Boom!
Sontak Arga dan Baskara yang baru saja melangkah keluar pagar, berjongkok. Menoleh ke arah belakang di mana Rumah itu sudah dilalap si jago merah, yang langsung membakar seluruh Rumah tanpa terkecuali. Arga dan Baskara berdiri dari jongkok, menatap Rumah itu. "Kamu pikir pria itu selamat atau nggak?" tanya Arga pada Baskara.
"Melihat api yang besar dan langsung melahap seluruh Rumah, saya pikir pria itu gak akan lolos," jawab Baskara.
"Sebaiknya kamu telepon damkar," kata Arga. Lalu, melangkah pergi dari sana dengan Baskara yang berjalan di belakang Arga sembari menelepon.
Ketika Arga hendak membuka pintu mobil, ia mendengar Baskara yang menyebut Rumah Sakit ketika sedang menelepon, perhatian Arga pun teralihkan. "Siapa yang masuk Rumah Sakit?" tanya Arga sembari menatap Baskara yang berada di sampingnya.
"Anak dari pelaku, Pak. Tiba-tiba kondisinya menurun, dan sekarang saya mau ke Rumah Sakit," ucap Baskara.
"Saya ikut." Mereka pun naik mobil masing-masing.
Tidak membutuhkan waktu lama, mereka tiba di Rumah Sakit. Memarkirkan mobil sport mereka di tempat parkir di mana menyita perhatian orang yang keluar-masuk Rumah Sakit. Dengan setelan jas yang mereka pakai, dan wajah yang mempesona, Arga serta Baskara melangkah memasuki Rumah Sakit. Menarik banyak mata untuk menatap mereka.
Ya, mereka seperti karakter anime yang hidup. Daya tarik Arga dan Baskara tidak main-main. Baskara mengajak Arga ke ruang IGD di mana sudah ada anak buah Baskara yang berjaga.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Baskara pada pria berpakaian casual itu.
"Sebelumnya baik-baik saja, bahkan kami sempat makan dan bercerita tentang Ayah-nya, tapi tiba-tiba gak sadarkan diri." Dengan wajah khawatir.
"Bagaimana dengan Ibu-nya?"
"Ada di dalam."
"Sebenarnya ada apa dengan anak itu? Sakit apa?" tanya Arga yang teringat bahwa si pelaku sebelumnya berkata bahwa dia melakukan pekerjaan itu untuk biaya pengobatan anaknya.
"Ada tumor di otak kanannya dan harus segera dioperasi," jelas Baskara.
Pintu ruang IGD terbuka, memperlihatkan seorang Dokter laki-laki yang sudah berusia dan seorang wanita. "Apa biayanya masih sama dengan terakhir kali kita bicara, Dok? Apa gak bisa ada keringanan?" tanya wanita itu dengan sorot mata sendu dan penuh kebingungan.
"Bisa kalau Ibu memiliki bpjs, masalahnya kan anak Ibu gak memilikinya."
Arga melangkah ke tengah-tengah kedua orang itu. "Lakukan apa yang perlu Dokter lakukan, masalah biaya saya yang akan bertanggung jawab," ujar Arga tanpa pikir panjang.
Dokter yang nampak bingung, menoleh ke arah wanita itu yang juga sama bingungnya dengan Arga yang tiba-tiba memberi bantuan tanpa diminta. "Mas-nya siapa ya? Apa kenal dengan anak saya?"
"Kebetulan saya kenal dengan suami, Ibu."
"Kalau boleh saya tahu, Mas kenal suami saya di mana? Apa mungkin suami saya pernah kerja sama Mas?"
Sebelum Arga membuka mulutnya, wanita itu mendapat telepon yang seketika membuatnya luruh ke lantai dengan wajah shock dan air mata yang perlahan membasahi pipi.
Arga menoleh ke arah Baskara, dan Baskara langsung menghampiri. "Kamu urus masalah ini, dan kabari saya berapa biaya operasinya." Dengan nada pelan.
"Baik, Pak."
Dengan gaya yang selalu cool, Arga melangkah pergi dari sana. Tanpa Arga tahu, ada sepasang mata yang sedari ia masuk terus memperhatikannya tanpa berniat mengalihkan pemandangan. Sepasang mata yang penuh penasaran.
"Aku harus kasih tahu, Reina!" kata Indah yang kebetulan berada di Rumah Sakit yang sama dengan Arga.
Reina lagi-lagi terlihat sedang menikmati hidup. Sedang terduduk di kursi yang ada di Balkon Kamar-nya sembari makan tiramisu cake dan segelas ice chocolate. Tiba-tiba perhatiannya yang sedang melihat burung-burung di langit menjadi ke layar handphone yang menampilkan panggilan masuk dari Indah. Diambilnya handphone dari atas meja kecil sampingnya.
"Hallo, In."
"Berita terbaru! Aku yakin kamu pasti belum tahu." Dengan nada yang membuat penasaran.
"Berita apa? Artis siapa yang diam-diam pacaran?"
"CEO tampan kesukaan kita semua terlihat berada di Rumah Sakit."
Reina mengernyit. "Maksud kamu Pak Arga di Rumah Sakit? Untuk apa?"
"Justru itu yang harus aku cari tahu."
"Apa mungkin ternyata diam-diam Pak Arga sakit?"
"Kayaknya nggak deh, Re. Soalnya aku melihat Pak Arga sedang berbicara dengan salah satu wali pasien, ada Pak Baskara juga."
"Wali pasien?" Otak Reina pun mendapat sesuatu yang baru, yang perlu dipikirkan.
"Aku kabarin secepatnya kalau sudah mendapat informasi terbaru." Sebelum Reina mengatakan sesuatu, Indah sudah lebih dahulu mengakhiri panggulan.
Reina menaruh kembali handphone di atas meja sembari bertanya-tanya, perihal apa yang tidak ia tahu. "Hal apa yang Pak Arga sembunyikan?" gumam Reina.
Diambilnya kembali handphone, mencari kontak Arga, lalu melakukan panggilan keluar. Membutuhkan waktu sampai panggilan itu diterima.
"Ada apa, Re? Butuh sesuatu?"
Mendadak Reina bingung harus mengatakan apa. Rasanya tidak mungkin jika harus bertanya apa yang Arga lakukan di Rumah Sakit. Bukankah itu terlihat betapa keponya Reina?
"Pak Arga lagi di mana?"
"Lagi di jalan ke Kantor, kenapa? Kalau butuh sesuatu kamu bisa bilang. Terlepas saya ini atasan kamu, bagaimana pun juga kamu itu sekarang istri saya."
Aww
Seketika hati Reina meleleh layaknya ice cream yang terkena sinar matahari. "Nggak ada kok, Pak. Saya cuma ingin tahu saja Bapak lagi di mana."
"Tanpa alasan yang pasti?"
"Iya."
"Kok saya merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?"
"Gak ada, Pak. Cuma perasaan Bapak saja."
"Atau jangan-jangan kamu ...."
"Jangan-jangan saya apa?"
"Kamu kangen saya ya?"
Reina mematung seketika karena tak habis pikir dengan isi kepala Arga. Bagaimana mungkin Arga bisa berpikiran seperti itu! Tapi, memang semenjak tinggal bersama Ayah-nya, Reina terus memikirkan Arga. Apa itu termasuk rindu?
"Pak Arga kali yang kangen saya."
"Kalau saya kangen kamu, apa yang akan kamu lakukan?"
Pertanyaan itu membuat Reina diam. Haruskah Reina menjawab, bahwa ia akan langsung berlari menemui Arga? Atau kalimat manis lainnya? Ohh, ayolah, Reina tidak akan mengatakan hal semacam itu.
"Biar pertanyaannya saya balik. Apa yang harus saya lakukan kalau saya kangen kamu?"
Pertanyaan yang satu itu pun masih tidak bisa Reina jawab, dan hanya bisa terdiam. "Kamu gak perlu memikirkan jawaban apa yang sebaiknya kamu berikan."
"Mm."
"Kalau gitu, saya tutup teleponnya."
Alih-alih mendapat jawaban atas rasa penasarannya, justru hati Reina seperti diacak-acak. Apa mungkin Arga benar merindukannya? Seperti itulah yang tengah dipikirkan Reina.
"Seseorang kayak Pak Arga gak mungkin suka sama aku. Ingat Re, kamu itu cuma sekretarisnya! Kamu gak lebih dari perempuan yang tiba tiba harus menikah dengannya. Pernikahan ini hanya sementara," gumam reina dengan sorot mata sendu.
Arga berbohong bahwa ia berada di perjalanan menuju Kantor, justru mobilnya terpantau berada dekat kediaman Mahendra. Dari dalam mobil, Arga menatap penuh rindu ke arah balkon yang terdapat Reina sedang terduduk.