Hari berikutnya, Ardan merasa sedikit aneh. Biasanya, hari Senin adalah hari yang paling malas baginya, penuh dengan pekerjaan yang menumpuk. Namun, setelah pertemuan kemarin di workshop kerajinan tangan, suasana hatinya sedikit berbeda. Entah kenapa, ia merasa lebih ringan.
Pagi itu, dia memutuskan untuk berjalan kaki ke kafe kecil yang selalu dia kunjungi setiap pagi sebelum berangkat kerja. Hari ini, suasana kota terasa lebih cerah. Mungkin karena matahari yang lebih cerah atau mungkin karena kenangan tentang seorang gadis bernama Raya yang tidak sengaja menabraknya kemarin.
Ardan duduk di meja dekat jendela, memesan kopi hitam dengan secangkir croissant—menu standar yang selalu dia pilih jika ingin memulai hari dengan tenang. Tapi, tenang atau tidak, pikirannya justru teringat pada percakapan mereka di workshop kemarin.
"Dia benar-benar unik," gumam Ardan. "Nggak seperti gadis-gadis yang biasa gue kenal."
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka, dan Ardan melihat seorang gadis dengan rambut panjang berwarna coklat gelap masuk, mengenakan jaket kasual dan jeans yang sedikit longgar. Itu adalah Raya. Dia melangkah ke arah meja yang tidak jauh dari Ardan dan segera duduk.
Tanpa sengaja, Ardan melihat ke arahnya, dan mereka saling bertatapan sejenak. Raya tersenyum.
“Lagi ngapain lo di sini, Ardan?” sapa Raya dengan suara ceria, seolah tidak ada jarak antara mereka.
Ardan terkejut karena tidak menyangka akan bertemu lagi, namun dia merasa sedikit lega melihat wajah yang familiar itu.
“Ah, gue juga nggak tahu. Pagi ini gue bangun dengan perasaan yang agak aneh,” jawab Ardan sambil menepuk-nepuk cangkir kopinya. “Tapi mungkin gue butuh kafe ini untuk lebih tenang. Dan lo?” dia bertanya sambil mencoba menahan rasa canggung.
Raya tertawa kecil. "Gue cuma lewat aja, dan kebetulan pengen mampir. Gue pikir, kenapa nggak ke tempat yang lebih santai?"
“Lo nggak kerja pagi ini?” tanya Ardan, sedikit terkejut karena Raya tampaknya selalu tampak bebas dari segala kekhawatiran.
“Kerja? Pekerjaan gue adalah seni. Gue selalu ‘kerja’ kalau gue lagi di studio, tapi bukan berarti gue harus selalu ngikutin jam kantor, kan?” Raya menjelaskan dengan nada yang santai. "Gue lebih suka hidup sesuai mood aja."
“Gue nggak pernah bisa kayak gitu,” Ardan mengangkat bahu, seolah mengisyaratkan betapa seriusnya dirinya dengan rutinitasnya. “Kalau gue nggak ikut jadwal, hidup gue bisa berantakan.”
“Gue rasa, terkadang sedikit ‘berantakan’ itu yang justru bikin hidup lebih menarik,” Raya berkata sambil tersenyum misterius.
Tiba-tiba Ardan merasa sedikit tertantang. Mungkin dia memang perlu sedikit 'berantakan' untuk merasakan kebebasan. Tapi, kebebasan macam apa yang bisa dia ambil dari percakapan yang terjadi antara mereka? Ardan memutuskan untuk mengikuti alurnya saja.
“Mungkin lo benar,” jawab Ardan, sedikit tersenyum. “Mungkin gue harus keluar dari zona nyaman gue, seperti ikut workshop kemarin itu.”
Raya menatapnya dengan penuh perhatian. “Lo nggak percaya diri, ya, Ardan?”
Ardan terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia menatap Raya, mencoba membaca ekspresi wajahnya yang serius.
“Gue rasa, kadang gue terlalu terjebak dalam rutinitas. Tapi, ya, gue coba untuk lebih terbuka.”
Raya tersenyum lebar. "Itu bagus, Ardan. Lo nggak akan tahu kalau nggak mencoba. Dunia ini lebih besar daripada apa yang ada di depan mata."
Ardan mendengarnya dengan serius, meskipun dia masih merasa sedikit bingung dengan sikap Raya yang terlalu santai. Tetapi, ada sesuatu dalam kata-kata Raya yang terasa begitu menenangkan.
Mereka pun berbicara lebih banyak lagi, tentang hal-hal sederhana yang ternyata mengungkap banyak tentang masing-masing diri mereka. Raya, yang begitu menikmati setiap momen tanpa beban, dan Ardan, yang baru pertama kali merasa nyaman berbicara tentang hal-hal yang jauh dari pekerjaan dan rutinitasnya.
Sebelum mereka berpisah, Raya memberikan tawaran yang tidak bisa ditolak.
"Eh, Ardan, lo mau nggak ikut gue ke acara seni minggu depan? Itu bakal seru, lo bakal lihat banyak hal yang lo nggak pernah bayangin sebelumnya."
Ardan memandang Raya, sedikit ragu. “Gue? Ikut acara seni? Gue nggak tahu kalau gue bakal menikmati itu.”
“Coba aja dulu, siapa tahu lo jadi suka,” jawab Raya, penuh percaya diri.
“Gue nggak jago seni, lo tahu,” jawab Ardan setengah bercanda.
Raya tertawa. “Gue tahu kok, lo bakal terkejut. Gue percaya lo bisa menikmati hal-hal yang nggak lo duga. Lo cuma harus mau mencoba.”
Ardan menghela napas, berpikir sejenak. Akhirnya dia mengangguk. “Oke, gue ikut. Kalau itu bisa bikin gue sedikit lebih berwarna, gue coba deh.”
Setelah perbincangan yang menyenangkan, mereka berdua berpisah dengan senyuman. Ardan merasa, mungkin untuk pertama kalinya, dia akan mencoba sesuatu yang benar-benar baru. Bukan karena dia harus, tetapi karena dia ingin.