Beberapa hari setelah percakapan itu, aku dan Reyhan masih tetap dekat. Tapi… sesuatu berubah. Bukan karena kami bertengkar. Bukan karena Reyhan menjauh. Tapi karena aku mulai menjauh diam-diam.
Bukan karena aku tak suka padanya. Justru karena aku suka… terlalu dalam.
Dan aku takut.
Hubungan ini—apa pun namanya—sudah terlalu membuatku bergantung. Aku menunggu pesannya setiap malam. Aku menanti tatapannya setiap pagi. Dan ketika itu semua tidak aku dapatkan, rasanya seperti sesuatu hilang dari diriku.
Aku tahu, aku belum pernah menyatakan apa pun padanya. Aku juga tidak pernah meminta kepastian. Tapi hati ini seperti terlanjur memberi seluruh ruang untuk dia singgahi.
Dan malam itu, aku memutuskan untuk sedikit mengambil jarak. Bukan untuk pergi. Tapi untuk memastikan… aku masih bisa berdiri sendiri, tanpa terlalu menggantungkan diri pada Reyhan.
Hari berikutnya aku sengaja datang lebih siang ke sekolah. Tidak lagi menunggu di gerbang, seperti biasanya. Aku pun memilih duduk di bangku yang agak jauh dari tempat biasa kami berbagi tawa. Aku butuh ruang.
Tapi tentu saja, Reyhan menyadarinya.
Saat jam istirahat, dia menghampiriku. Tidak langsung duduk. Hanya berdiri di samping meja, memandangi aku yang pura-pura sibuk membaca catatan.
“Kamu kenapa?” tanyanya, datar. Tapi suaranya terdengar cemas.
Aku mengangkat kepala sebentar, lalu tersenyum seadanya. “Enggak kenapa-napa, kok.”
Dia menarik napas pelan. “Alya, aku tahu kamu. Kamu nggak akan sejauh ini kalau kamu nggak ngerasain sesuatu.”
Aku menutup bukuku pelan. Menatapnya. Tatapannya tak berubah. Tetap seperti Reyhan yang aku kenal—tulus, perhatian… dan terlalu baik untuk aku cuekin.
“Rey… aku cuma lagi butuh waktu.”
“Untuk apa?” dia bertanya. Kali ini suaranya sedikit terdengar… kecewa.
“Untuk ngatur ulang hati sendiri. Aku takut terlalu berharap.”
Dia terdiam. Lama.
Lalu dia duduk di kursi sebelahku. Posisi yang biasanya membuat aku tenang, sekarang justru membuatku ingin lari.
“Alya…” katanya pelan, “Kamu tahu aku nggak pernah main-main sama kamu, kan?”
Aku mengangguk, pelan. “Aku tahu.”
“Tapi kamu juga tahu aku belum bisa kasih janji apa-apa…”
Aku mengangguk lagi. “Itu juga yang bikin aku mulai jaga jarak.”
Kami terdiam. Sunyi. Tapi dalam.
“Kalau nanti aku siap…” katanya lagi, ragu-ragu, “apa kamu masih di situ?”
Aku menunduk. Jantungku berat. Tapi aku jawab, pelan,
“Aku nggak tahu, Rey. Tapi aku berusaha nggak pergi jauh.”
Sejak hari itu, suasana kami berubah. Masih saling menyapa, tapi tak sesering dulu. Masih saling senyum, tapi tak seluas dulu. Masih saling peduli… tapi dalam diam.
Aku tahu dia berusaha tetap ada. Tapi dia juga tahu, aku sedang menyusun ulang hatiku.
Kadang aku melihatnya menoleh ke arahku, seperti ingin bicara. Tapi urung. Kadang aku pun ingin menyapanya lebih dulu. Tapi urung.
Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi terlalu takut jika akhirnya membuat kami semakin jauh.
Dan saat malam datang, aku merindukan semua obrolan kecil kami. Tapi aku bertahan. Aku harus belajar tidak bergantung sepenuhnya. Karena aku sadar, cinta yang tidak punya nama bisa membuat seseorang tersesat terlalu dalam.
Suatu hari, saat istirahat, aku mendengar teman-teman sekelas membicarakan Reyhan. Katanya dia mulai ikut latihan futsal lagi. Aku terkejut. Dia tak pernah cerita.
Biasanya, hal sekecil apa pun dia bagikan padaku.
Aku tahu, ini bukan salah siapa-siapa. Aku yang menarik diri. Aku yang memutuskan untuk menjaga jarak.
Tapi melihat kenyataan bahwa dia mulai menjalani hari-harinya tanpaku… tetap menyakitkan.
Sorenya, aku duduk sendirian di taman belakang sekolah. Tempat kami dulu pernah duduk bareng. Memandang langit yang mulai jingga, seperti senja yang pelan-pelan meredup.
Aku mengambil buku kecil dari tasku. Catatan harian. Aku mulai menulis:
“Aku rindu. Tapi aku juga takut.
Aku ingin bersamamu, tapi aku juga ingin memastikan diriku utuh.
Kadang, mencintai diam-diam lebih sulit daripada kehilangan secara terang-terangan.
Karena saat kamu pergi nanti… aku tak bisa bilang: kamu pernah jadi milikku.”
Tetes air mata jatuh, membasahi pojok kertas. Aku cepat-cepat menyekanya.
Lalu terdengar suara langkah. Pelan, tapi familiar.
“Alya?”
Aku mendongak. Reyhan.
Dia berdiri di depan bangku taman, memandangi wajahku yang jelas-jelas sembab.
“Kamu nangis?”
Aku menggeleng cepat. “Nggak, kok.”
Dia mendekat, lalu duduk di sampingku. Tak bicara. Hanya diam, menunggu aku tenang.
“Aku cuma capek,” kataku akhirnya.
Reyhan menatapku dalam-dalam. “Aku juga, Alya. Capek karena kita jadi kayak gini.”
Aku menarik napas panjang. “Rey… aku nggak pernah nyalahin kamu. Aku cuma belum siap untuk terlalu berharap.”
Dia mengangguk. “Aku ngerti. Tapi tolong satu hal…”
“Apa?”
“Kalau kamu sedih… bilang. Jangan pura-pura nggak apa-apa. Karena aku bukan cuma temen ngobrol kamu waktu senang. Aku juga pengen jadi orang yang dengerin kamu waktu kamu rapuh.”
Air mataku jatuh lagi. Kali ini aku tidak menyembunyikannya.
Dan Reyhan? Dia tidak bilang apa-apa lagi. Hanya diam. Menemani.
Tapi dari diam itu, aku tahu: tidak semua orang bertahan saat kita butuh waktu. Tapi Reyhan… dia memilih tinggal, bahkan saat aku menarik diri.
Mungkin cinta itu bukan tentang siapa yang duluan menyatakan. Tapi siapa yang tetap ada, bahkan saat kita lagi terpuruknya