Read More >>"> Aku Bilang, Aku Cinta Dia!
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Aku Bilang, Aku Cinta Dia!
MENU
About Us  

      “Dek, bangun! Naura telpon!” aku merasa ini bukan mimpi. Aku mendengarnya dengan jelas. “Dek! Naura nunggu, nih!” seketika mataku terbuka. Mama sedang menyodorkan ponselku dan menghadapkannya tepat di depan wajahku. Aku menerimanya dengan malas-malasan dan tanpa menyapa orang yang di seberang, ia sudah menghujamiku dengan berbagai pertanyaan sekaligus pernyataan. 


      Jujur saja aku masih belum sepenuhnya sadar, karena bayang-bayang kucing raksasa yang sedang berteriak padaku, memanggilku dengan sebutan ‘Dek’ seperti bagaimana mamaku memanggilku, dan itu yang menjadi alasanku terbangun tadi. Yang ternyata hanya mimpi fantasiku di siang bolong.


      “Kenapa sih, Nau? Aku masih ngantuk,” kuhiraukan segala ocehannya tadi dan berniat memutuskan hubungan telepon.


      “Dari tadi aku ngomong kamu nggak dengerin?” dia cukup meninggikan nada suaranya. Aku hanya menggeleng sebagai balasan. Dan karena hubungan pertemanan kita sudah sangat kuat, sehingga berpengaruh pada telepati pikiran kita–ini kebohongan yang berlebihan, seakan dia tahu jika aku menggeleng, ia meneruskan ucapannya. “Kamu diterima di SMA itu! Aku juga!” 


      “Ya, terus?” aku mengerjap. Aku, diterima, di SMA negeri favorit ibukota. Apa?! 


      “Aku diterima?!” aku berteriak. Tidak percaya. Sungguh. Tidak kusangka.


      “IYA!” Naura menekankan suaranya seakan meyakinkanku bahwa ia tidak berkata bohong. 


      “Aku? Ima? Cewek yang otaknya cuma rata-rata, yang kerjaannya cuma nonton para cowok ganteng  di drama Korea ini?” aku masih tidak yakin karena dari awal tes saja, banyak yang aku tidak bisa jawab soalnya. Bahkan masuk ke SMA ini pun bukan impianku.


      “Well, untuk otak rata-rata aku tidak setuju, tapi untuk sisanya aku katakan, ya,” katanya. Kemudian kita sama-sama dalam diam. Merenung sepertinya. Hingga salah satu dari kami berkata ‘bye’, dan hubungan telepon diputus. 

 

                                ***


      Itu sudah berlalu sekitar satu bulan yang lalu. Sekarang aku sudah duduk di salah satu bangku di SMA yang sudah kutuju. Dengan teman-teman baru dan pastinya pengalaman baru menunggu di depan. 


      Istirahat siang ini aku pergi ke kantin dan menunggu Naura di salah satu bangku kosong di sana karena sejak semalam kami sudah janjian untuk bertemu dan mengobrol. Meski sepertinya, kami melakukan hal ini setiap hari. Ya, setiap harinya. 


      Naura datang lima menit kemudian dengan membawa dua gelas jus buah naga campur jeruk, minuman favorit kami berdua. Lalu perempuan berambut lurus sepundak itu duduk di bangku di hadapanku dan meletakkan satu gelas untukku. 


      “Jadi, hari ini kamu ingin membahas apa?” Naura membuka obrolan sambil menyeruput jusnya.


      “Aku berencana untuk melakukan hal yang mungkin mustahil, jadi aku perlu pendapatmu,” aku menjawab. Kemudian ikut meneguk jusku–tanpa melalui sedotan. 

      Naura mengeluarkan dua batang cokelat dan menyerhakan satu untukku, sambil membalas perkataanku, “jangan bilang kamu berniat masuk kelas percepatan,” dan aku menerima cokelat darinya. Langsung kubuka alumunium foil yang membungkus cokelat itu dan memakan cokelat yang sudah hendak meleleh.

      “Tepat sekali,” kataku singkat. Cukup singkat hingga membuat Naura nyaris tersedak karena cokelatnya yang belum sempat tertelan serta ucapanku yang ternyata mengejutkannya. Ia membelalakkan mata dan mengusap mulutnya yang belepotan cokelat dengan tisu yang ada di meja kantin.

      “Tunggu. Kamu serius?” dia malah bertanya dengan segala rasa tidak kepercayaan. Dan aku mengangguk meyakinkannya sebagai balasan. “Apa alasanmu?”

      “Kamu tahu alasanku, karena kamu juga ada di kelas itu,” aku menggigit cokelatku lagi hingga bersisa setengahnya.

