“Aku mau mati sebagai climber!”
“Lekas turun dari situ! Lo sudah gila ya?!”
“Jangan halangi aku! Mending aku mati sebagai climber!”
“Tidak! Jangaaan ....!”
Suara alarm berbunyi, seorang pria muda terbangun dari mimpi buruk. Sepi dan gelap. Alarm pada ponselnya sudah biasa distel untuk berbunyi pada jam 05:00, maksudnya supaya dia ingat menunaikan shalat shubuh.
“Marco, matikan atuh alarmnya … berisik.” ujar rekannya yang tidur bersama dalam tenda.
Pria muda bernama Marco itu merangkak ke luar dari tenda sembari membawa ponselnya. Marco dan rekan-rekannya baru saja beristirahat pada jam dua dini hari, setelah semalam bikin acara jurit malam dan api unggun untuk para anggota yunior dari organisasi pencinta alam kampusnya.
Acara jurit malam itu tidak sulit, tidak ada unsur kekerasan. Peserta disuruh berjalan sendiri-sendiri dari satu tempat, melewati beberapa pos, hingga finish di camping ground. Namun karena sudah malam, gelap, beberapa peserta ketakutan saat berjalan sendiri. Ujung-ujungnya harus dijemput sama senior.
Saat ini mereka berada di kawasan karst Citatah, Kabupaten Bandung Barat. Marco bersama rombongan datang ke situ sejak kemarin siang untuk pelatihan panjat tebing bagi anggota yunior. Latihan usai saat hari mulai gelap, dan mereka bermalam di situ.
Hari masih gelap. Marco masih mengantuk, namun dia enggan masuk tenda lagi karena berdesakan. Di dalam tenda itu ada empat orang laki-laki yang sedang menggeletak, anggota senior dan yuniornya. Marco duduk di luar tenda, dan mulai melihat media sosial pada ponselnya. Dia membuka akun seorang mahasiswi yang saling follow dengannya. Marco tersenyum tipis saat melihat unggahan mahasiswi itu, sedang praktik mengajar di sebuah sekolah yang cukup jauh dari kampus.
“Ibu guru Maryam.” Hanya itu komentar yang diketik Marco, lantas diberi emoticon love.
Saat sudah terang, Marco dan rekan-rekannya membereskan bekas camping, mengemasi sampah bekas makanan, memastikan tidak ada bara sisa pembakaran dan puntung rokok yang masih menyala. Komandan organisasi pencinta alam yang memimpin rombongan itu bernama Raymond, dia mengabsen para peserta pelatihan, yaitu 17 orang anggota yunior.
Tidak semua anggota yunior itu punya cukup nyali untuk memanjat tebing sungguhan, tapi para senior yang jadi instruktur tidak memaksa. Yang berani saja yang berlatih climbing, yang kurang nyali dilatih tali temali. Karena climbing juga butuh keahlian dalam hal membuat simpul pada tambang. Simpul yang salah pada sambungan tambang, akan membuat sambungan mudah lepas, dan bisa berakibat fatal jika dalam situasi pemanjatan di tebing sungguhan. Latihan akan diulang dua minggu mendatang di tempat yang sama, yaitu tebing 125.
Tebing 125 adalah tebing setinggi 125 meter yang punya beberapa tingkat kesulitan, ada bagian tebing yang mudah dipanjat, ada yang sulit, ada pula yang sangat sulit. Tebing 125 cocok buat pemanjat pemula yang ingin mulai berlatih di tebing alam. Tebing itu juga cukup sesuai dengan kebutuhan pemanjat expert yang mau berlatih.
Setelah acara mengabsen, Raymond membubarkan barisan. Dia tidak mengabsen nama Marco. Padahal Marco adalah salah seorang instruktur pelatihan panjat tebing itu.
Cepi, salah seorang pemanjat senior, berbisik pada Marco. “Lo kagak diabsen, mungkin lo cuma dianggap laler yang ngikutin acara ini.”
Marco tentu saja geram dengan sikap Raymond, tapi dia tidak protes. Dia sudah tahu kenapa Raymond bersikap begitu terhadap dirinya. Marco tahu jika Raymond tidak suka padanya, dan tidak pernah berusaha menutupi ketidaksukaan itu.
