"Aku akan kembali saat musim semi. Kumohon tunggulah aku di taman ini, aku berjanji akan menemuimu di sini saat musim semi tiba." -Kazuki
***
Malam ini aku kembali melangkahkan kakiku menuju taman Sumida, taman yang dipenuhi ratusan pohon sakura yang berjajar rapi. Entah sudah berapa puluh kali aku mengunjungi tempat ini, tapi aku tak pernah bosan. Aku akan selalu pergi ke taman ini saat musim semi tiba, menunggu lelaki itu menepati janjinya.
Dia Kazuki. Kakak lelakiku, yang sejak musim dingin dua tahun lalu pergi meninggalkan Tokyo untuk mencari ayah dan ibu kandungnya. Ya, kami bukan saudara kandung. Kazuki diadopsi dari panti asuhan di usia 1 tahun, ketika aku belum dilahirkan. Terlepas dari fakta itu, aku begitu menyayanginya. Dia bukan hanya kakak yang baik bagiku, tapi juga sahabat yang selalu mendengarkan keluh kesahku dan guru yang mengajarkanku banyak hal berharga.
Ketika dia memutuskan untuk mencari ayah dan ibu kandungnya, aku setengah tak rela dan juga takut. Tak rela jika ternyata dia memiliki adik kandung—yang akan menggantikan posisiku—dan takut seandainya dia tak kembali karena sudah menemukan keluarga sesungguhnya di sana.
Meskipun begitu aku tak bisa mengubah keputusannya. Kazuki pergi saat pertengahan musim dingin dua tahun lalu.
Tetapi sebulan setelah kepergian Kazuki, aku, ayah, dan ibu kehilangan komunikasi dengannya. Kami tak bisa menghubungi ponselnya, pesan-pesan yang kami kirimkan pun tak pernah mendapat balasan. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi kurasa dia sudah menemukan kedua orang tuanya entah di kota mana. Dia pasti hidup bahagia di sana.
Bagaimana pun, janji tetaplah janji. Kazuki bukanlah orang yang begitu mudahnya mengabaikan janji yang diucapkannya, karena itulah aku menunggu di sini. Aku percaya dia pasti akan menepati janjinya untuk kembali ke Tokyo dan menemuiku di taman ini.
Aku menghentikan langkahku, berdiri di tepi sungai yang di batasi pagar besi pembatas. Taman ini memang terletak di kedua sisi sungai Sumidagawa. Sesekali, di sini aku bisa melihat kapal yang melintas dan membelah sungai.
Biasanya kapal-kapal tersebut digunakan sebagai lokasi untuk melangsungkan pesta sambil berlayar. Aku bisa melihat cahaya bulan dan bintang di langit yang terpantul di permukaan sungai. Aku juga bisa menyaksikan kelopak-kelopak sakura yang berguguran tertiup angin, lalu terapung indah diatas sungai. Di sinilah tempat favoritku saat berada di taman ini.
Aku merogoh saku mantelku, lalu mengambil ponselku dari sana. Kusentuh nama kontak 'Kazuki' di layar, mencoba menghubunginya meski aku tahu takkan ada jawaban. Dengan helaan napas berat, aku menunggu sambil menempelkan ponselku di telinga, berharap ada keajaiban Kazuki akan menjawab panggilanku.
Lagi-lagi hanya suara wanita yang kudengar dari ujung sana, mengatakan bahwa nomor yang kuhubungi tidak tersedia.
"Kapan kau akan kembali dan menepati janjimu, Kak..." Aku berkata pelan sambil kembali memasukkan ponselku di saku mantel.
Pandanganku menerawang jauh ke seberang. Ah, kenangan bersama Kazuki kembali muncul silih berganti di benakku, mengundang kerinduan akannya.
"Hei, Yuki..."
"Kenapa, Kak?"
"Selamat tahun baru!!!"
"Ada apa denganmu, Kak? Kau baru saja mengatakannya tadi."
"Aku tahu... Tapi tetap saja, selamat tahun baru, Yuki sayaaang!"
"Baiklah, baiklah. Aku juga akan mengucapkannya lagi untukmu. Selamat tahun baru, Kazuki sayaaang!"
Aku tersenyum saat kenangan itu muncul di benakku. Konyol memang, Kazuki kembali mengatakan kalimat yang sama padahal kalimat itu baru saja ia katakan.
Waktu itu kami merayakan tahun baru di tepi sungai Sumidagawa, melakukan pesta kembang api bersama ratusan warga Tokyo lainnya sambil menyaksikan pemandangan beberapa kapal yang melangsungkan pesta tahun baru di tengah sungai. Itu tahun baru terakhir yang keluarga kami rayakan bersama Kazuki.
Sekarang aku baru sadar mengapa Kazuki mengatakan 'selamat tahun baru' padaku berulang kali. Dia ingin mengatakan ucapan itu lebih dulu, mungkin karena dia tahu saat tahun baru berikutnya dia tak bisa merayakannya bersama kami.
Aku melirik sekilas pada jam yang melingkari pergelangan tangan kiriku, sudah jam 9 kurang 10 menit. Sebentar lagi, aku akan pulang saat jam 9 malam tepat.
"Yuki?"
Tubuhku menegang. Suara itu bukan bagian dari potongan kenangan yang terputar di benakku. Suara itu nyata, berasal dari balik punggungku. Sedetik kemudian, kubalikkan tubuhku dan kutemukan sosok dalam balutan sweater cokelat dan celana jeans tengah berdiri disana, beberapa langkah dihadapanku.
Dia Kazuki. Benar-benar Kazuki. Orang yang kunantikan selama musim semi dua tahun terakhir. Aku sudah memastikan bahwa aku tak salah lihat.
"Kakak? Kau..." Ucapanku terhenti, entah kenapa aku tak bisa melanjutkannya. Mungkin beginilah rasanya ketika akhirnya dipertemukan dengan seseorang yang begitu lama dinantikan. Aku tak tahu harus mengatakan apa.
Kulihat Kazuki mengangguk pelan, "Hmm... Aku sudah kembali, Yuki." Seulas senyum terbentuk di bibirnya. Dia merentangkan lebar kedua tangannya, seakan mempersilakanku untuk memeluk dirinya.
Aku tersenyum lalu melangkah mendekat dan langsung mendekapnya erat, "Kenapa kau pergi lama sekali, Kak? Kenapa kau tidak bisa dihubungi?" tanyaku dalam dekapannya. Kuakui, ini dekapan terhangat yang kurasakan di musim semi tahun ini. Dekapan hangat dari kakak tersayang.
"Maafkan aku. Yang penting aku sudah menepati janjiku, kan?"
Aku mengangguk. Benar, Kazuki sudah menepati janjinya beberapa saat lalu.
"Aku kehilangan ponselku, entah saat berada di bandara atau di jalan. Itulah mengapa aku tidak bisa dihubungi maupun menghubungi kalian."
Kazuki merangkulku setelah melepas pelukan diantara kami, "Bagaimana kabarmu, ayah, dan ibu?" tanyanya kemudian saat kami sudah berdiri di depan pagar besi pembatas tepi sungai.
"Aku baik, tapi kau perlu tahu bahwa aku tak baik-baik saja saat menunggumu tanpa kepastian di musim semi." Aku mengatakannya dengan jujur, yang ditanggapi Kazuki dengan tatapan 'merasa bersalah' dan kemudian dia kembali meminta maaf padaku.
"Ayah dan ibu baik-baik saja. Ayah mengajar les privat di rumah sejak tahun lalu untuk murid-muridnya, dan toko roti milik ibu semakin ramai pengunjung. Dibalik semua itu, mereka tak pernah berhenti merindukan dan mengkhawatirkanmu, berharap kau segera pulang atau sekedar memberi kabar pada kami." ucapku panjang lebar, membuat Kazuki meletakkan fokus penglihatan dan pendengarannya hanya padaku.
"Ah, bagaimana dengan orang tuamu? Kau berhasil menemukan mereka?" tanyaku kemudian saat teringat bahwa alasan Kazuki pergi ialah untuk mencari keberadaan orang tua kandungnya.
"Aku menemukan mereka di desa di Hokkaido. Namun sayangnya aku tak bisa bertemu dengan ayahku, dia meninggal dunia empat tahun lalu."
Kazuki berkata dengan raut kecewa dan sedih. Aku memahaminya, pasti berat ketika mendapat kabar buruk seperti itu, apalagi sebelumnya Kazuki tidak pernah bertemu dengan sang ayah.
"Aku turut berduka cita, Kak... Lalu bagaimana ibumu? Mengapa kau tak mengajaknya ke Tokyo?"
"Saat aku tiba di sana, ibuku sedang sakit keras. Paman dan bibiku yang merawatnya mengatakan ibu sudah menderitanya selama hampir setengah tahun, namun sekalipun belum pernah diperiksakan ke dokter karena mereka tak punya cukup biaya. Paman dan bibi hanya bekerja sebagai petani, begitu juga ayah dan ibuku."
Aku terdiam, mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan Kazuki.
"Aku memutuskan membawa ibu ke rumah sakit dan kata dokter sakit yang dideritanya sudah sangat parah sehingga ia harus di rawat inap dalam waktu yang lama. Itulah mengapa aku harus berada di sana lebih lama, aku ingin merawat ibuku dan juga aku harus bekerja untuk membiayai biaya rumah sakit." Kazuki menghentikan kalimatnya, membuatku cukup penasaran dan menebak-nebak.
Setelah menarik napas panjang, Kazuki melanjutkan ucapannya, "Namun sekuat apapun aku berusaha dan berdoa demi kesembuhannya, ibuku tetap harus pergi. Ia meninggal dunia satu bulan yang lalu..."
Aku membungkam mulutku, menahan agar tangisku tak menimbulkan suara.
Cerita itu benar-benar pedih dan menyedihkan, membuatku tak kuasa menahan air mata. Kazuki pasti sangat terpukul harus menghadapi kenyataan ini, pasti berat beban yang selama ini harus ia pikul. Aku bahkan tak tahu bahwa selama ini dia harus melewati banyak hal sulit.
"Hei, kenapa kau yang sedih? Harusnya aku, kan? Tapi aku kuat melewati semuanya, kau juga harus begitu."
Kazuki menepuk-nepuk pelan punggungku untuk menenangkan dan memberiku semangat. Dia tersenyum—senyum yang mewakili ketegaran.
Tak butuh waktu lama aku berhasil menghentikan tangisku, kuusahakan untuk tersenyum menunjukkan bahwa aku juga kuat seperti Kazuki.
"Meskipun ayah dan ibuku sudah tiada, aku akan tetap pergi ke Hokkaido setidaknya sekali setahun untuk mengunjungi makam mereka dan juga mengunjungi paman dan bibiku di sana." Kazuki lagi-lagi tersenyum, membuatku ikut tersenyum.
"Aku harus ikut jika kau pergi ke sana, aku tak pernah pergi ke Hokkaido." ucapku yang ditanggapi anggukan dan kata 'baiklah' dari Kazuki.
"Yuki, kau tahu kenapa aku memintamu menunggu di taman ini?"
Beralih topik, pertanyaan Kazuki membuatku menoleh padanya lalu menggeleng, "Bagaimana aku tahu..."
"Karena makna bunga sakura adalah janji yang ditepati, seakan-akan sakura selalu mengatakan akan selalu datang lagi pada musimnya, musim semi. Aku berusaha menepati janjiku padamu meskipun banyak hal sulit yang terjadi. Aku ingin menjadi orang yang setia, seperti sakura."
Penjelasan Kazuki membuatku benar-benar mengerti. Dia memintaku menunggu di taman sakura ini tidak tanpa alasan.
Aku tersenyum kearah Kazuki dan menepuk pundak kanannya, "Kau sudah berhasil menjadi orang yang setia, Kak."
"Baiklah, sekarang ayo kita pulang. Aku ingin segera bertemu ayah dan ibu." ajak Kazuki kemudian lalu merangkulku kembali.
Malam semakin larut, tapi taman sakura ini masih ramai pengunjung. Kami melangkah meninggalkan taman ini, tak lupa sambil menikmati pemandangan indah di sisi kanan dan kiri kami yang menyajikan keindahan bunga-bunga sakura yang bermekaran sempurna.
Hari ini menjadi hari terakhirku menanti Kazuki di taman ini. Mulai sekarang aku tak perlu lagi menunggunya tanpa kepastian saat musim semi.
Penantian di taman sakura membuatku belajar banyak hal, seperti 'kesetiaan dalam menepati janji' yang dikatakan Kazuki.
Selain itu, aku juga jadi mengerti bahwa selama ini bukan hanya aku yang berada dalam penantian, namun sakura juga melalui semua itu.
Setiap tahun sakura selalu menanti musim semi untuk memekarkan kelopak-kelopaknya. Dirinya diterpa terik matahari di musim panas, tertiup angin di musim gugur, dan dijatuhi salju saat musim dingin tiba.
Akhirnya, penantian panjang sakura berbuah manis tatkala seluruh orang berbahagia menyambut musim semi tiba untuk menyaksikan mekarnya kelopak-kelopak bunganya yang indah.
Aku mengerti bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya penantian tanpa hasil. Semuanya pasti akan berakhir indah, tergantung bagaimana kita menyikapinya, sabar dalam menanti atau menyerah pada penantian itu.
Sakura, terima kasih sudah mengajarkanku banyak hal. Aku akan selalu menantimu di musim semi.