      Naura malah membungkus kembali cokelatnya yang masih termakan satu gigitan dan meletakkannya di atas meja. Menyeruput kembali jusnya dan berkata, “bukannya aku ingin merendahkanmu, atau menurunkan motivasimu. Aku hanya merasa, sebagai teman yang baik, aku harus menghentikan ini,”

      Aku masih tak acuh atas ucapannya. Aku mulai terbiasa dengan kata-kata seperti, ‘teman yang baik’ dan kata ‘harus menghentikan ini’. Jadi aku hanya membalas, “Apa yang harus kamu hentikan? Tentang dia?” Naura mengangguk pasti. “Kalau tidak ada dia, mungkin aku tidak memiliki tujuan hidup, Nau,” aku membela diri.

      “Baiklah, untuk kali ini, entah keberapa kalinya aku tidak jadi menghentikanmu, aku berharap kamu tidak menyesal. Untuk alasan kebaikan masa depanmu dan untuk alasan membanggakan mama juga papa kamu, aku mendukungmu,” Naura tersenyum. Aku pun begitu. Kemudian kami lanjut membicarakan topik lain. 

                                 ***

      Satu minggu setelah obrolan dengan Naura saat itu, tiba waktunya aku mengikuti tes untuk memasuki kelas percepatan. Selain karena ‘dia’ yang sudah diterima di kelas itu, aku juga ingin satu kelas dengan Naura yang sudah masuk duluan di kelas itu. Cukup bukan, alasanku untuk memasuki kelas percepatan?

      Aku menjalani berbagai tes. Dari tes prikologi hingga tes akademik. Aku sudah menyiapkan semuanya sejak beberapa hari yang lalu bahkan sejak aku meminta pendapat Naura mengenai rencanaku. Aku memang bukan perempuan dengan otak cerdas, tapi aku tipe orang yang bisa bekerja keras demi suatu tujuan. Jadi, aku tidak akan menyerah untuk menggapai ‘dia’ meski aku gagal nantinya. 

      Selesai menjalani segala tes, aku harus menunggu hasilnya seminggu lagi. Jika aku lolos, aku akan diwawancarai sebagai tes terakhir. Dan jika aku juga lolos tes wawancara, maka aku bisa bergabung di kelas percepatan! Pasti menyenangkan bisa satu kelas dengannya, berinteraksi setiap hari dengannya bahkan nantinya akan lulus bersama. Ah, aku jadi tidak sabar jika terus membayangkannya seperti ini!
Keluar dari ruang tes akademik, Naura yang sudah menungguku langsung menarikku menuju kelasnya. 

      “Lama banget! Aku udah kebelet pulang nih,” katanya sambil terus menarikku ke kelasnya yang cukup jauh dari mana kita berada tadi. 
Tanpa berkata-kata aku menurut saja. Lagipula, mungkin takdir akan mempertemukan aku dengan sosok ‘dia’ yang ada di kelas Naura dan yang sudah lama kukagumi secara diam-diam. Laki-laki tampan dengan tubuh tinggi dan postur yang proporsional. Bak atlit lah pokoknya! Apalagi pintar! Gimana anak kita nanti, ya? Ah, hapus khayalanmu itu Ima!

      Aku sampai di kelas Naura yang sudah sepi. Atau bisa dibilang memang jarang orang. Muridnya baru dua puluh anak saja, jadi maklum kalau kelasnya sepi. Aku menunggu di dekat pintu sambil melihat-lihat sekeliling dan bersandar pada kusen pintu kelas. 

      “Permisi,” sebuah suara membuatku cepat-cepat menegakkan badan dan bergeser dari pintu. Benar dugaanku, itu ‘dia’!

      “Eh, kamu Dio kan?” aku langsung mengatakannya. Bingung sebenarnya, selain karena kita tidak terlalu mengenal satu sama lain, aku hanya ingin mencegahnya agar tidak langsung pergi. 

      “Iya. Kenapa?” dia menatapku heran setengah cuek. Aku diam karena bingung mau balas apa. Takut kalau obrolan kita berhenti sampai situ saja. “Oh, Ima ‘kan?” lanjutnya. Oh my God! Dia menyebut namaku! Dia tahu aku!

      “Iya,” kataku sambil menahan senyum dan aku terus berdo’a supaya wajahku tidak kelihatan merah padam sekarang. 

      Saat Dio mulai melangkah menjauh, aku menahannya. Bukan, bukan dengan tanganku melainkan dengan ucapanku. “Aku sebentar lagi gabung ke kelasmu,” 
Maafkan aku jika terlalu percaya diri, aku hanya mencoba untuk yakin walau nampaknya aku jadinya tidak bersikap realistis. Tapi, ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak bisa menarik ucapanku sekarang terlebih di hadapan Dio.