Marco menggendong ransel di punggung, berjalan beriringan dengan rombongan untuk meninggalkan Citatah. Mereka melewati dinding-dinding batu gamping, berpapasan dengan para pekerja yang hendak menambang batu kapur. Para penambang batu tradisional, yang harus bersaing dengan mesin-mesin besar milik pabrik pengolahan marmer, untuk berlomba mengeruk dinding karst Citatah setiap harinya. Marco berpikir, suatu saat karst Citatah akan habis digerus, dan hilanglah tebing-tebing panjatan yang jadi kebanggaan para Climber Bandung.
Akhirnya mereka tiba di jalan raya. Raymond mengambil mobil jeep miliknya yang sejak kemarin pagi dititipkan di sebuah bengkel. Beberapa orang anggota Adventure yang perempuan turut dengan Raymond. Sisanya naik mobil yang dibawa rekannya, ada juga yang boncengan motor. Semua pulang bersama, kecuali Marco dan Cepi yang masih duduk di sebuah warung, sedang makan ketan bakar yang dicocol ke serundeng.
“Bang Marco, Bang Cepi, kita duluan ya.” Pamit beberapa anggota junior. Mereka masih menghargai Marco sebagai mantan komandan UKM pencinta alam.
“Hati-hati di jalan.” Marco dan Cepi mengangkat tangan, membalas ucapan pamit mereka.
Setelah rombongan itu pergi, Marco bicara. “Gue mimpi lagi .... ketemu Tonny ... dia terus saja bilang ... aku mau mati sebagai climber.”
Cepi menjawab lirih, “Jangan dipikirin terus. Semua sudah berakhir, Bro. Nggak ada lagi yang bisa lo perbuat untuk Tonny.”
Marco bertanya dalam hati, Kapan ya, pertama kali datangnya mimpi itu? Mimpi buruk tentang sebuah pemanjatan di tebing, bersama seorang rekan bernama Tonny. Dalam mimpinya, Tonny sesumbar, “Aku mau mati sebagai climber!”
Dulu ... sekitar tiga tahun lalu mimpi buruk itu berawal, tapi kemudian Marco merasa semua bakal pulih seperti sedia kala, termasuk hatinya. Namun sekarang, setelah bertahun lewat, mimpi buruk itu datang lagi. Marco merasa, mimpi itu datang karena ada kaitannya dengan seseorang yang masuk dalam organisasi pencinta alam kampus. Tepatnya, seorang mahasiswi, adik kelasnya, yang masuk menjadi anggota Adventure setahun lalu. Gadis itu bernama Silvi. Sejak Silvi masuk ke organisasi Adventure, Marco kembali mengalami mimpi buruk. Padahal Silvi tidak melakukan apapun terhadap dirinya, bahkan gadis itu juga tidak berminat ikut latihan panjat tebing. Silvi memilih masuk ke UKM Adventure, namun jarang ikut kegiatan di alam bebas. Hanya saja sosok Silvi telah membuat Marco teringat pada masa lalu ... yang menyedihkan.
Cepi menyeruput kopinya. “Lo merasa terancam sama mimpi buruk itu?”
“Nggak. Tapi kayaknya lo yang kudu merasa terancam ….”
“Gue terancam sama apa?” Cepi menatap Marco dengan heran.
“Ternyata anak-anak FKIP sudah praktik mengajar. Kok, lo belum?”
“Ya begitulah … gue sama dengan lo, keteteran kuliah karena selama ini memprioritaskan naik gunung dan manjat tebing.”
“Sekarang teman-teman sekelas lo lagi praktik mengajar, sebentar lagi mereka bakal bikin skripsi, lanjut sidang. Kalau mereka sudah lulus duluan, lo nggak ada lagi kawan seangkatan di FKIP, gimana entar? Masih semangat buat menuntaskan kuliah?”
“Gue mah bakal menuntaskan kuliah walau mungkin telat. Lo mungkin yang kehilangan semangat kuliah, kalau nanti … tiba-tiba saja melihat Maryam sudah pake toga, sedangkan lo masih belum kelar.” Cepi tergelak.
Marco tak menjawab, dia menyeruput kopinya.
Kedua pria muda itu membayar makanan, lantas menggendong ransel masing-masing. Marco dan Cepi berboncengan naik motor, pulang ke Kota Bandung.