R A I N , M A P L E , D A N S E N J A
Oleh Sagita Maharani
Indah… Satu kata yang mampu mendefinisikan pemandangan di sekitarku. Deretan pohon maple yang berwarna jingga seperti langit senja menjadi pemandangan yang mampu menghipnotis mata. Daun maple yang berguguran menambah kesan tersendiri dengan bentuknya yang khas. Sedari tadi, aku tidak berhenti mengabadikan momen di sekitarku dengan kamera polaroid milikku.
Namun ada satu pohon maple yang menarik perhatianku. Sebenarnya bukan pohon tersebut yang membuatku tertarik, melainkan seorang gadis yang duduk di bawahnya.
Gadis itu menggunakan headphone di telinganya dan sebuah novel tebal ada di tangannya. Aku terpana pada gadis itu. Bagaimana tidak? Rambutnya yang berwarna merah keemasan tergerai indah, berterbangan ditiup semilir angin yang lembut. Wajahnya yang halus bersinar diterpa hangatnya matahari senja. Bibirnya berwarna merah muda, tipis dan mungil, mengundang banyak lelaki untuk mengecupnya. Sungguh, sepertinya Tuhan sedang berbahagia sewaktu menciptakan gadis itu.
Dengan jarakku yang tidak terlalu dekat, aku pun memotret wajah cantiknya secara diam-diam. Ada getaran yang tiba-tiba memenuhi hatiku, seolah-olah meyakinkanku bahwa gadis itu milikku. Milik Dean Reyandra.
Bayangan gadis pohon maple senja tadi terus memenuhi benakku sepanjang hari. Berbagai pertanyan muncul di kepalaku. Dia adalah satu-satunya gadis yang bisa membuat Dean Reyandra tunduk di bawah pesonanya.
“Siapapun kau, gadis pohon maple, kau adalah milikku.” gumamku pelan.
Aku datang ke tempat itu lagi, berharap melihat si gadis pohon mapleku. Dan ia ada di sana, memakai blus putih serta rok berwarna jingga yang sangat serasi dengan kulit putihnya. Oh mengapa ia begitu sempurna?
Kegiatan yang ia lakukan sama persis dengan kemarin, bersandar di bawah pohon maple yang rindang dengan headphone di telinganya, membaca sebuah novel tebal. Aku terus memperhatikannya hingga tanpa sadar, aku perlahan-lahan mendekatinya. Alhasil aku sekarang berada tepat di depannya. Sepertinya dia mulai menyadari keberadaanku. Mungkin karena aku menghalangi sinar matahari.
Gadis itu hanya menatapku dengan heran. Aku pun duduk di sampingnya dengan senyum menghiasi wajahku.
“Hai, Nona. Namaku Dean Reyandra.” aku mengulurkan tanganku untuk mengajak berkenalan. Tampaknya ia sedikit canggung dan ragu karena tiba-tiba aku dengan mudah menghampirinya dan mengajak berkenalan.
“Nona, aku hanya ingin berkenalan. Aku tidak punya niat lain.” aku tersenyum padanya, dan ia menatapku dengan matanya yang indah berwarna hazel. Akhirnya ia menjabat tanganku.
“Aku Apriliya Rain Maple. Panggil saja aku Rain.” ucapnya dengan lembut. Namanya sungguh indah.
“Namamu lucu,” kulihat dia tertawa kecil. Ah, manisnya. “Rain artinya hujan, tapi sepertinya kamu sangat menyukai senja.”
“Aku menyukai keduanya, hujan dan senja. Bagiku, mereka memiliki makna masing-masing,” matanya terarah ke langit yang semakin jingga. “Oh iya, apa aku boleh memanggilmu Rey?”
“Ya, panggil saja aku Rey,” aku tersenyum lagi dan mengangguk. “Um, maaf karena dari kemarin aku lancang memperhatikanmu, tapi kulihat kamu sangat akrab dengan tempat ini.” tanyaku padanya.
“Aku menyukai tempat ini dan pohon maple, Rey. Bagiku, senja akan semakin indah ditemani pohon-pohon maple dan daun-daunnya yang berguguran,” jelasnya sambil kembali menatap langit senja. “Dan tidak apa-apa kalau kau memperhatikanku diam-diam.” sambungnya lagi. Aku tersenyum mendengarnya. Sungguh gadis yang penuh kejutan.
