Angin berhembus kencang dan bulan sudah menampakkan diri membuat kota ini seakan-akan seperti kota mati.
Ah.. Betapa beruntungnya hidup mereka. Saat ini pasti mereka sedang menghangatkan diri di balik selimut. Sungguh nyaman..
Sekilas kulirik adik kecilku yang duduk termenung di sampingku. Pasti dia mempunyai pikiran yang sama denganku.
“Irene.. Makan gih.. Nanti keburu dingin lho..” kuajak adikku mulai makan.
“Iya Kak,” angguk Irene patuh.
Kuberikan tempe dan tahu buat Irene. Kulihat mata Irene berbinar, walaupun hampir setiap hari tempe dan tahu menjadi lauk kami. Tak pernah sekalipun Irene mengeluh bosan. Adikku memang menjadi penyemangatku dalam menjalani hidup ini.
----
Malam semakin larut, namun mata ini belum mau beristirahat. Irene sudah terlelap. Kutarik karung goni untuk menyelimuti badan mungil Irene.
Krakkk krakkk….
Spontan aku menoleh ke kanan kiri. Tidak ada apa-apa.
Wushhh….
Bayangan hitam berlalu dengan cepat.
Siapa ya di sini malam-malam begini? Ah.. Mungkin aku salah lihat. Sebaiknya aku segera tidur saja.
Kupaksa mata ini agar terpejam.
----
Tiittt tiiitttt…
Brummm brumm…
Aku terbangun. Bunyi klakson dan knalpot kendaraan yang lalu lalang sudah menjadi alarmku setiap pagi. Kulihat adikku sedang asyik membuka sebuah kardus.
“Kardus dari mana itu, Irene?” tanyaku sambil menghampirinya.
“Tidak tahu juga, Kak. Kardus ini sudah ada di sini saat Irene bangun tadi.”
Karena penasaran, namun juga tetap waspada, aku membantu Irene membuka kardus tersebut.
“Wah! Banyak snack, Kak! Horeee!” Irene kegirangan.
Makanan dari siapakah ini?
Aku berjalan keluar, berharap menemukan si pemberi makanan misterius tersebut.
Namun, tidak ada siapapun. Yang ada hanyalah kendaraan lalu lalang di atas kami. Ya. Di atas tempat kami tinggal karena kami tinggal di bawah sebuah jembatan.
Kami mengantongi beberapa bungkus snack sebagai bekal dan bergegas ke jalan raya.
“Dek! Koran, dek!” seorang pemuda berteriak memanggil Irene untuk membeli koran. Irene terlihat semangat sekali. Semangat Irene memang tak pernah padam, malah semakin menyala-nyala. Pemuda tersebut tersenyum manis sembari menyodorkan beberapa lembar uang untuk membeli koran.
Irene berjalan ke arahku.
“Kak, ini uangnya lebih nih. Kakak yang tadi membayar lebih, katanya buat jajan.”
“Baik sekali Kakak tadi. Ya sudah, bagaimana kalau nanti malam kita makan ayam goreng?”
“Wah! Mau banget, Kak!” Irene senang sekali. Aku ingat Irene kepingin sekali makan ayam goreng, namun kami belum memiliki uang yang cukup.
Hari berlalu dengan cepat. Bulan kembali menampakkan dirinya. Aroma ayam goreng menemani aku dan Irene. Kupandang Irene yang makan dengan lahapnya. Hatiku terasa hangat sekali melihat adik kesayanganku ini begitu bahagia.
Selesai makan, kami duduk menikmati angin malam.
“Kak Sarah.. Sepertinya aku sering melihat kakak yang memberi uang lebih tadi itu lho, Kak,” Irene memulai pembicaraan.
“Oh ya? Di mana kamu sering melihatnya, Irene?”
“Di sekitar sini, Kak. Terkadang dia sepertinya sedang memperhatikan kita, Kak.”
Aku jadi penasaran. Tiba-tiba..
Srakk.. srakk..
