Loading...
Logo TinLit
Read Story - RAIN
MENU
About Us  

Ardiana duduk di bangku yang tersedia di area parkir SMA Negeri Banjarbaru Utara, Kalimantan Selatan. Ia menunggu mobil jemputannya ditemani curahan hujan yang semakin lebat. Bulan November memang selalu identik dengan curah hujan itu sebabnya Adriana menyukai November. Sesekali ia mengulurkan tangan kanannya yang dibalut sweater dengan warna dusty green yang menutupi sebagian seragam sekolahnya.  Adriana seakan memaknai setiap tetesan hujan yang jatuh di genggaman tangannya.

"Hujan." Ucapnya dengan nada ringan penuh penghayatan. Ia tahu betul penantiannya kali ini tidak akan sia-sia. Pasalnya ia sudah sedikit uring-uringan sejak seminggu yang lalu karena November belum juga menyapanya dengan hujan.

"Aiishh." Tiba-tiba sebuah seruan mengagetkannya. Ia menoleh ke arah suara, mendapati sesosok gadis asing yang merupakan sumber suara. Gadis dengan potongan rambut bob itu terlihat melap bagian lengan overcoatnya yang terkena ceceran air hujan. Adriana masih dalam kegiatannya mengamati gadis yang sekarang berada tidak jauh darinya itu.

Gadis itu dengan sedikit kegiatan mengumpat yang tidak terlalu jelas ditangkap oleh pendengaran, beranjak duduk bersebelahan dengan Adriana. Mendapati Adriana yang menatapnya ia pun mengangkat kedua alisnya dengan gerakan tangan sedikit mengangkat ke udara. "W​​​​​​​​hat?" Ucap gadis itu menanggapi tatapan bingung Ardiana. Ardiana hanya mengumbar senyum yang sedikit dikulum. Adriana tahu gadis ini sedang dalam kondisi mood yang tidak baik. Adriana pun meneruskan kegiatannya menghayati hujan.

"Okay, sorry." Ucap gadis itu meralat ucapannya setelah beberapa saat. Ardiana hanya menanggapinya dengan senyuman ringan ke arah gadis itu. Hujan masih enggan pergi. Mereka kembali sibuk dengan pikirannya masing-masing. Adriana sendiri masih menikmati hujan. Baginya bukan hal yang membosankan menunggu mobil jemputan yang kebetulan masuk bengkel saat hujan turun.

Pertemuan mereka hanya diisi suara tetesan air hujan. Namun sebuah suara tiba-tiba  mengintrupsi alunan tetesan hujan di pendendengaran Adriana. "Aku benci hujan." Ucap gadis itu memecah keheningan. Ardiana mencoba memahami perkataan gadis yang sekarang duduk tidak jauh darinya itu. Ia berusaha mencerna kata demi kata yang tentu saja sedikit banyak menyentil ego Adriana karena yang dibicarakan kali ini bukan tentang hal lain tapi tentang hujan.

Setelah beberapa saat Adriana menemukan kata yang dirasanya tepat untuk menanggapi perkataan gadis di sebelahnya. "Aku suka hujan." Ucap Ardiana tandas dengan sedikit penekanan. Kata-kata itu keluar dari mulut Ardiana bukan tanpa alasan, sulit rasanya bagi Adriana membiarkan seseorang begitu saja membicarakan kebenciannya pada hujan. Hujan dan Ardiana seperti kekasih. Ardiana selalu merindukan hujan dan mungkin begitu pun hujan selalu merindukan Ardiana. Seperti hari ini.

"Aku selalu sial jika hujan turun." Ucap gadis itu lagi. Ia mengucapkan perkataannya dengan ringan seolah tanpa beban sambil melemparkan pandangan ke arah jalananan yang basah karena guyuran hujan. Ia sama sekali tidak menyadari perubahan ekspresi Adriana.

Adriana sendiri masih dengan keterpakuan atas apa yang ia dengar dari gadis di sebelahnya. "Aku selalu bahagia saat hujan turun." Akhirnya kata-kata itulah yang keluar dari mulut Ardiana. Adriana mengucapkan hal itu dengan nada satire mengikuti gaya gadis berambut bob saat bicara. Melakukannya seolah itu candaan yang hanya dikeluarkan untuk mengisi kekosongan di antara mereka. Setidaknya itulah yang berusaha Adriana lakukakan.

"Aku kehilangan semua yang aku cintai saat hujan turun." Ucap gadis itu lagi dengan nada yang terdengar lebih serius walaupun masih dengan tatapan mengarah ke jalanan. Ardiana menatap gadis itu dalam. Hening. Ardiana tahu semua hal tentang kehilangan tidak akan pernah mudah. Gadis di sebelahnya bukan satu-satunya orang yang pernah mengalami kehilangan. Jika kata 'kehilangan' boleh dihapus dari daftar kosa kata kehidupan seseorang, mungkin Ardiana orang pertama yang akan menghapusnya.

Menyadari kekakuan yang tiba-tiba terjadi di antara mereka gadis itupun berusaha mengatasi kecanggungan yang mulai menyelimuti atmosfer pertemuan mereka. "It's okay. Semua orang punya pengalamannya masing-masing dan kebetulan aku selalu punya pengalaman buruk dengan hujan." Ucap gadis itu dengan sedikit senyuman tipis ke arah Adriana.