      “Oke, aku tunggu. Semoga berhasil,” katanya. Meski dia mengatakannya dengan wajah datar–sangat datar, aku tetap bersyukur bahwa dia mengatakan itu untukku. 

                                  ***

      Satu minggu terlewati lagi dengan cepatnya. Hasil tes sudah keluar dan aku lolos! Aku lolos ke tes selanjutnya! Aku jadi merasa bisa mencium bau kesuksesan di depanku–maaf aku berlebihan, tapi aku masih harus menyelesaikan tes wawancara. Karena aku hanya perlu menjawab dengan lisanku saja, mungkin ini akan lebih mudah dari tes-tes sebelumnya. 

      Langsung saja, pada hari pengumuman itu juga, aku melaksanakan tes wawancara. Satu per satu kami, yang lolos dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling. Aku cukup grogi menhadapi ini, untungnya Naura ada di sampingku untuk memberiku beberapa saran dalam menjawab pertanyaan nanti. 

      Saat namaku dipanggil, aku masuk ke ruangan yang tiba-tiba terasa lebih dingin dari biasanya. Sampai-sampai aku berpikir kalau suhu AC-nya diturunkan. Tapi, bukan waktunya untuk memikirkan hal itu. Aku harus berhasil menjwab pertanyaan yang diajukan.

      “Baiklah, Ima, dilihat dari hasil tes akademik, nilaimu adalah yang paling memuaskan daripada yang lainnya, begitu juga hasil tes psikologimu,” guru BK sekolah ternyata yang mewawancaraiku. “Nah, saya ingin tahu apakah kamu bekerja paruh waktu di luar sekolah?” 

      “Tidak, bu,” aku menjawab dengan mantap. Ah, pertanyaan mudah, aku sepertinya akan lolos.

      “Kalau begitu, apa saja yang kamu lakukan di rumah? Bagaimana rencanamu menghadapi kelas percepatan ini? Kamu pasti tahu kalau kelas ini sedikit berbeda dengan kelas regular,” ibu yang sudah hendak pensiun satu tahun lagi ini melepaskan kaca matanya dan menatapku. 

      “Saya di rumah sebenarnya banyak waktu luang, jadi saya berencana akan menggunakan waktu dengan rajin belajar, pergi ke bimbingan belajar, meningkatkan kualitas belajar saya, dan banyak berlatih,” aku menjawab dengan mantap lagi. 

      “Lalu, apa motivasimu?” ibu itu melipat tangannya di dada. Tiba-tiba aku merasa tekanan udara di ruangan itu mulai merendah. Tidak, aku tiba-tiba merasa pusing.

      “Saya ingin membanggakan kedua orang tua saya dan mengukir prestasi,”
“Selain itu, apa motivasi dalam diri kamu? Apakah ini salah satu dari cita-citamu? Atau kamu hanya ingin saja?” 

      Deg. 

      Aku. Tidak. Tahu.

                                    ***

      Sudah kuduga, aku tidak lolos. Hanya karena tes wawancara itu! Aku tidak tahu alasan kenapa aku tidak diterima. Jadi, aku hanya menangis terus dan terus di rumah dengan Naura yang masih setia menemaniku. 

      Aku menenggelamkan wajahku di kasur empukku. Naura hanya diam duduk di sisi kasur lainnya. Sudah mencoba untuk menenangkanku beberapa kali namun tidak berhasil. Maafkan aku Naura, aku benar-benar kesal sekarang. Dan kecewa. 

      “Nau, kenapa mereka tidak menerimaku? Mereka bilang nilaiku memuaskan, tes prikologiku juga. Lalu apa yang kurang?!” aku mendudukkan diri. Wajahku memerah dan hidungku terus saja mengeluarkan ingus yang harus kuseka dengan tisu. Sudah banyak tisu yang kugunakan. Ah, mungkin aku seperti orang yang putus cinta!

      “Aku sudah katakan sejak awal, kamu perlu berhenti,” Naura berkata dengan nada sehalus mungkin. Dia mencoba untuk tidak menyakiti perasaanku sepertinya.

      “Aku sudah berusaha keras! Sudah tiga tahun lebih aku mencoba mengejarnya! Aku mecoba meraih dia! Tapi kenapa gagal lagi?!” aku berteriak frustasi.

      “Karena ini bukan keinginanmu Ima!” Naura jadi ikut berteriak. Aku tahu dia juga kesal karena kelakuanku. Sekali lagi maafkan aku, Naura.

      “Tapi aku melakukannya atas dasar cinta! Bukankah jika aku melakukan segalanya atas dasar cinta, maka semua akan berjalan dengan baik?!” aku menyangkal. Dadaku serasa sesak. Aku merasa aku tidak bersalah tapi hatiku berkata lain. Ya, aku tidak mau disalahkan.