“Kamu benar Rain, tempat ini memang indah. Aku juga menyukai pohon maple dan tempat ini cocok bagi orang-orang yang menyukai pohon maple, seperti kita.”
Aku menatapnya sampai ia balas menatapku dan pandangan kami bertemu, terkunci seakan-akan pemandangan di sekitar kami tidak ada artinya. Namun Rain tersadar dan mengalihkan pandangannya ke arah sebaliknya, pipinya bersemu merah.
“Rey, aku pulang dulu ya.” pamitnya sambil membereskan barang-barangnya.
“Aku bisa mengantarmu.” tawarku.
“Tidak, terima kasih, Rey. Rumahku dekat,” tolaknya sambil melangkah meninggalkanku. “Sampai jumpa...”
Aku menatap punggungnya sampai ia menghilang dari pandanganku. Baru kali ini seorang gadis menolakku. Biasanya gadis-gadis lain memohon-mohon untuk kuantar pulang, namun aku sering menolak mereka. Bukannya sombong, tapi aku memang incaran para gadis. Aku sering mendengar mereka memuji-muji wajahku yang tampan, dengan mataku yang tajam berwarna hitam legam dan bulu mata yang lentik, juga badanku yang cukup atletis.
Aku pun melangkah pergi meninggalkan tempat itu, diiringi daun-daun maple yang berguguran dan senyum menghiasi wajahku.
“Kita akan bertemu lagi senja besok, Rain.” gumamku pelan.
Bisa kupastikan malam ini aku akan tertidur nyenyak. Ini semua karena gadis pohon mapleku, bidadariku.
Rainku.
“Aku kira kita tidak akan bertemu lagi.” aku kembali menghampiri Rain esok harinya, mencoba berbasa-basi. Ia terkekeh kecil.
“Ini tempatku sejak kecil, aku pasti ke sini setiap hari.” ucapnya sambil menatapku.
Cerita tentang kehidupan kami masing-masing pun mulai mengalir. Kami bercerita banyak hingga perlahan-lahan kami saling mengenal satu sama lain.
Sudah terhitung dua minggu aku dan Rain menjalin pertemanan, hingga perasaanku terus tumbuh dan memaksaku untuk mengungkapkannya. Sore itu, ditemani langit senja dan pohon maple, aku mengatakannya.
“Rain,” aku menatap mata hazelnya, dan ia balas menatapku dengan bertanya-tanya. “Aku tahu kita belum lama saling mengenal. Meskipun hanya dua minggu, tapi rasa ini sudah tumbuh besar di hatiku. Aku mencintaimu sejak pandangan pertama. Semua yang ada di dirimu membuat hatiku terpikat. Aku jatuh hati pada pesona dan kelembutanmu. Aku mencintaimu, Apriliya Rain Maple.”
Aku menggenggam tangannya, dan ia hanya terdiam. Sungguh aku takut ia menolakku karena aku terlalu terburu-buru. Akhirnya ia menarik nafas panjang, kemudian melepaskan tangannya dari genggamanku dan menyentuh pipiku dengan tangannya yang lembut.
“Cinta memang datang tanpa kita sadari, Rey. Tuhan menurunkan cinta dengan berbagai macam cara. Aku percaya cintamu tulus walau dengan waktu yang singkat, karena aku pun merasakan hal yang sama.” ia tersenyum manis. Lega dan bahagia menyeruak di dalam hatiku. Aku menggenggam tangannya yang berada di pipiku, lalu mengecup punggung tangannya.
“Aku bahagia karena kau mencintaiku, Rain.”
Entah siapa yang memulainya, tetapi bibir kami tiba-tiba saja sudah bertemu. Sungguh indah hari itu, disaksikan oleh burung-burung yang berterbangan, pohon maple dan daun-daunnya yang berguguran, serta berpayungkan langit senja. Tidak ada musik, hembusan angin lah yang menjadi melodi indah pertanda adanya insan yang sedang menikmati indahnya cinta. Alam seakan-akan ikut berbahagia. Aku berjanji cinta ini hanya untukmu Rain. Selama darah di dalama nadiku masih mengalir, tidak ada nama lain selain namamu di hatiku.