Aku segera berdiri. Rasanya seperti ada aura seseorang sedang berjalan ke arah kami. Dan dugaanku tepat. Dua orang pria berbadan tegap dan berotot besar seperti preman berjalan menghampiri kami.
“Serahkan uang kalian!” pria botak tersebut memalak kami dan temannya yang berambut gondrong terlihat memegang sebuah pisau kecil.
Gawat ini.. Bagaimana cara kami menyelamatkan diri?
Baru saja suaraku hendak keluar untuk memohon ampun, tiba-tiba terdengar suara sirene mobil polisi. Sontak dua pria tersebut panik.
“Kabur, bro!” teriak si pria botak yang kutebak adalah ketuanya.
Syukur kami aman-aman saja. Nyawa kami terancam tadi.
Aku berlari keluar melihat polisi yang telah menyelamatkan kami. Anehnya aku tidak melihat siapapun. Kota ini sepi seperti malam-malam sebelumnya.
“Lho.. Mana polisinya?” Irene mengikutiku dari belakang.
“Kakak juga bingung. Padahal tadi jelas sekali ada suara sirene mobil polisi, tapi kok tidak ada apapun dan siapapun ya?” kami terbengong-bengong heran.
Kuajak Irene segera tidur karena malam sudah larut. Akhirnya kami terlelap bersama karena kelelahan setelah seharian banting tulang mencari nafkah.
----
Pagi hari datang. Saat kubuka mata, hal pertama yang kulihat adalah dua kotak makanan dan minuman. Tidak hanya itu. Di dalam kantong plastik, kutemukan amplop yang ternyata berisi uang! Lima lembar uang seratus ribuan.
Astaga.. Siapa si misterius ini? Aku sungguh penasaran. Besok aku harus bangun lebih pagi untuk mengawasi siapa yang memberi ini semua.
Kami tetap beraktivitas seperti biasa. Saat Irene hendak menyeberang jalan ke arah seorang pembeli koran, tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan kencang dan menabrak Irene.
“Ireneee!!!” teriakku kaget. Aku berlari ke tempat Irene tersungkur.
Pengemudi mobil tersebut panik dan ingin melarikan diri. Namun, dia ditahan oleh seorang pemuda. Aku ingat pemuda ini. Pemuda yang memberi uang lebih kepada Irene. Pemuda yang kata Irene sering terlihat di sekitar sini.
“Bapak ini bagaimana sih? Sudah menabrak adik ini tapi tidak mau bertanggungjawab, malah mau kabur!” kudengar pemuda tersebut memarahi penabrak Irene tersebut.
Aku terlalu panik untuk memarahi penabrak tersebut. Aku hanya ingin Irene baik-baik saja.
“Irenee.. Bangun dong..”
“Iya, Kak Sarah.. Irene tidak apa-apa kok. Cuma luka di kaki sama tangan saja kok, Kak,” Irene meringis pedih karena lukanya.
Aku masih saja panik. “Tolong dong siapa saja yang bisa antarkan Irene ke rumah sakit untuk berobat! Tolong!”
Si Bapak penabrak Irene langsung menawarkan tumpangan. “Biar saya yang antar, Mbak. Semua biaya pengobatan saya yang tanggung sebagai wujud permintaan maaf saya,” Beliau menundukkan kepala meminta maaf.
“Iya, Pak. Buruan, Pak! Yang penting adik saya baik-baik saja!”
Kami segera melaju ke rumah sakit terdekat.
----
Irene sudah diobati dan baik-baik saja saat ini. Pagi ini aku bangun lebih awal untuk mengawasi si misterius, tetapi hasilnya nihil. Pagi ini tidak ditemukan sesuatu.
Aku kembali berjualan koran dan kuminta Irene untuk tinggal saja agar dapat beristirahat memulihkan luka di kaki dan tangannya.
Jam berputar dengan cepat. Hari sudah sore. Aku berjalan kembali ke tempat tinggal kami di bawah jembatan.
