Setelah sapaan pertama Reyhan yang tiba-tiba itu, sesuatu dalam diriku berubah perlahan. Aku mulai menunggu-nunggu momen saat aku akan bertemu dengannya di sekolah, walau aku masih tetap menjaga jarak. Aku memang cewek yang suka jual mahal, tapi sebenarnya aku diam-diam menikmati setiap perhatian kecil yang dia berikan.
Hari-hari di sekolah terasa berbeda. Lorong yang dulu hanya sekadar tempat untuk melewati waktu, kini jadi saksi bisu pertemuan-pertemuan singkat kami. Terkadang hanya saling bertatapan dari kejauhan, terkadang bertukar senyum malu, atau sekadar mengangguk saat bertemu.
Suatu pagi, saat aku sedang sibuk menulis catatan di bangku belakang, aku merasakan kehadirannya duduk di sebelahku. Jantungku langsung berdetak cepat, aku berusaha tetap fokus pada buku, tapi mataku tak bisa menahan untuk terus mencuri pandang ke arah Reyhan.
Dia tersenyum kecil dan berkata, “Kamu serius banget, Alya.”
Aku mengangkat alis dan menimpali, “Serius itu penting.”
“Kalau terlalu serius nanti pusing,” jawabnya santai.
Aku tertawa kecil, merasa ada kehangatan yang mengalir dari kehadirannya. Perasaan malu dan senang bercampur jadi satu, membuat aku sulit berkonsentrasi.
Di sela-sela jam pelajaran, kami mulai berbagi cerita lebih banyak. Aku cerita tentang toko kecil yang aku bantu setiap hari, tentang ibu yang selalu memberi semangat, dan tentang harapan sederhana yang aku simpan.
Reyhan mendengarkan dengan penuh perhatian. Kadang dia bertanya, kadang dia memberikan saran yang membuat aku merasa dihargai.
Aku mulai merasakan bahwa dia bukan hanya teman sekelas biasa. Ada ketulusan dan perhatian yang membuat aku merasa nyaman.
Suatu hari, saat kami berada di kantin, aku melihat Reyhan sedang makan dengan cara yang agak kikuk. Aku tersenyum sendiri mengamati tingkahnya.
“Kenapa kamu makan seperti itu?” tanyaku, menyindir ringan.
Dia tertawa, “Aku belum terbiasa bawa bekal. Biasanya beli di luar.”
Aku tiba-tiba merasa ingin membantu. “Kalau begitu, nanti aku bawain kamu bekal ya, biar nggak bingung.”
Dia menatapku, matanya berbinar. “Serius?”
Aku mengangguk. “Iya, tapi jangan sering-sering ya, nanti kamu jadi manja.”
Kami tertawa bersama, dan saat itu aku merasakan kedekatan kami makin erat.
Hari-hari kami semakin sering dihabiskan bersama, baik di sekolah maupun di luar. Kadang kami belajar bersama di perpustakaan, kadang sekadar duduk di taman sekolah sambil mengobrol tentang hal-hal ringan.
Momen-momen itu membuat aku merasa bahwa aku bukan hanya sekadar gadis biasa yang sibuk dengan toko dan sekolah. Aku merasa seperti memiliki seseorang yang mengerti dan peduli.
Tapi aku tetap saja kadang merasa malu dan salah tingkah setiap kali Reyhan menatapku atau menyapa dengan senyum yang hangat.
Suatu sore, saat kami berjalan pulang bersama, langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan. Angin berhembus lembut, mengusik rambut kami.
Aku melihat Reyhan menatap ke depan, tapi aku tahu dia sadar aku juga menatapnya.
Dengan suara pelan, dia berkata, “Kamu tahu, aku senang bisa jalan sama kamu.”
Aku menunduk, merasa pipiku memanas. “Aku juga.”
Diam-diam, aku berharap agar waktu bisa berhenti di saat itu. Agar aku bisa terus merasakan kehangatan ini, tanpa harus memikirkan apa yang akan terjadi nanti.
Kami berjalan perlahan, langkah kami seolah selaras dengan irama hati yang mulai berdetak bersama.
Di balik semua canda dan tawa, aku tahu bahwa ini bukan hanya sekadar pertemanan biasa. Ada sesuatu yang tumbuh di antara kami, sesuatu yang indah dan membuat aku ingin melangkah lebih jauh.
Namun, aku juga sadar bahwa aku harus tetap hati-hati. Aku tak ingin terlalu cepat membuka hati, karena aku tahu perjalanan kami masih panjang dan penuh tantangan.
Tapi untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati momen ini. Momen di mana aku merasa hidup dan dicintai, walau hanya dalam hal-hal kecil yang sederhana.
Aku tersenyum sendiri, berharap Reyhan juga merasakan hal yang sama.