Sudah sebulan sejak Reina tinggal di Rumah Ayah-nya, dan hari ini Reina ada jadwal membuka gipsnya. Saat sedang berjalan santai menelusuri koridor Rumah Sakit setelah membuka gips, langkah Reina terhenti. Menatap ke arah Taman Rumah Sakit di mana Arga terlihat sedang duduk di kursi Taman bersama anak kecil perempuan yang duduk di kursi roda, memakai kupluk berwarna pink soft. Sedang memperhatikan anak-anak yang sedang bermain lari-larian, dan ada juga yang bermain gelembung sabun.
Di balik sikap dinginnya, sesungguhnya Arga adalah orang baik. Arga peduli pada orang lain. Jadi Reina pikir setiap perhatian Arga selama ini tak ada arti lain selain karena Arga seseorang yang sebaik itu.
Alih alih menghampiri, Reina memilih pergi dari sana. Tidak ingin mengganggu Arga yang sekali pun tidak mengunjungi Reina di Rumah Ayah-nya. Apakah pernikahan ini akan berakhir lebih cepat dari yang sudah direncanakan Reina?
Baskara yang sedang berjalan entah dari mana, melihat Reina. Menghampiri Arga. "Apa Bapak habis bertemu Bu Reina?" tanya Baskara yang berdiri di samping Arga, sembari menatap lurus ke depan.
"Nggak. Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?" Lalu, menoleh ke arah Baskara.
"Saya melihat Bu Reina di sini, saya pikir habis bertemu Bapak." Sembari menatap Arga.
Apa yang Reina lakukan di sini? Kenapa dia gak menemui aku? Apa sudah waktunya gipsnya dibuka?
Sebuah mobil sedan putih terpantau berhenti di depan Mansion milik Arga. Reina keluar dari dalam, mengambil kopernya dari dalam bagasi, lalu menyeretnya hingga di depan pintu. Memasukkan kata sandi pada pintu yang sebelumnya sempat dikasih tahu Arga. Melangkah masuk ke dalam.
Arga yang baru saja memasuki mobil, mendapat telepon. "Hallo," kata Arga yang terkesan dingin.
"Saya mau melaporkan kalau Bu Reina sudah berada di Rumah, Pak."
"Karena istri saya sudah kembali, perketat penjaganya seperti biasa!"
"Baik, Pak."
Walau sempat patah hatinya, mendengar Reina kembali ke Mansion tentu Arga senang. Hatinya mendadak dalam kondisi sangat baik. Itulah yang Arga tunggu-tunggu, namun selama sebulan tidak bisa mengutarakannya. Arga memilih menyimpan setiap perasaannya karena tidak ingin membebani Reina. Arga jalankan mobil itu dengan kecepatan sedang, meninggalkan parkiran Rumah Sakit.
Reina tatap Kamar-nya yang sudah sebulan ditinggalkan. Masih rapi dengan terakhir kali Reina tinggalkan. Ditaruhnya koper dekat nakas, lalu Reina merebahkan tubuhnya dengan kaki yang dibiarkan menggantung. Menatap langit-langit Kamar sembari menikmati ketenangan yang ada namun tiba-tiba terdengar suara kaca pecah dan sesuatu yang nyaring mengenai lantai.
Sontak Reina bangun dari tidurannya, di lantai sudah terdapat sebuah batu berukuran sedang, lalu jendela yang terdapat lubang yang berasal dari batu yang dilempar itu. Dengan langkah pasti dan berani, Reina berjalan keluar Balkon. Menoleh ke arah bawah di mana terdapat dua orang penjaga di sana yang kebetulan menoleh ke arah Reina.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Reina pada kedua penjaga itu.
"Maaf, Bu. Kami kecolongan, ada seseorang yang melempar batu ke Kamar Bu Reina dari arah gak terduga." Dengan wajah merasa bersalah.
"Sebaiknya kalian temukan segera orang itu, kalau nggak mungkin kalian akan kena amukan Pak Arga."
"Baik, Bu."
Reina kembali masuk ke dalam dengan ketenangan yang seketika berubah menjadi ketegangan. Untung saja batu itu atau pecahan kaca tidak mengenai Reina. Jika sampai Reina terluka, Arga mungkin akan semakin mengamuk.
Kreukk
Bisa-bisa disaat kondisi menegangkan Reina merasa lapar. Maklum saja, ia hanya sarapan sandwich dan ini sudah siang, Reina belum makan lagi. Reina turun ke bawah, berjalan ke Dapur. Di dalam kulkas kosong tidak ada bahan masakan, tidak seperti biasanya, hanya ada minuman.
"Apa selama aku gak ada Pak Arga gak masak?" gumam Reina. Lalu, menutup kembali kulkas.
Beralih ke rak di mana Reina menemukan roti tawar yang tinggal 2 lembar dan beberapa bungkus mie instan. Reina pun memutuskan memasak mie.
Menunggu air mendidih, Reina mendudukkan diri di kursi makan. Karena semalam kurang tidur berkat membantu Ayah-nya merekrut beberapa Dokter baru karena Rumah Sakit yang jumlah pasiennya semakin banyak jadi kekurangan Dokter. Reina taruh kedua tangan di atas meja, lalu kepalanya ia letakkan di atas kedua tangan.
.
.
Arga masuk dengan langkah pasti dan wajah khawatir. Langsung memeriksa Kamar Reina yang kosong, lalu segera ke Dapur di mana Arga bernafas lega melihat Reina ketiduran di sana. Mendengar suara air mendidih, Arga langsung mematikannya di mana air tinggal sedikit lagi kering.
Menggeser kursi samping Reina dengan sangat pelan, lalu mendudukkan diri di sana. Arga melakukan posisi yang sama dengan Reina. Menatap dalam wajah Reina yang semakin cantik saat sedang tidur. Salah satu tangan Arga terulur menyentuh kepala Reina. "Aku gak pernah menyesal menerima kamu sebagai sekretaris aku, Re," gumam Arga dengan suara sangat pelan, hampir tidak terdengar.
Arga turunkan tangannya dari kepala Reina, lalu memejamkan mata. Arga yang selama sebulan lebih giat bekerja hanya untuk mengalihkan perhatian dari pikiran tentang Reina, kekurangan jam tidur.
Perlahan mata Reina terbuka dan hal pertama yang ia lihat adalah wajah tampan suaminya. Wajah yang mampu membuat wanita mana pun menggila. Tiba-tiba manik mata Reina jatuh pada bibir Arga, lalu sebuah ingatan muncul, saat momen bibir Arga dan bibir Reina saling bertemu di acara pernikahan itu.
Entah dorongan dari mana, Reina memajukan wajahnya. Sepertinya Reina terlalu terpengaruh oleh drama-drama yang selama ini ia tonton. Namun, saat jarak tinggal 1 cm lagi, Reina berdiri. Terigat bahwa ia sedang masak air, dan langsung menuju depan kompor di mana air sudah tinggal sedikit.
Karena semakin lapar, Reina pun kembali memasak air dengan berusaha kali ini ia tidak boleh ketiduran. Masih berada di depan kompor, Reina menoleh ke arah Arga. "Apa aku buatkan juga buatnya?"
"Pak Ar—" salah satu pengawal berhenti berucap saat melihat Reina menempelkan jari telunjuknya di bibir.
Reina hampir pengawal itu. "Ada apa? Kamu bisa sampaikan pada saya."
"Kami kehilangan jejak orang yang sudah melemparkan batu ke Kamar Bu Reina."
"Biar masalah ini saya yang membicarakannya dengan Pak Arga. Kamu bisa kembali."
"Baik, Bu." Pengawal itu berlalu.
Reina berjalan ke arah Arga, mendudukkan diri di kursi sebelumnya dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Menatap Arga yang wajahnya terlihat lelah. Sudah disibukkan dengan kerjaan, Arga juga harus menjaga Reina.
Rasanya kayak aku semakin membebani Pak Arga. Aku tahu Ayah ingin ada laki-laki yang mampu melindungi aku, tapi justru aku gak enak dan merasa bersalah. Seharusnya aku gak menambah beban pikiran Pak Arga.
Saat perlahan mata Arga terbuka, spontan Reina langsung mengalihkan pandangan.