Adriana hanya mengangguk kecil dan berusaha membalas senyuman gadis di sampingnya. Namun dalam benaknya pikiran Adriana mulai berkecamuk. Hujan yang ia kenal selalu memberi kebahagian ternyata juga dapat merenggut kebahagian dari seseorang. Adriana masih sibuk dengan berbagai spekulasi di benaknya mencoba mencari pembenaran atas tuduhan pada salah satu fragmen kehidupannya 'Hujan'.

"Dulu waktu aku umur 5 tahun ayahku meninggal karena kecelakaan. Saat itu hari hujan deras tiba-tiba sebuah telepon masuk, mengabarkan tentang kecelakaan yang terjadi pada ayahku. Saat itu aku masih kecil tapi ingatanku tentang hujan dan kabar meninggalnya ayahku masih begitu jelas. Empat tahun kemudian saat aku berumur 9 tahun ibuku menitipkan aku tinggal di rumah nenekku. Aku yang saat itu sudah mulai memahami kehilangan enggan berpisah dengan ibuku. Aku merengek agar tidak diantar ke rumah nenek tapi ibu bersikeras. Kami tiba di rumah nenek malam hari saat hujan deras. Aku masih enggan berpisah dengan ibuku. Tapi aku lagi-lagi harus kehilangan ibuku saat hujan turun. Apa aku harus melanjutkan ceritaku?" Tanya gadis berambut bob itu ke arah Adriana. Masih dengan senyum simpul seolah cerita yang baru ia sampaikan bukan hal besar baginya. 

Adriana lagi-lagi hanya bisa sedikit menganngukkan kepala, ia berusaha memaknai setiap percakapan dengan gadis di dekatnya. Menatap gadis di sebelahnya dengan lebih intens mencoba memahami apa yang baru saja di dengarnya lebih tepatnya masih mencoba mencari pembelaannya untuk 'Hujan' miliknya.

"Dua tahun kemudian saat aku berumur sebelas tahun. Aku mendapatkan kabar bahwa ibuku meninggal karena overdosis obat anti depresi. Sejak ayahku meninggal ibuku memang mengalami depresi ia lebih emosional mungkin itulah alasan ibu menitipkanku di rumah nenek. Dan sejak saat itu aku tahu aku benci hujan." Sedikit guratan kesedihan terbaca di wajahnya saat gadis itu mengakhiri ceritanya.

Adriana mematung mencoba menerima kenyataan yang baru saja ditangkap indra pendengarannya. Keheningan kembali melanda pertemuan mereka.

Hujan mulai reda. Gadis di sebelahnya bangkit dari duduknya sambil merapatkan overcoat yang dikenakannya dan mulai mencek kondisi cuaca yang kelihatannya sudah mulai dapat diajak kompromi.

Ia berjalan menghampiri Adriana yang masih setengah mematung dengan kejadian yang baru saja dialaminya. " Sean." Ucap gadis itu dengan senyum hangat sambil mengulurkan tangan ke arah Adriana. Adriana yang masih berkecamuk dengan pikirannya menyambut jabatan tangan itu dengan ragu. "Adriana."  Ucapnya setelah beberapa saat.

"Terimakasih untuk mendengarkan ceritaku tentang hujan." Ucapan Sean terdengar begitu hangat di telinga Adriana. Tapi sekali lagi itu tak cukup hangat untuk mengembalikan kesadaran Adriana sepenuhnya. Adriana hanya mengangguk kecil. Jabatan tangan yang sejak tadi terpaut pelan-pelan merenggang. Sean beranjak beberapa langkah dari Adriana.

"Sean," ucap Adriana tertahan. Yang dipanggil sedikit menengokkan kepala. "Terimakasih untuk membagi ceritamu tentang hujan." Adriana mengucapkannya dengan lemah seolah itu adalah kata-kata duka yang diucapakan seorang anggota keluarga yang kehilangan anggota keluarganya. Tapi Adriana masih menyunggingkan senyum. Entah senyuman jenis apa yang coba ia gambarkan yang Adriana tahu senyum itu tulus dari dalam hatinya.

Sean menggangguk membalas senyum hangat dari rekan barunya dan kembali melanjutkan langkahnya menjauh dari area parkir dan Adriana. Hujan benar-benar reda. Kejadian yang baru saja terjadi mau tidak mau menjadi hal yang harus menguras perasaan Adriana. Karena hujan terbukti bersalah Adriana harus menjatuhkan vonis untuk hujan miliknya.

Dalam benaknya Adriana berujar. "Ternyata aku tidak cukup mengenalmu. Sekian lama yang kuhabiskan denganmu belum mampu mengungkapmu seutuhnya. Aku kecewa dengan kenyataan yang baru kudengar. Ternyata kamu pun punya sisi kelam sepertiku. Aku masih berpikir untuk menerimamu kembali atau tidak. Tapi yang aku tahu kenyataan ini tidak cukup memudarkan perasaanku untukmu. Aku perlu lebih banyak alasan untuk benar-benar meninggalkanmu."

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 2 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags