Kebebasan adalah salah satu ideologinya yang telah Ia pegang semenjak lama, semenjak Ia meyakini bahwa angin dapat berhembus kemana saja dan air dapat mengisi wadah yang kosong. Kebebasan yang Ia percaya saat berlarian di tanah kosong seperti anak kecil dan kebebasan saat kentut dimana saja. Agak aneh memang tapi itulah kebebasan menurut Indie, seorang gadis berusia 20 tahun yang ternyata masih mencari kebebasan setelah tembok-tembok membatasi diriya. Itu semua hanya fantasi tentang kebebasan yang ia rekayasa di dalam scratch booknya. Indie gadis yang ingin beranjak dewasa mencari ke indiean yang sebenarnya.
Hanya duduk dan termenung sambil mencoret-coret scratch booknya, melukiskan semua keresahannya yang tak berawal dan tak berakhir. Dibalik halaman scratchbooknya ia menyisipkan satu tiket konser musik tentang arti kebebasan. Tentang menyuarakan pendapat dan menyanyikan keresahan dalam hati, awalnya untuk kepuasan diri, lama kelamaan banyak yang merasa perasaannya terwakilkan. Indie risau dan bimbang, Ia ingin sekali mempercayai instingnya untuk pergi, tetapi Ia takut pergi sendiri. Ini adalah eksperimen pertama kalinya untuk menemukan kebebasan. Berkelimat dengan pemikiran dan hati antara melangkahkan kakinya atau tidak, memang terlalu bertele-tele. Itulah Indie dengan semua pemikirannya.
Berbeda dengan Rendy, menurutnya kebebasan adalah saat langsung berangkat ketujuan. Baik sendiri maupun bersama-sama. Kebebasan adalah saat tak ada yang membuat tembok, tak ada yang menciptakan pemikiran-pemikiran aneh. Tak ada, hanya kaki dan otak yang selaras aja. Rendy juga menyimpan tiket konser musik yang sama dengan Indie. Tak ada yang diragukannya, sendiri menurut Ia sudah biasa. Sendiri tak berarti sepi, sendiri itu bebas seperti rumput liar yang tumbuh dimana saja.
Konser musik yang terletak cukup jauh dari rumah Rendy, karena berbeda kota sedangkan Indie tempat yang dapat dijangkau. Mereka berdua kali ini sudah siap untuk berangkat dan menyaksikan kebebasan yang mengudara di konser tersebut. Rendy berangkat dengan mobil bututnya warisan dari mendiang ayahanda. Sedangkan Indie berangkat dengan taksi, angkutan praktis yang agak menguras kocek. Rendy hanya berpakaian kaos celana compang camping serta kacamata dan dilengkapi headband. Lain halnya dengan Indie Ia berpakaian parka bewarna hijau rambut diikat satu sepatu sneaker biru kesayangannya. Sudah siap untuk menyaksikan kebebasan.
Indie tiba lebih dulu ditempat tujuan, merasa bahagia akhirnya Ia bisa pergi sendiri kali ini tanpa ditemani teman-temannya. Indie langsung menuju tempat penukaran tiket. Sedangkan Rendy tiba beberapa lama setelah Indie tiba, Ia berjalan santai dan dengan mengisap rokok. Tak terlalu memerdulikan penampilan. Security bertubuh kekar turut menghiasi konser, berkeliling dan berjaga dimana-mana. Walaupun kebebasan tak berarti harus melanggar aturan.
Latar konser melambangkan kebebasan, lapangan bola yang luas nan hijau. Ditemani dengan alunan udara yang menyejukkan hati dan jiwa. Serta dilengkapi lampu-lampu penghias venue, melengkapi suasana kebebasan dalam konser. Menjadi tempat yang sangat cocok untuk meluapkan kesedihan dan menjadi bahagia hari ini. Indie merasa lapar, Ia berjalan menuju food court, sedangkan Rendy duduk diarea santai sambil menyebat rokoknya dengan tenang sambil mendengarkan musik dihandphonenya dengan earphone.
Indie memilih donat dan segelas mochachino untuk mengganjal perutnya yang sedang bersorak sorai. Indie melihat keadaan sekitar yang sudah ramai dan tempat duduk juga sedang terisi dengan orang-orang yang turut berbahagia hari ini. Hanya satu tempat yang terlihat renggang daripada yang lain. Ia langsung menuju tempat itu. Terlebih dahulu menaruh makanannya daripada duduk. Ia melihat laki-laki sendirian sedang menghisap rokok yang sebentar lagi akan habis. Indie memberanikan bertanya kepada laki-laki tersebut.
“Mas ini tempatnya kosong yah?” tanya Indie.
“Iya mbak, kosong, silahkan mbak duduk saja” ucap Rendy.
“Terimakasih ya mas”
Indie pun duduk dan memakan donatnya. Melihat keadaan sekitar dan tersenyum bahagia. Rendy telah menghabiskan satu batang rokoknya, Ia tidak merasa lapar dan memperhatikan Indie yang sedang memakan donat. Baru kali ini Ia melihat seorang perempuan duduk sendirian berpakaian bisa dibilang sopan. Rendy merasa heran dan dirinya memulai percakapan pada dengan wanita tersebut.
“Mbak sendirian kesini?” tanya Rendy.
“Iya mas, saya sendirian” ucap Indie sambil membersihkan mulutnya.
“Saya baru pertama kali liat perempuan rapih sendirian kesini, btw nama saya Rendy, biar gak kikuk aja”
“Maksudnya rapih gimana ya mas? Saya Indie” tanya Indie penasaran.
“Iya biasanya orang kayak kamu kesini sama teman-teman ceriamu, penggembira dan terlalu membicarakan fantasi” jelas Rendy.
“Saya ingin bebas mas” jawab Indie singkat sambil menyuruput kopinya.
“Wah nama kamu sebenarnya sudah melambangkan kebebasan sebenarnya, tapi sepertinya kamu terlalu membuat tembok itu sendiri” jawab Rendy.
“Wah kamu baru ketemu, udah bisa menyimpulkan secepat itu ya. Terimakasih ya sudah memberikan mejanya. Saya pergi dulu sebentar lagi penyanyi favorit saya main” tutup Indie.
Indie meninggalkan meja tersebut dengan muka ditekuk, seharusnya hari ini bisa menjadi hari kebahagiannya tapi kenapa percakapan secuil itu bisa merusak fantasinya tentang kebahagian. Benci sekali, benci hal kecil seperti itu. Indie berjalan menuju tempat utama, ia menemukan spot bagus untuk menikmati rangkaian acara hari ini. Indie menggelar kain pantai untuk menjadi tempat duduk santainya hari ini.
Rendy hanya tertawa kecil saat mengetahui ekspresi Indie. Ia hanya ingin segera melupakannya dan tidak berusaha untuk memaafkan satu sama lain. Rendy pergi menuju tempat utama, Ia mencari spot yang nyaman untuk menonton. Tak sengaja ia melihat Indie duduk sendirian, mencoba untuk menebus kesalahan Rendy menghampirinya.
“Hai, maafkan ke sok-tahuannya saya tadi” ucap Rendy sambil menjulurkan tangannya.
“Asalkan kamu berjanji tidak akan merusak fantasi saya hari ini” ucap Indie dengan nada sinis.
“Sepakat, apakah saya boleh duduk disini?”
“Iya silahkan.”
Mereka berdua duduk dengan damai setelah meluruskan pertikaian kecil tadi. Indie kemudian bersenandung bersamaan dengan penyanyi yang menyanyi diatas panggung. Kebahagian yang khidmat menurut Indie. Rendy melihat Indie melakukan itu membuatnya tersenyum kecil. Rendy kemudian bertanya kepada Indie, pertanyaan bukan untuk merusak suasana tetapi untuk mencairkan suasana.
“Kenapa kebebasan masih menjadi fantasimu?” tanya Rendy.
Indie menoleh dan terdiam. Pertanyaan yang masih membingungkan dirinya sendiri dan masih belum jelas jawabannya.
“Mungkin karena aku terlalu takut?” ucap Indie tidak yakin.
“Haha, hanya sesimpel itu, coba kau hanya harus melakukan apa yang harus kau lakukan tanpa perlu berpikir tanpa perlu menimbang” jawab Rendy.
“Sesederhana itu, tapi tidak bisa seperti itu. Kebebasan tetap harus bertanggung jawab” bela Indie.
“Dengarkan dulu musik ini, serap iramanya dan maknai liriknya” ucap Rendy sambil menutup mata mencoba menikmati alunan musik hari ini.
Alunan lagu yang tenang ditemani petikan gitar melengkapi suasana hangat hari ini. Indie mencoba menutup mata dan menikmati serta memaknai lagu yang dinyanyikan hari ini. Mereka berdua memberhentikan percakapan hari untuk sejenak. Langit sore yang mendung menemani konser musik hari ini, langit yang tadinya bewarna biru cerah berganti menjadi agak gelap dan petang. Semilir angin juga ikut bekerja sama, lampu-lampu penghias mulai menyala. Mungkin sore ini sedikit menjawab kegalauan Indie akan kebebasan.
“Rendi, saya baru tahu kalo kebebasan bisa semudah ini?” celetuk Indie.
“Mudah? Bagaimana bisa?” ucap Rendi kaget.
“Itu yang mereka nyanyikan dan alunan musiknya bagaimana semuanya bisa seindah dan semerdu itu?” jawab Indie.
“Perasaan mereka terwakilkan berarti.”
“Terwakilkan?”
“Dalam seni ketika kita berkarya kitalah yang menjadi dewanya, jika kita jujur berarti perasaan si penulis terwakilkan, hanya ingin mengungkap apa yang membuat sesak didada dan meringankan apa yang ada di kepala. Agar tidak dipendam terlalu lama dan membusuk atau menjadi racun yang kemudian disesali” jelas Rendy.
“Wah sebuah argumen yang mewakilkan” balas Indie.
“Iya mewakilkan pemikiranku” jawab Rendy.
