawab Andre.
Mereka berdua masuk dari ruang yang satu ke ruang yang lain. Dari kelas jurusan, Teknik komputer dan jaringan, pindah ke kelas Multimedia. Kemudia masuk kelas keperawatan dan farmasi. Tidak ketinggalan kelas Akuntansi.
Di depan pintu kelas 11 Akuntansi, Andre terlihat ragu-ragu.
“Ayok.. jadi ga? Harus berani.” Tanya bu Hana sambil bersandar pada dinding sebelah kanan pintu.
Suara tepuk tangan dan sorak-sorai dari dalam ruangan membuat riuh suasana. Dengan suara gemetar, Andre berani mengungkapkan permintaan maafnya. Dinda yang tadinya hanya diam dibangkunya, mendongakan kepalanya menatap Andre.
Tanpa sengaja mata mereka beradu. Andre yang memang mempunyai perasaan dengan Dinda merasa hatinya berkecamuk. Namun dia harus bertahan, untuk membuktikan kepada semua siswa/siswi SMK Bintang Nusantara School terutama pada Dinda.
*****
“Gila ya, Si Andre berani malu ya?” bisik Putri pada Dinda.
“Makdus lo?” tanya Dinda ikut bersuara.
“Lo ga lihat? Dia kan bukan tipikal cowok yang suka minta maaf. Kayaknya dia lakuin demi lo deh.” Goda Putri pada Dinda.
“Maksud lo?” tanya Dinda kembali.
“Hadew... lo bego apa ga peka sih? Andre tu dari dulu suka sama lo Din.” Putri menjitak kepala Dinda. “Aduh, sakit tau.” Tangan Dinda tidak sempat menangkis tangan Putri. Teriakannya yang keras, membuat semua mata yang ada di ruangan itu menatap ke arah Dinda. Dinda salting, mukanya merah padam menahan malu.
Kegiatan Belajar Mengajar seharian ini tidak terasa sudah hampir selesai. Sebelum meninggalkan sekolah, seluruh siswa/i harus mengikuti apel sore. Bukan hal yang aneh dan baru, penerapan sekolah fullday sudah ada sejak SMK Bintang Nusantara School.
“Eh Dinda. Inget ya, kalau lo berani deketin si Andre, gua sebagai senior di sini ga akan terima.” Tiga orang siswi yang memang terkenal super galak di sekolah. Winda, Sintia dan Tania.
“Dasar kampung, jangan sok alim lo ya di sini!” ancam mereka pada Dinda. Dinda tidak tahu darimana mereka datang, karena tiba-tiba mereka sudah berada dibarisan dengannya.
“Eh kak, jangan sok jadi senior donk” Sahut Putri yang memang kesal dengan mereka yang selalu menindas adik kelas.
“Eh.. lo berani sama gua?” Winda yang memiliki postur tubuh tinggi semampai bila dibandingkan Putri dan Dinda hendak memukul Putri.
“Kak, jangan sok jadi jagoan di sekolah. Putri ga ada urusan sama kakak.” Entah darimana Dinda yang terkenal pendiam, sore ini berani bersuara keras. Dinda menangkis tangan Winda dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya menangkap kemudian memuntirnya.
“Auw. punya nyali juga lo rupanya.” Winda berteriak, memberontak berusaha melepaskan cengkeraman Dinda.
“Jangan anggap, harimau yang tidur itu tidak bisa mengaum kak.” Omelan Dinda membuat Sintia dan Tania membalas ke Dinda. Ditariknya Hijab Dinda hampir lepas. Andre dan Albet yang berada di dekat mereka langsung melerai mereka.
Lapangan yang tadinya dibarisi siswa/i yang siap melaksanakan apel, bubar berkerumun melihat kegaduhan yang ada.
Ketua OSIS diminta bu Hana untuk memimpin apel. Mereka bertuju tidak diperbolehkan pulang dan harus kembali masuk ke ruang BP bersama bu Hana.
Pertanyaan demi pertanyaan bu Hana lontarkan kepada mereka ber-7. Dengan berbagai alasan, akhirnya Sintia, Winda dan Tania meminta maaf dan berjanji tidak akan menjadi seorang senior yang merasa paling dan paling lebih diantara adik kelas atau teman setingkatnya.
*******
Hari-hari berikutnya, perlahan-lahan Andre juga merubah sikapnya. Pendekatan yang dilakukan untuk lebih mengenal Dinda berbuah manis.
lucu ya ceritanya