Sesungguhnya malam ini aku tidak berminat ke kampus. Andai kalian ada di posisiku, kalian akan mengerti bagaimana perasaanku jika setiap hari diganggu oleh para “fans-gelap-tidak-bertanggungjawab” ini.
Mejaku penuh dengan kertas. Ada selembar kertas bertuliskan “Perempuan Sok Cantik, Sok Pintar, dan Sok Baik!” di mejaku. Sampah berserakan di bawah meja dan kursiku. Kuamati kursi dan mejaku dengan saksama, kali saja ada jebakan di sana. Rupanya dugaanku tepat.
Kursiku dilengketin dengan permen karet yang sepertinya sudah habis dikunyah. Mejaku diolesi minyak makan sehingga permukaan licin. Kejam memang. Tapi aku sudah terbiasa.
“Na!” seruku melihat sahabatku, Kirana yang datang membantu membereskan semuanya.
“Mi! Kita laporin aja ke Ibu Rektor! Livi dan genknya makin lama makin keterlaluan sama kamu!” Kirana tampak geram.
Aku menghela napas panjang. “Na, kamu kan tahu sendiri nggak ada yang berani berkutik karena Livi itu anak orang penting di sini. Mau dilaporin ya gitu-gitu aja, Na. Nggak ada perubahan dan tindak lanjutnya.”
“Dunia ini sungguh tidak adil!” teriak Kirana.
Ya. Dunia memang selalu tidak adil. Aku setuju dengan Kirana.
----
Malam ini langit tampak kelabu. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.
Aku sudah setengah jalan menuju rumah, sampai akhirnya aku berhenti dan menepikan motorku di sudut sebuah gedung bertembok batu marmer. Aku belum pernah melihat gedung ini sebelumnya. Gedung ini berukuran lumayan besar. Desainnya mewah. Dan seperti ada aura…
Tiba-tiba aku berjalan masuk ke gedung tersebut tanpa sempat menghentikan langkahku.
Gelap sekali. Sepi tidak berpenghuni.
Aku terus menelusuri setiap bagian gedung dan aku sampai di sebuah ruang yang sepertinya adalah ruang perpustakaan. Posisi lima rak buku besar menempel ke dinding. Saat aku hendak berjalan ke arah rak buku, muncullah cahaya terang. Aku menoleh ke arah cahaya tersebut berasal. Ternyata seorang wanita tua yang sedang mengusap-usap bola kristal.
Bukannya takut, aku malah berjalan ke arah wanita tua tersebut.
“Kamu memang sedang berada di dunia sihir. Selamat datang.” Si wanita tua seolah bisa membaca pikiranku.
“Perhatikan bola kristal ini.”
Entah mengapa aku patuh saja saat diperintahkan untuk memperhatikan bola kristal tersebut.
Aku seperti sedang menonton sebuah drama. Seorang perempuan berbaju lusuh sedang membersihkan makanan yang tercecer di lantai. Dan ternyata itu aku! Bagaimana bisa?
Kemudian datang seorang perempuan yang dengan nada judesnya berkata “Naomiiii!! Kerja tuh cepetan dikit kenapaaa?? Cucian masih numpuk tuh!”
Livi?? What?? Ini di zaman kapan sih? Kok baju kami sepertinya agak aneh ya modelnya. Begitu juga tempatnya.
“Inilah dirimu di zaman kerajaan dahulu. Livi adalah saudara tirimu.” Si wanita tua menjawab kebingungan dalam benakku.
Oh.. Patutlah kami tidak pernah akur. Toh di zaman dahulu saja kami musuhan.
Tiba-tiba cahaya bola kristal tersebut redup. Drama berhenti.
Lho.. lho?? Kok berhenti? Aku kan masih pengen nonton! Penasaran nih!
“Jika penasaran, besok kamu kembali saja ke sini lagi.” Si wanita tua memang bisa membaca pikiran kurasa.
Aku berjalan keluar dari gedung. Sambil mengendarai motor, pikiranku masih memutar ulang drama yang kutonton tadi. Aku tidak habis pikir, berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku.
Itu nyata? Atau aku dihipnotis?
Kok bisa cerita dramanya tentang aku dan Livi?
Apa besok aku harus balik lagi ke sana?
Bagaimana cerita selanjutnya?
Makin dipikir makin bingung dan penasaran. Besok aku akan minta ditemani oleh Kirana saja.