Rain sudah resmi menjadi kekasihku tiga bulan yang lalu. Kemarin aku tidak bertemu dengannya. Entah kenapa, sewaktu aku ke sana kemarin, ke tempat biasa kami bertemu, ia tidak ada. Kalian mungkin bertanya-tanya mengapa aku tidak ke rumahnya. Jawabannya, aku tidak tahu di mana rumahnya. Tiga bulan aku menjadi kekasihnya, dan aku tidak tahu, karena Rain tidak mau memberitahu meskipun aku sering bertanya. Ia juga tidak pernah mau diantar pulang. Dia bilang aku harus bersabar, nanti juga dia akan memberitahuku. Dia hanya bilang kalau ia dan kakeknya membuka toko pai di Jalan Valencia.
Aku sangat merindukannya, jadi aku menaiki sepeda motorku dan pergi ke taman untuk melihatnya. Siapa tahu dia ada di sana.
Itu dia, gadisku, di bawah pohon maple seperti biasanya. Tapi Ia tampak berbeda hari ini. Biasanya ia memakai rok atau celana jeans, kini ia memakai gaun putih selutut yang menawan, serta mahkota bunga berwarna putih di atas rambut merahnya yang tergerai indah. Dia juga tidak membawa headphone dan novel tebal. Aku pun berlari menghampirinya dan memeluknya erat. Perlahan aku melepaskan pelukanku, kedua tanganku melingkari pinggangnya.
“Kamu kemana saja? Aku merindukanmu.” aku memasang wajah cemberut. Ia melepaskan tanganku dari pinggangnya, setelah itu mengajakku duduk bersama.
“Hanya sehari kita tidak bertemu, tapi kamu bertingkah seakan-akan kita tidak bertemu selama berhari-hari.” jawabnya sambil tertawa kecil. Aku mencubit hidungnya, kemudian aku mulai meneliti wajahnya. Sepertinya ada yang berbeda. Bibirnya pucat tetapi wajahnya lebih pucat meskipun bersinar seperti biasanya.
“Rey… Bagaimana jika aku harus pergi dan tidak bisa kembali lagi?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengerutkan keningku. Pertanyaan macam apa itu?
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi.” jawabku dengan tegas. Rain hanya tersenyum dan menatap ke arah depan.
“Di dunia ini, tidak ada yang bisa menjamin apakah kita bisa terus bertahan atau pergi. Takdir menyimpan banyak rahasia. Jantung yang berdetak tidak menjamin suatu manusia akan hidup selamanya. Aku mencintaimu, Rey. Sampai kapan pun, meski darahku sudah tidak mengalir lagi dan jantungku berhenti berdetak, bahkan di saat ragaku berada di kehidupan lain, cintaku hanya untukmu.” ucapnya lirih. Ada apa dengan gadisku? Sepertinya ada yang ia rahasiakan.
“Ingatlah selalu hari ini, Rey. Hari ini, tanggal 3 Desember, adalah hari terbaik kita.” sambung Rain.
“Apa maksudmu, sayang?” tanyaku dengan bingung.
“Suatu hari nanti kamu akan tahu.” jawabnya pelan.
Ada apa dengan gadisku hari ini? Beribu pertanyaan hinggap di benakku, tetapi kuurungkan niat untuk bertanya. Dia pasti akan menceritakannya nanti.
Kami menghabiskan hari berdua. Rain menjadi lebih pendiam dari biasanya. Sewaktu pulang pun ia tetap menolak untuk diantar. Gadisku memang unik dan aku sangat mencintainya.
Sudah seminggu aku tidak bertemu dengan Rain. Ke mana ia pergi? Aku sudah beberapa kali pergi ke taman pohon maple, namun ia tidak ada. Aku sungguh khawatir padanya. Tidurku pun tidak nyenyak karena seminggu ini aku selalu memimpikan Rain meninggalkanku.
Aku sudah tidak tahan lagi. Seminggu tanpanya sungguh menyiksa. Aku pun memutuskan untuk mencari alamat rumahnya. Aku berada di Jalan Valencia, karena Rain pernah berkata kalau ia dan kakeknya mempunyai toko pai di jalan itu. Aku mulai menyusuri jalan tersebut. Orang-orang berkata bahwa hanya ada satu toko pai di jalan itu. Aku menanyakan arah menuju toko itu kepada orang-orang yang berlalu lalang, hingga akhirnya aku sampai di toko tersebut. Namun toko tersebut sudah rata dengan tanah. Yang tersisa hanyalah abu dan reruntuhan fondasi kayu yang kehitaman. Apa-apaan ini?
Seorang nenek-nenek menghampiriku, tampak keheranan.
“Cari apa, Nak?’ tanyanya.
“Begini, apa ini toko pai satu-satunya di jalan ini, Nek?” tanyaku.
“Ya, ini memang toko pai, tapi sudah terbakar 9 hari yang lalu.” jelasnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tidak mungkin. Pasti ini bukan tokonya.
“Toko ini milik siapa, Nek?”
“Ini toko pai milik seorang gadis yang tinggal dengan kakeknya. Nama gadis itu Rain. Saya pernah membeli pai nya beberapa kali. Rasanya cukup lezat,” jelasnya. “Sungguh disayangkan, dia dan kakeknya menjadi korban dalam kebakaran itu. Mereka tidak bisa menyelamatkan diri karena terjebak kobaran api.”
Bagaikan tersambar petir, tubuhku bergetar, darahku seakan berhenti mengalir. Tidak mungkin, ini pasti hanya mimpi. Tubuhku mulai lemas sampai rasanya aku tidak sanggup berdiri. Keringat dingin mengucur dengan deras.
“Nak, kau tidak apa-apa?” tanya nenek itu khawatir. Ia menggenggam lenganku karena aku hampir terjatuh. Tanpa sadar, aku langsung berlari pergi meninggalkan tempat ini tanpa sepatah kata pun.
Aku langsung pergi ke taman pohon maple, dengan langkah gontai menyusuri deretan pohon-pohon maple. Tujuanku hanya satu pohon maple, di ujung taman tempat aku biasa bertemu Rain, tempat pertamaku bertemu dengannya. Dari kejauhan aku melihatnya, di bawah pohon maple-nya, dengan gaun putih dan senyumannya, melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku pun berlari sekencang-kencangnya, menghampirinya, dan saat aku sampai, aku terjatuh. Namun Rain tidak ada di situ.
“Rain!” teriakku bercampur tangis. “Aku sudah bilang aku tidak akan membiarkanmu pergi. Jangan tinggalkan aku, Rain!”
Aku meninju batang pohon maple dan tersungkur. Darah bercucuran dari punggung tanganku, dan aku terisak semakin keras. Bukan karena tanganku yang sakit, tetapi karena hatiku yang hancur. Kebakaran itu terjadi 9 hari yang lalu, tepat di hari ia menghilang sebelum kami bertemu lagi tanggal 3 Desember. Lalu siapa yang kutemui hari itu? Apa Rain ingin mengucapkan selamat tinggal lewat perkataannya waktu itu?
“Tuhan… Aku ingin gadisku kembali…. Mengapa Engkau memanggilnya secepat ini? Kami baru merasakan indahnya cinta… Mengapa Kau tidak mengizinkan kami bersama hingga rambut kami memutih? Mengapa?!” teriakku.
Aku berlari meninggalkan tempat itu, menghampiri motorku, kemudian melajukannya dengan kecepatan tinggi. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi denganku. Tiba-tiba sorot lampu ada di depanku, diikuti suara klakson mobil dan dentuman yang keras, dan semuanya gelap.
“Tunggu aku, Rain…” ucapku lirih.
Burung-burung berkicau merdu. Semburat jingga menghiasi langit dan semilir angin yang lembut membuat daun-daun maple yang berguguran berterbangan. Terlihat sepasang kekasih dengan pakaian serba putih duduk di bawah rindangnya pohon maple. Mereka tampak bahagia.
“Tuhan memang mempertemukan kita dengan waktu yang singkat, namun menyatukan kita di alam keabadian selamanya.” kata si pria sambil mengecup punggung tangan si gadis.
“Tuhan memang mempunyai banyak cara untuk menyatukan ciptaan-Nya. Percayalah, takdir Tuhan itu indah.” kata si gadis.
“Aku mencintaimu, Apriliya Rain Maple.”
“Aku juga mencintaimu, Dean Reyandra.”
Daun-daun maple berhamburan menemani dua insan yang berbahagia, di alam di mana mereka bisa bersatu selamanya, di alam keabadian.
S E L E S A I
Bagus banget ceritanya