Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Marco tiba di rumahnya yang besar, tapi senyap. Cuma ada satpam, tukang kebun, dan pembantu rumah tangga. Papanya sibuk bekerja. Apalagi setahun belakangan ini papanya masuk partai, makin banyak saja kegiatannya. Mamanya juga sibuk mengurus bisnis fashion, dan aktif di organisasi sosial.

Marco adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua kakaknya sudah menikah dan tinggal di rumah mereka masing-masing. Adiknya kuliah di luar negeri. Marco lebih sering sendirian di rumah, dan rasanya tak ada yang bisa menahannya untuk berlama-lama di rumah nan sepi. Seperti hari itu, Marco hanya mampir sebentar buat menyimpan ransel, membongkar pakaian kotor, mandi, ganti pakaian. Lantas dia makan masakan pembantunya. Lalu memasukkan beberapa buku ke ransel yang khusus buat kuliah. Marco bersiap pergi lagi.

“Den, sudah mau pergi lagi?” tanya satpam di depan rumahnya.

“Males di rumah, nggak ada siapa-siapa  yang bikin betah.” jawab Marco.

“Cepetan nikah aja, Den, nanti juga betah di rumah.”

“Ide bagus, Kang.” Marco tersenyum lebar.

“Den, katanya nanti sore ibu sama bapak mau pulang. Kalau nanti Den Marco belum pulang, saya jawab apa?”

“Bilangin aja, saya lagi cari jodoh.” Lantas Marco memasang helm, menstarter motor, dan melaju meninggalkan rumahnya.

Marco menuju kampusnya. Di hari Senin itu tentu saja kampus ramai oleh mahasiswa dan dosen. Setelah parkir motor, Marco menuju homebase pencinta alam untuk menyimpan helm, dan duduk menunggu. Marco ada kuliahpada pukul dua siang.

Marco memandangi beberapa piala yang tersimpan dalam lemari. Semua piala berasal dari kompetisi panjat tebing. Beberapa di antara piala itu diraih oleh Marco. Teringat tahun-tahun yang telah lewat, bagaimana dirinya berjuang supaya organisasi pencinta alam bisa tetap eksis di kampusnya. Aktivitasnya sebagai komandan organisasi pencinta alam kampus sangat menyita waktu, hingga dia keteteran dalam kuliah. Nilai ujiannya jeblok untuk beberapa mata kuliah, sehingga dia harus mengulang. Sekarang Marco menuai akibatnya, saat mahasiswa seangkatannya di FE mulai mengerjakan tugas akhir, berupa magang kerja di perusahaan ataupun instansi pemerintah, dirinya masih harus ikut kuliah bareng adik kelasnya. 

Hubungan organisasi Adventure dengan UKM lain di kampus itu cukup baik. Mereka tidak pelit saat para aktivis dakwah kampus pinjam homebase untuk memasak, dengan suka rela para anggota Adventure tidak memasuki markasnya selama hari peminjaman itu. Dari urusan peminjaman homebase itulah, Marco mengenal Maryam.

Mulanya Marco biasa saja jika melihat “rombongan tagoni” yang beredar di kampusnya. Dia tidak tertarik, tapi juga tidak antipati. Rombongan tagoni itu istilah dari beberapa "oknum" untuk menyebut sekelompok mahasiswi aktivis masjid kampus, yang biasa disebut akhwat, mereka bergamis panjang dan longgar, berhijab lebar, dan warna busananya lebih sering gelap. Btw, Marco adalah salah satu oknum yang diam-diam menyebut para akhwat itu dengan julukan “rombongan tagoni”.   

Suatu kali Marco datang pagi-pagi ke kampus, memasuki homebase yang masih sepi. Seperti biasa dia menaruh helmnya di atas lemari. Kemudian dia masuk ke ruang kuliah. Kelar kuliah, dia baru teringat bahwa hari itu homebase akan dipinjam oleh aktivis masjid kampus, buat tempat memasak. Karena butuh helm itu, Marco masuk ke dalam homebase. Dia terhenyak melihat homebase telah dipenuhi oleh “rombongan tagoni”, ada sekitar 20 orang akhwat yang semuanya sibuk memasak dan menyiapkan hidangan.

“Permisi Ukhti, mau ambil helm dulu.”

“Silakan Bang.” Beberapa orang akhwat menepi, memberi jalan pada Marco.