Indie dan Rendi kembali menikmati alunan musik yang mengalir merdu. Membungkus malam yang dingin menjadi hangat dengan iringan gitar dan lampu-lampu gantung. Hari ini Indie tersenyum bahagia, perasaan dalam hati yang mungkin sudah agak jarang muncul akhir-akhir ini. Mungkin karena alasan yang tak pernah ia mengerti. Mungkin karena Indie terlalu mendoktrin dirinya bahwa ketidakadilan sudah muncul sejak dalam pikiran. Mungkin dan mungkin, terlalu banyak kemungkinan didalam benaknya.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, menjadi penanda konser harus tutup untuk sementara hingga dipertemukan di tahun sebelumnya. Indie dan Rendi bertepuk tangan.
“Kamu balik naik apa?” tanya Rendy.
“Tidak tahu mungkin taksi.”
“Bagaimana kalau saya antar?”
“Tidak merepotkanmu?”
“Tidak.”
“Baiklah.”
Indie dan Rendy meninggalkan tempat mereka berjalan menuju parkiran. Sesampainya di parkiran Rendy membukakan pintu mobil untuk Indie dikarenakan pintu yang pintu mobil Rendy agak sedikit rusak. Diperlukan keahlian khusus untuk membuka pintu tersebut. Indie tersenyum geli.
“Pintumu sudah separah itu?”
“Iya, walaupun sudah tua renta, tetap harus dikasihi” jawab Rendy.
Setelah urusan perihal pintu mobil selesai, Rendy mulai menjalankan mobilnya. Dan memulai perjalanan mereka menuju rumah Indie dimulai. Indie menyalakan radio dimobil Rendy. Rendy tidak keberatan. Perjalanan menuju rumah Indie memakan waktu sekitar 7 menit.
“Biar saya bukakan ndi” ucap Rendi.
“Tidak usah Rendy, saya bisa sendiri” balas Indie.
“Indie tunggu sebentar,” Rendy kemudian mendekat kearah Indie dan seakan akan mencium Indie. Indie sedikit ketakutan dan menutup matanya. Tetapi Indie salah kali ini, Rendy hanya mengambil daun yang berada dikepala Indie.
“Itu sudah” Ucap Rendi sambil tertawa usil.
“Oh, terimakasih Rendi untuk menemaniku hari ini dan tumpangannya” ucap Indie gelagapan.
“Sama-sama Ndi, senang bertemu denganmu” ucap Rendy sambil melontarkan senyum manisnya.
Indie pun keluar dari mobil Rendy. Mereka berpamitan. Indie berjalan menuju kedalam rumah. Indie tersenyum, Indie merasa nyaman bertemu dengan Rendy, tetapi mereka tidak sempat bertukaran kontak. Mungkin Rendy ingin merasakan keindiean akan suatu hubungan, pikir Indie.
Premium
Adopted
1464
773
1
Romance
Yogi Ananda dan Damar Raditya dua pemuda yang terlihat sempurna dan mempunyai keluarga yang utuh dan bahagia. Mereka bertemu pertama kali di SMA dengan status sebagai kakak dan adik kelas. Terlahir dengan wajah tampan, dikaruniai otak cerdas, memiliki perangai baik sehingga banyak orang menyukai mereka. Walau berasal dari orang tua kalangan kelas menengah tidak menghentikan langkah mereka untuk m...
Words Unsaid
600
343
2
Short Story
For four years, I haven’t once told you my feelings. There are words still unsaid that I have always wanted to tell you.
Love in the Past
523
388
4
Short Story
Ketika perasaan itu muncul kembali, ketika aku bertemu dengannya lagi, ketika aku harus kembali menyesali kisah itu kesekian kali.
ALACE ; life is too bad for us
1034
624
5
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi
I Hate My Brother
398
288
1
Short Story
Why my parents only love my brother? Why life is so unfair??
Kenangan Terakhir Bersama Seorang Sahabat
877
520
2
Short Story
Kisah ini mengingatkanku, ketika kita pertama kali bertemu denganmu. tapi pada akhirnya kau...
Lilian,Gelasmu Terisi Setengah
834
554
2
Short Story
\"Aku bahkan tidak dikenali oleh beberapa guru. Sekolah ini tidak lain adalah tempat mereka bersinar dan aku adalah bagian dari figuran. Sesuatu yang tidak terlihat\"
Mawar Putih
1422
751
4
Short Story
Dia seseorang yang ku kenal. Yang membuatku mengerti arti cinta. Dia yang membuat detak jantung ini terus berdebar ketika bersama dia. Dia adalah pangeran masa kecil ku.
Musyaffa
122
105
0
Romance
Ya, nama pemuda itu bernama Argya Musyaffa. Semenjak kecil, ia memiliki cita-cita ingin menjadi seorang manga artist profesional dan ingin mewujudkannya walau profesi yang ditekuninya itu terbilang sangat susah, terbilang dari kata cukup. Ia bekerja paruh waktu menjadi penjaga warnet di sebuah warnet di kotanya. Acap kali diejek oleh keluarganya sendiri namun diam-diam mencoba melamar pekerjaan s...