----
“Mana, Mi? Gedung yang kamu ceritakan itu yang mana nih?”
Aku berputar-putar mencari gedung sihir itu.
Lho?? Kok hilang gedungnya?
“Mana ya? Kok hilang? Harusnya sih di sini,” aku menunjuk ke arah gedung itu berada. “Atau kita salah jalan?”
“Ya nggak tau, Mi. Aku kan ngikut aja. Ah.. Palingan salah jalan. Ya sudah lain kali aja deh kita cari lagi. Sekarang udah malam banget nih! Pulang aja yuk,” tarik Kirana.
Aku masih melongo heran. Tidak mungkin salah jalan. Aku yakin dan ingat sekali gedung sihir itu terletak di sini.
Karena Kirana sudah merengek-rengek ingin pulang, aku pun menghidupkan mesin motor dan mengantarnya pulang.
----
Malam ini aku kembali mencari gedung sihir tersebut, tapi aku sendirian. Kuputuskan pergi mencari seorang diri agar aku bisa lebih fokus.
Nah, itu gedung sihirnya! Kenapa semalam tidak ada? Aneh!
Aku bergegas masuk. “Naomiii.. Kamu tidak boleh memberitahu dan membawa siapapun ke dunia sihir ini. Hanya kamu yang tahu mengenai semua ini.” Kedatanganku disambut suara serak si wanita tua.
“Apabila kamu membawa seseorang atau siapapun itu, maka gedung ini tidak akan terlihat,” lanjut si wanita tua.
Aku ingin bertanya alasannya, tetapi cahaya bola kristal menyala seolah melarangku bersuara. Kemudian muncullah lanjutan drama yang kutonton dua hari lalu itu..
Aku di balik bola kristal tersebut terlihat sedang berdansa dengan seorang pangeran tampan. Mirip Kayden. Iya memang Kayden! Astaga! Si pria perfect yang diidolakan seluruh mahasiswi di kampusku!
Saat asyik berdansa, kudengar teriakan Livi yang menyakitkan telinga.
“Naomiiii!!”
Kejadian berlangsung begitu cepat sehingga aku tidak bisa mengingat dengan jelas. Yang aku lihat saat ini adalah Livi sudah tersungkur di lantai. Livi terjatuh dari tangga istana saat berteriak tadi dan pingsan. Mungkin dia terpeleset saat berlari ingin memisahkanku dari Kayden.
Aku tidak tahu bagaimana kondisinya karena tiba-tiba saja cahaya bola kristal redup lagi yang menandakan bahwa drama bersambung.
Aku ingin bertanya, tetapi aku merasa kesulitan bersuara.
“Pulanglah, Naomi.”
Tanpa penjelasan apapun, si wanita tua memerintahkanku untuk pulang dan seperti biasa aku mematuhinya.
----
Satu kampus sedang heboh saat ini. Terdengar berita bahwa Livi sedang sakit parah dan sekarang dirawat di UGD. Tidak ada yang tahu apa penyakit Livi, karena memang sengaja dirahasiakan.
Walaupun Livi sudah berlaku kejam terhadapku selama ini, namun aku merasa prihatin dengannya. Kuputuskan untuk menjenguknya.
Livi terbaring lemas tak berdaya. Banyak selang infus di tubuhnya. Mukanya pucat pasi. Sungguh untuk saat ini aku merasa sangat mengasihaninya karena kondisinya yang begitu lemah.
“Ngapain ke sini?” walaupun sedang sakit parah, dia masih bisa bersikap judes terhadapku.
“Jenguk kamu,” aku meletakkan sekantong buah-buahan di ranjangnya.
“Kamu sakit apa?” aku berusaha melembutkan suara.
Dia memalingkan muka tidak mau menjawab pertanyaanku.
Sepuluh menit berlalu tanpa ada yang bersuara sedikitpun. Aku memutuskan untuk pergi saja. Mungkin dia malas melihatku di sini.
“Aku pulang dulu ya. Semoga kamu cepat sembuh.”
“Tunggu!”
Aku berhenti. Melihat mukanya, aku merasa dia ingin menyampaikan sesuatu kepadaku.
“Aku mau minta sesuatu darimu. Tolong iyakan saja!” Livi memaksa.
“Tergantung apa permintaanmu,” aku tidak mau langsung mengiyakannya.