      “Kalau kamu gagal, artinya itu bukan cinta yang sebenarnya! Kamu hanya dibutakan oleh ketampanan dan segala kesempurnaan Dio! Kamu bahkan nggak sadar kalau itu hanya fanatisme biasa!” sungguh, baru pertama kali ucapan Naura menusuk ulu hatiku. Tapi entah kenapa, aku tidak merasa membenci dia. 

      “Aku cinta dia, Naura!” suaraku tercekat. Air mata menetes lagi dari pelupuk mataku. Satu tetes, dua tetes, dan begitu seterusnya.

      “Kalau begitu cintai dulu Yang Maha Pencipta! Baru kamu bisa mencintai ciptaan-Nya dengan sebenarnya! Baru kamu bisa mencintai dia atas dasar cintamu pada Yang Maha Kuasa!” Naura masih berteriak. Wajahnya merah padam menahan amarah. Melihatnya, membuat air mata semakin deras turun di pipiku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. 

      Aku akui, aku salah!

      “Cari impianmu, raih cita-citamu, barulah nanti kamu buat dia merasa kamu pantas untuknya,” suaranya melembut. Langsung aku menghambur dalam pelukannya. 

      “Terima kasih, Naura.”

 

                                  FIN

Tags: Teenfiction

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gilan(G)ia
466      244     3     
Romance
Membangun perubahan diri, agar menciptakan kenangan indah bersama teman sekelas mungkin bisa membuat Gia melupakan seseorang dari masa lalunya. Namun, ia harus menghadapi Gilang, teman sebangkunya yang terkesan dingin dan antisosial.
AVATAR
7321      2092     17     
Romance
�Kau tahu mengapa aku memanggilmu Avatar? Karena kau memang seperti Avatar, yang tak ada saat dibutuhkan dan selalu datang di waktu yang salah. Waktu dimana aku hampir bisa melupakanmu�
Ghea
433      280     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Breakeven
17862      2255     4     
Romance
Poin 6 Pihak kedua dilarang memiliki perasaan lebih pada pihak pertama, atau dalam bahasa jelasnya menyukai bahkan mencintai pihak pertama. Apabila hal ini terjadi, maka perjanjian ini selesai dan semua perjanjian tidak lagi berlaku. "Cih! Lo kira gue mau jatuh cinta sama cowok kayak lo?" "Who knows?" jawab Galaksi, mengedikkan bahunya. "Gimana kalo malah lo duluan ...
Melody untuk Galang
480      290     5     
Romance
Sebagai penyanyi muda yang baru mau naik daun, sebuah gosip negatif justru akan merugikan Galang. Bentuk-bentuk kerja sama bisa terancam batal dan agensi Galang terancam ganti rugi. Belum apa-apa sudah merugi, kan gawat! Suatu hari, Galang punya jadwal syuting di Gili Trawangan yang kemudian mempertemukannya dengan Melody Fajar. Tidak seperti perempuan lain yang meleleh dengan lirikan mata Gal...
Fairytale Love
545      380     4     
Short Story
Peri? Kata orang cuma ada didongeng. Tapi bagi Daffa peri ada di dunia nyata. Selain itu, peri ini juga mempunyai hati yang sangat baik.
Chrisola
771      485     3     
Romance
Ola dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia, warga sekolah sudah dibuat geger duluan. Pasalnya, ia berhasil menyingkirkan seorang Etma. "Semua karena Papa!" Ola mencuci tangannya lalu membasuh...
Dream
576      414     5     
Short Story
1 mimpi dialami oleh 2 orang yang berbeda? Kalau mereka dipertemukan bagaimana ya?
WEIRD MATE
1414      677     10     
Romance
Syifa dan Rezeqi dipertemukan dalam kejadian konyol yang tak terduga. Sedari awal Rezeqi membenci Syifa, begitupun sebaliknya. Namun suatu waktu, Syifa menarik ikrarnya, karena tingkah konyolnya mulai menunjukkan perasaannya. Ada rahasia yang tersimpan rapat di antara mereka. Mulai dari pengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), pengguna narkoba yang tidak diacuhkan sampai kebencian aneh pa...
Deepest
943      561     0     
Romance
Jika Ririn adalah orang yang santai di kelasnya, maka Ravin adalah sebaliknya. Ririn hanya mengikuti eskul jurnalistik sedangkan Ravin adalah kapten futsal. Ravin dan Ririn bertemu disaat yang tak terduga. Dimana pertemuan pertama itu Ravin mengetahui sesuatu yang membuat hatinya meringis.