“Kak Sarah! Ada berita nih!” Irene berteriak, namun aku tidak bisa menebak ekspresi di mukanya. Entah itu senang, sedih, atau bercampur aduk.
“Ada apa, Irene?”
“Tadi siang, dua preman kemarin ke sini lagi, Kak!”
Aku bergidik ngeri. Apa maunya preman-preman itu?
“Mereka mau malak lagi, Kak. Untung saja Kakak yang memberi uang lebih kepada Irene pas beli koran kemarin muncul tepat waktu dan nolongin Irene!”
Pemuda itu lagi? Mengapa dia selalu muncul tepat saat kami sedang berada di ujung tanduk? Apa semua ini rencananya? Atau… Duh.. Aku tidak boleh berpikiran buruk. Dia sudah menolong kami berkali-kali dan aku bahkan belum sempat berterimakasih padanya. Mungkin semua ini hanya kebetulan saja..
“Ya ampun.. Untung kamu baik-baik saja, Irene! Maafin Kakak ya sudah ninggalin kamu sendirian di sini,” aku memeluk Irene.
“Tidak apa-apa, Kak. Yang penting kita aman-aman saja, Kak. Yuk kita makan malam, Kak.”
Kami pun makan bersama.
----
Telat! Aku tidur terlalu nyenyak! Jadi tidak bisa mengawasi si misterius deh!
Sudah kuduga. Kulihat sekantong barang terletak di dekat kami. Isinya makanan dan minuman. Dan sebuah amplop putih berisi surat..
Hai, Sarah.. Kamu pasti heran mengapa aku tahu namamu. Ya. Aku sering mengawasi kalian. Kamu pasti juga heran mengapa aku selalu memberikan makanan, minuman, dan sedikit uang, bukan? Tolong kamu jangan salah paham ya dengan barang pemberianku. Aku tidak bermaksud merendahkan kamu atau apapun itu. Aku hanya peduli kepadamu dan adikmu, Irene. Aku tidak tahu apakah kamu masih mengingatku. Aku adalah seseorang yang pernah kamu tolong saat terjadi perampokan dan kecelakaan pada diriku. Aku ingat sekali saat aku dirampok dan hampir dibunuh, kamu dengan beraninya mengambil kayu besar dan menghantamkannya ke arah perampok tersebut hingga perampok tersebut lari ketakutan. Hahahaha.. Aku juga ingat saat aku kecelakaan, kamu yang nolongin aku dan membawaku ke rumah sakit. Bahkan kamu mendonor darah untukku! Kamu tahu? Aku sangat ingin berterimakasih padamu, namun aku tidak tahu keberadaanmu. Sampai akhirnya secara tidak sengaja aku melihatmu di sini dan sejak saat itu aku selalu mengawasi dan menolongmu. Sebenarnya aku belum ingin menceritakan semua ini. Aku ingin membantumu lebih lama lagi. Tetapi, semua rencana berubah. Saat menulis surat ini, aku sedang berada di rumah sakit. Sungguh, pukulan para preman tersebut patut diacungi jempol. Buktinya aku KO dibuatnya. Hahaha.. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa menemui kalian. Hantaman kayu dengan keras di kepalaku membuatku mengalami gegar otak. Doakan saja ya aku baik-baik saja! Aku berjanji kok kalau aku sudah sembuh, aku bakal kunjungi kalian! Kalian jaga diri baik-baik ya!
Salam hangat,
Rico
Aku menangis. Sedih sekali rasanya. Andai aku memiliki satu saja kesempatan untuk bertemu dengannya. Aku ingin sekali berterimakasih padanya. Bagaimana seseorang yang tidak kita kenal dapat begitu peduli dengan kita? Aku rasa kebaikanlah yang membuat hatinya tergerak. Aku hanya berharap Rico bisa sembuh total dan kami bisa bertemu kembali. Aku ingin mengatakan padanya bahwa dirinya adalah pangeran tak berkuda bagiku dan Irene.