Dia tersenyum licik. “Kamu wajib mengiyakan permintaan terakhirku ini.”
Kemudian sekilas kulihat raut mukanya yang sedih sekali, tapi kemudian dengan cepat berganti ekspresi benci.
“Permintaan terakhir?” aku bertanya dengan heran.
“Waktuku sudah tidak lama lagi.”
Lalu lanjutnya, “Aku mau kamu menjauhi Kayden, pindah dari kampus, dan jangan menetap di sini lagi! Jangan pernah menjalin komunikasi lagi dengan semuanya! Jangan pernah menampakkan dirimu lagi di sini!”
“Sebenci itukah dirimu terhadapku? Apa salahku? Jika aku punya kesalahan padamu, aku minta maaf. Tapi tolong, permintaanmu terlalu berat untuk kupenuhi,” aku membungkukkan badan memohon maaf.
“Kamu punya segalanya. Kuakui kamu wanita yang pintar, cantik, dan baik hati. Hidupmu penuh kasih sayang. Aku ingin kamu merasakan apa yang kurasa,” Livi terlihat ingin menangis tapi menahannya.
Hampir tergerak hatiku untuk mengiyakan. Namun, aku berkata “Beri aku waktu untuk berpikir. Aku akan kembali memberitahumu.”
Aku pulang. Bukan pulang ke rumah. Aku balik lagi ke gedung sihir itu untuk mencari petunjuk dan penjelasan dari semua ini. Aku merasa semua ini ada sangkut pautnya dengan drama yang telah kutonton tersebut.
Aku tidak menemukan wanita tua tersebut. Yang kudapati hanyalah sepucuk surat di mejanya.
Karena ruangan terlalu gelap, aku berjalan keluar dari gedung dan segera membaca surat tersebut.
TURUTI SAJA APA PERMINTAANNYA KARENA KAMU BERHUTANG NYAWA KEPADA LIVI. JIKA KAMU TIDAK MEMENUHI PERMINTAANNYA, NYAWAMU AKAN TERANCAM.
Aku masih bingung. Kuputuskan masuk ke dalam gedung lagi untuk mencari petunjuk lain.
Cahaya terang di suatu ruangan membuatku terkejut. Aku berjalan ke sana untuk melihat cahaya apakah itu. Ternyata cahaya dari bola kristal si wanita tua.
Ke mana si wanita tua?
Bola kristal tersebut kemudian memutarkan sepenggal drama. Cerita berulang dari saat Livi berteriak memanggil namaku dan terpeleset jatuh dari tangga. Sekarang aku tahu mengapa Livi berteriak sekeras itu. Bukan karena dia ingin memisahkanku dari Kayden. Bukan.
Tetapi karena dia melihat seorang prajurit sedang membidikkan panah beracun ke arahku dari balik pintu istana. Livi berlari ingin menolongku tetapi akhirnya dia terpeleset jatuh dari tangga karena panik. Sedangkan sang prajurit langsung melarikan diri karena kaget dan takut tertangkap.
Sekarang aku mengerti. Tidak ada lagi alasanku untuk menolak memenuhi permintaan Livi. Aku mengerti. Andai aku terbidik panah beracun itu, pasti saat ini akulah yang sedang berada dalam kondisi sekarat.
----
Siang ini terik sekali. Membuat keringat bercucuran di sekujur tubuh.
Aku kembali mengunjungi Livi di rumah sakit.
Hari ini Livi masih terlihat lemas. Bahkan kondisi kesehatannya semakin memburuk.
“Hai, Livi.”
Dia hanya menatapku. Tatapannya mengisyaratkan bahwa dia membutuhkan jawabanku atas permintaan dia kemarin.
“Oke, aku sudah mengerti. Aku akan memenuhi semua permintaanmu, Livi.”
Livi tersenyum. Belum pernah aku melihatnya tersenyum setulus ini.
“Terimakasih,” ujarnya perlahan.
“Terimakasih juga, Livi,” aku menundukkan kepala.
Beranjak dari situ, aku berjalan menuju gedung sihir itu. Tapi, gedung itu sudah tidak terlihat lagi. Mungkin memang sudah selesai waktunya untuk berada di dunia nyata ini.
Aku akan memulai lembaran hidup baru. Rasa sedih pasti ada, namun tidak masalah apabila untuk kebaikan. Karena semua akan indah pada waktunya.