Di dekat lemari, ada meja, dan tampah berisi tumpeng besar terletak di atas meja. Seorang akhwat sedang menghias tumpeng itu. Saking asyiknya, dia tidak melihat ataupun mendengar suara Marco.

“Hiasan tumpengnya kayak gini sudah cukup kan, Say?” Akhwat itu bicara tanpa menoleh, mengira orang yang berdiri di belakangnya adalah rekannya sesama akhwat.

“Sudah cukup bagus, Say.” jawab Marco.

Akhwat itu terkejut mendengar suara lelaki, dia menoleh ke asal suara. Marco sudah berada dekat lemari, jaraknya dengan akhwat itu tidak sampai satu meter. Dari jarak sedekat itu, Marco bisa memperkirakan tinggi badan akhwat itu, sekitar 165 cm, cukup jangkung untuk ukuran wanita Indonesia. Wajahnya yang terkejut dan canggung, terlihat lucu, dan sweet. Gadis itu memepetkan tubuhnya ke dinding saat Marco berdiri di dekatnya untuk meraih helm di atas lemari.

“Sudah, silakan dilanjutkan.” Marco tersenyum ke arah gadis itu.

Gadis itu menundukkan wajah. Marco berjalan beberapa langkah sembari menenteng helm, berpikir bahwa sekarang homebase sedang dikuasai oleh rombongan tagoni.

Benaknya berucap, Ini kan, markas gue. Kenapa juga gue malah kayak tamu di sini?

kemudian dia menoleh lagi, dan mendapati gadis yang barusan sibuk menghias tumpeng itu sedang memandang ke arahnya.

Marco merasa harus mengingatkan pada para akhwat itu, tentang siapa sebenarnya pemilik homebase.

Marco bicara, “Ukhti, kalau sudah selesai masak, tolong bersihkan lagi homebase ini. Jangan berantakan dan kotor!”

Itulah awal perkenalan Marco dengan Maryam.

***

Gadis itu punya nama lengkap Maryam Nur Asyifa, penampilannya sederhana, pakaian dan jilbabnya dari bahan yang murah. Wajahnya polos tanpa make up. Namun di balik kesederhanaan itu, Maryam tetap terlihat cantik, dengan kulit kuning langsat, saat tersenyum ada lekuk mungil di pipinya, giginya rapi dan bersih, matanya bulat bening. Tubuhnya tinggi semampai.    

            “Bagaimana rasanya jika kamu jatuh cinta sama seseorang, tapi seseorang itu sulit digapai? Orang itu bukan selebritis, bukan pejabat, bukan pula suami wanita lain. Seseorang itu mahasiswa juga di kampusku, sama seperti aku yang juga mahasiswa di Universitas Taruma Bandung. Cuma bedanya, aku anak sopir angkot, dia anak pengusaha kaya raya. Ya sudah jelas, rasa cintaku ini nggak tau diri.”

Begitulah yang ditulis Maryam, di notesnya, saat hatinya resah, sulit tidur padahal sudah hampir tengah malam. Maryam sedang berada di sebuah kawasan yang cukup jauh dari kampusnya dan juga rumah kosnya. Kampusnya di Kota Bandung, sedangkan saat ini Maryam ada di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Maryam berada di kawasan itu dalam rangka memulai praktik mengajar di sebuah SMP, untuk merampungkan salah satu tugas akhir kuliahnya.

Sudah beberapa hari Maryam dan dua rekannya berada di Cicalengka, untuk praktik mengajar selama sebulan pada sebuah SMP. Kepala sekolah sudah mengizinkan, dan menempatkan ketiga orang mahasiswi itu di rumahnya, kebetulan ada kamar kosong. Rumah kepala sekolah itu memang sudah biasa ditempati oleh mahasiswa yang praktik mengajar atau KKN di daerah itu. Tentu saja ada biaya menginap yang harus dibayarkan oleh para mahasiswa itu.

Maryam adalah mahasiswa FKIP jurusan MIPA. Sejak sore dia sudah mempersiapkan bahan untuk mengajar besok, semua sudah bolak-balik diperiksanya, rasanya tidak ada yang kurang.

“Yah, memang ada yang kurang. Karena sekarang aku jauh dari kampus, jadi nggak ada Marco di sini.” Kembali benak Maryam mengembara pada sosok seorang lelaki muda di kampusnya, Marco Radea Wiratama.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags