“Diandra, kamu nggak marah, kan?” tanya Bayu, setelah mereka tiba di lobby penginapan.
Sejak perjalanan pulang dari Gedung Sate menuju penginapan, Andra memang lebih banyak diam, tak cerewet seperti biasanya.
Dan Bayu paham betul, itu semua karena perbincangan pada akhir waktu mereka, di Gedung Sate tadi.
“Iya, Ndra. Aku sudah bertunangan...”
“Ah, ya sudah.. Kalau begitu, apa yang aku ucapkan barusan, nggak usah dipikirkan, Bay.. Kamu fokus saja dengan tunangan kamu. Anggap saja aku sahabat kamu. Bukan orang yang menginginkan kembalinya kamu.”
“Aku ma—“
“Ayo pulang, Bay. Aku capek..”
Dan disinilah mereka sekarang. Melesat ke penginapan, dengan alasan lelah yang dirasakan Andra. Padahal Bayu tau benar, alasan utamanya, bukan karena itu.
“Aku ke kamar dulu, Bay,” kata Andra, pamit.
“Ndra... Kita harus bicara..”
Andra menggeleng. “Jangan sekarang. Aku nggak bisa...” Gadis itu kemudian berbalik dan berjalan menjauhi lelaki yang masih menatapnya nanar dan penuh tanya.
“Lima menit aja...”
“Aku capek.”
“Ya udah, tiga menit.”
Dan setelah mengulang beberapa tarikan nafas, akhirnya, Andra mengangguk, dan mempersilahkan lelaki di hadapannya tuk mulai berbicara.
“Aku minta maaf. Andai kamu mengutarakan itu dari dulu, ketika kita masih bersama, mungkin situasi nggak akan begini. Mungkin kita akan terus mempertahankan hubungan kita...” Bayu mulai mengutarakan isi hatinya. “Tapi kamu baru bicara sekarang. Setelah aku memulai hubungan dengan yang lain. “
Glek. Andra menelan ludahnya. “Kurangi kata andai, Bay. Jangan berkata seolah kamu menyalahkan waktu dan keadaan.”
“Aku nggak menyalahkan waktu.”
“Salahkan aku, Bay. Begitu susahnya aku untuk lupain kamu. Sampai-sampai dengan mudahnya, aku mengutarakan hal yang nggak seharusnya aku utarakan.’
“Nggak ada yang salah. Perasaan nggak bi—“
“Udah tiga menit. Aku capek,” kata Andra, lalu melenggang pergi begitu saja.
Usai Andra menghilang di balik persimpangan sana, ada rasa hampa dan sakit, yang laki-laki itu rasakan, entah mengapa. Rasanya, seperti bahagia yang baru ia temukan lagi, justru hilang diambil dalam sekejap. Dan itu luar biasa sakitnya.
Bayu menghela nafas, berat sekali rasanya. Ia diambang rasa bersalah. Bersalah pada Andra, bersalah pada Ayu, bersalah pada dirinya sendiri.
Dan tentunya, bersalah pada sang Pemilik segala hati. Karena ia telah mempermainkan dan menyakiti hati, dua orang wanita sekaligus.
Bayu diam sembari mengacak rambutnya sendiri. Frustasi.
Lelaki itu pun memilih tuk masuk ke dalam kamarnya, mengistirahatkan diri, sembari menunggu adzan ashar memanggilnya tuk menunaikan ibadah.
Dia butuh ketenangan.
Dia butuh petunjuk.
Dia butuh jawaban, mengapa Semesta mempertemukannya lagi dengan sesosok di masa lalunya, tanpa aba-aba, dan dalam waktu yang sama.
Dan jawaban dari segala pertanyaannya, hanya akan ia dapatkan, melalui sujud demi sujud yang ia lakukan di setiap sholatnya. Semoga saja, pencerahan secepatnya terbuka. Sehingga, tak ada hati dan jiwa yang terus disakiti makin harinya.
**
Di dalam kamar, Bayu memutuskan tuk membuka ponselnya, yang sedari pagi ia non-aktifkan, demi ketenangan jiwanya selama berlibur kali ini. Ia tau, pekerjaan tetap saja menghubunginya, tanpa peduli bahwa sang karyawan sedang mengambil hak cutinya. Selain itu, getar pesan dan panggilan dari Ayu, turut menjadi salah satu penyebab keresahan jiwanya dalam liburan ini.
Sungguh, jahat. Namun memang begitu faktanya. Dan ia paham betul, keresahan hatinya tuk membalas pesan dari Ayu, disebabkan oleh kedatangan Andra yang mendadak dan tiba-tiba.
Begitu ia menyalakan ponselnya, benar saja, puluhan pesan masuk dari beberapa rekan kerjanya, dan juga tunangannya sendiri, yaitu Ayu.
Ayu:
Mas, hari ini kemana saja?
Ayu:
Sibuk, ya? Pesan Ayu nggak dibalas...
Ayu:
Ya sudah.. Kabari Ayu kalau sempat, yaa. Have a nice trip, Mas.
Dan dengan senyuman yang sedikit terulas, Bayu membalas pesan Ayu, yang sudah berjam-jam tak ia buka.
Bayu:
Ayu, Mas sudah di penginapan. Tadi jalan-jalan ke Tahura..
Sent!
Setelah mengirim pesan untuk Ayu, Bayu membaca beberapa pesan lain dari rekan-rekan kantornya. Ia tak membalas satupun pesan dari rekan kerjanya. Bayu merasa, ia harus menikmati cutinya, tanpa memikirkan pekerjaan yang bisa membuyarkan pikirannya sesaat. Bayu menghela nafas, dan memilih konsisten terhadap hak cutinya, dan membiarkan pesan demi pesan tersebut terbengkalai.
Kemudian, Bayu teringat satu hal. Tentang Andra, dan pembicaraan yang belum mereka selesaikan. Ia paham, gadis itu pasti sangat terpukul.
Dan kini, ia memilih tuk mengirim pesan singkat untuk Andra.
Bayu:
Kamu baik-baik aja?
Sent.
Dan dalam sekejap, Andra membalas.
Andra:
Menurut kamu?
Bayu:
Maaf, Ndra...
Andra:
Santai, Bay.. Kamu nggak salah. Aku yang salah, karena terlalu berharap..
Bayu:
Harusnya aku bilang dari awal, ya
Andra:
Nggak apa-apa. At least, kamu udah jujur.
Harusnya aku bisa memposisikan diri jika status kita sekarang hanya ‘teman’. Aku terlalu menggampangkan perasaan. Aku menganggap perasaan kita masih ‘saling’.
Bayu:
Udah, Ndra... Jangan diteruskan..
Andra:
Bay, aku nggak mau perasaan ini tumbuh berlarut.
Bayu:
Lalu, apa mau kamu, Ndra?
Andra:
Aku mau satu hari lagi. Setelahnya, kita hentikan petualangan ini.
Satu hari lagi. Setelahnya, berpisah.
Bayu merasa dejavu. Rasanya, ia kembali ke masa silam. Kondisi ini pernah ia alami sebelumnya. Dengan sosok yang sama. Dan semua, nyata.
Kejadian ini persis seperti saat mereka mengakhiri hubungan mereka dulu,
“Aku minta satu hari dari kamu, khusus buat aku,” kata Andra. “Dan setelahnya, kita kembali ke komitmen awal, untuk berpisah...”
“Jadi... Besok adalah hari terakhir kita?” tanya Bayu.
Andra mengangguk. “Kosongkan jadwal kamu, ya, Bay. Kita hanya punya waktu satu hari..”
Dan mereka menepatinya.
Hari itu, mereka melakukan petualangan, yang benar-benar mereka suka tuk lakukan. Bercengkrama di burjo sambil menyantap makanan ala mahasiswa, keliling Malioboro seperti yang sering mereka lakukan, minum kopi jos di angkringan tepat di dekat titik 0 KM, menikmati oseng mercon dengan tawa, mengunjungi Taman Sari, sembari bergandengan tangan di sepanjang perjalanannya. Hingga tanpa sadar, hari berganti, dan mereka pun, menepati janji.
“Terima kasih untuk tiga tahun ini, Diandra...”
“Sama-sama, Bayu...”
“Semoga kamu bahagia.”
“Kamu juga..”
Setelahnya, mereka benar-benar berpisah. Bukan hanya kata, namun juga dalam perbuatan. Mereka tak lagi bertegur sapa. Mereka tak lagi saling berkirim pesan. Mereka berusaha tuk saling melupakan.
Dan Bayu berhasil.
Namun sayang, Andra gagal melakukannya.
Bayu:
Nanti usai maghrib, kita pergi makan malam, ya. Aku lapar.
Senyuman yang sulit diartikan, hadir di bibir lelaki ini. Sulit diartikan. Bahkan sang pemilik senyum pun, tak bisa mengartikannya. Sangat sedih, ketika Andra memutuskan bahwa besok akan menjadi hari terakhir mereka. Padahal, seharusnya ia bahagia, kan? Tandanya, Bayu bisa fokus pada hubungannya dengan Ayu.
Sangat berat tuk melepas Andra disaat pertemuan mereka kembali menghadirkan kisah-kisah indah. Namun tuk memiliki keduanya, Bayu pun tak akan sudi melakukannya. Sebagai pria, ia harus memilih, siapa yang tepat tuk menjadi pendampingnya.
Dan sudah jelas, jawabannya adalah Ayu. Sosok wanita yang sudah ia ikat, dalam satu benteng dan cara ibadah yang sama.
Namun nyatanya, hati memang tak bisa diajak kompromi. Ia masih saja memberatkan satu gadis di masa lalunya.
**
“Bay,” sapa Andra.
Bayu baru saja melangkahkan kaki keluar dari masjid tuk menunaikan sholat maghribnya. Dan begitu ia hendak melangkah meninggalkan masjid, ternyata sudah ada Diandra yang menantinya dengan celana jeans serta sweater hitam polos yang menutupi kaos putih di dalamnya.
“Diandra? Kok kamu disini?”
“Katanya mau makan malam..”
“Iya.. Tapi aku kaget aja, kok kamu tiba-tiba udah di luar masjid... Kupikir, aku aja yang jemput kamu...”
“Aku laper. Terus aku tau, pasti kamu lagi sholat di masjid.. Jadi aku langsung kesini, deh...”
“Oh...”
“Lagian, aku coba hubungi kamu, tapi HP kamu nggak aktif...”
“Iya. Memang sengaja..”
“Kenapa?” Andra mengerutkan keningnya.
“Sedang mencari ketenangan.”
“Ketenangan? Dari hal apa?”
Namun Bayu hanya mengibaskan tangan, sembari meraih tangan kiri Andra, tuk segera beranjak dan berjalan. “Udah, ayo makan..”
Dan lagi-lagi, bagai tersengat listrik, Andra merasakana getaran yang sudah lama tak ia rasakan, tatkala kulit tangannya, bersentuhan dengan kulit tangan Bayu.
Astaga. Mengapa mudah sekali jatuh cinta dengan orang yang memang sudah pernah ia cintai di masa lampau?
**
Mereka makan di salah satu kedai nasi goreng, sekitar sana. Bukan warung terkenal seperti yang banyak dibicarakan oleh food blogger atau sejenisnya, namun warung ini cukup ramai dalam kondisi kesederhanaannya.
Hanya sebuah tenda nasi goreng, kemudian ada beberapa meja dan kursi di sekitarnya. Kondisi kedai nasi goreng sudah ramai, tapi untunglah, Bayu dan Andra masih bisa menguasai satu tempat untuk mereka duduk dan menikmati.
Sembari menunggu nasi goreng, Bayu memulai pembicaraan dengan Andra, terkait kondisi tadi siang. “Kamu masih marah sama aku?” tanyanya.
“Tentang?”
“Yang tadi.. Aku tau, kamu paham..”
Andra membuka botol air mineral yang ia bawa, kemudian meneguknya beberapa kali sebelum ia menjawab. “Bukan marah... Hanya sedikit kecewa..”
“Maaf, Ndra..”
Entah sudah berapa kali Bayu mengucap maaf. Sejak tadi, ia belum menemukan kelegaan meski Andra berkata bahwa ini bukan salahnya.
Andra menghela nafas. “Tapi aku bersyukur... Aku tau segala kebenarannya, sebelum aku terlalu bersandar sama kamu.”
Rasanya, tenggorokan Bayu kering seketika. Sedikit pedih, ya?
“Bagaimanapun, dulunya kita sedekat nadi, kan?” Andra melanjutkan lagi. “Usai putus pun, aku masih berharap sama kamu.. Aku belum bisa lupain kamu.. Sesulit itu, Bay..”
Bayu menunduk. Ia bersalah. Sangat. Rasa ini akan terus menghantuinya, sebelum ia menemukan sebuah pemecahan.
“Sementara kamu, bahkan kamu nggak pernah tau tentangku pasca kita putus, kan? Karena kamu memang sudah siap hidup tanpa aku..”
Pembicaraan mereka terinterupsi sejenak, karena nasi goreng pesanan mereka sudah datang. Andra, dengan nasi goreng bakso; sementara Bayu, dengan nasi goreng kambingnya.
Setelah sang penjual meninggalkan meja mereka, keduanya memutuskan tuk kembali masuk ke dalam pembicaraan.
“Bukan gitu, Ndra.. Aku hanya berusaha realistis. Kupikir, putus adalah keputusan paling baik. Jadi, untuk apa aku harus menyiksa diri dengan mencari kabarmu? Lebih baik aku fokus menata masa depan baru, kan?” Bayu, mencoba membela diri, dengan alasan logis yang sejujurnya.
“Ah, ya... Kita memang berbeda. Kalau kamu, fokus menata masa depan.. Sementara aku, masih saja keras kepala dan yakin kalau masa depanku adalah kamu. Pantas saja, aku sakit sendiri, karena perasaan terlalu percaya diri yang selalu bersarang di pikiranku...”
Pembicaraan ini pedih. Membuat Bayu maupun Andra sama-sama berperang dengan batin mereka masing-masing. Semua terasa sulit. Bahkan hanya mengucap kata pun, rasanya kaku sekali.
“Kenapa kamu bisa yakin, kalau aku adalah masa depan kamu?”
Andra mengambil sendok dan garpu, kemudian mulai mengaduk nasi gorengnya. Tak ada yang diaduk, memang. Tapi setidaknya, hal ini bisa membuat tangannya bergerak, sehingga rasa gugupnya tak terlalu terasa. “Karena aku sudah sangat bergantung sama kamu, sejak kita bersama dulu...”
Bergantung.
Laki-laki itu paham betul, apa maksud kalimat itu. Dari dulu, Andra hidup dalam kesendirian. Ayah dan ibunya sudah berpisah lama, lalu sibuk dengan keluarga baru mereka masing-masing. dan tak ada satupun yang peduli dengan Andra. Tiap bulan, ia hanya diberikan uang saku tuk hidup. Memang, sangat cukup, bahkan lebih dari cukup. Tapi sejujurnya, yang Andra butuhkan bukanlah materi, melainkan ‘keberadaan’ mereka yang seharusnya ‘ada’.
“Aku tumbuh dalam sepi. Dan semenjak ada kamu, aku bisa mulai menikmati kesepianku... Kamu berharga untukku. Dan itulah yang membuatku bergantung sama kamu,” kata Andra.
Andra tumbuh dalam sepi. Sebelum akhirnya Bayu hadir, dan merubah segalanya dalam hidup Andra, satu demi satu. Membuat gadis itu sadar, bahwa ia adalah gadis yang berharga, meski tak tumbuh di tengah keluarga.
“Mungkin memang benar... Aku harus belajar mandiri... Aku harus kembali terbiasa sendiri,” ungkap Andra, tersenyum pilu.
“Ndra...”
“Udah, ayo kita makan dulu. Nanti nasi gorengnya keburu dingin,” kata Andra, mencoba mengakhiri topik pembicaraannya.
Dan mereka makan, dalam keadaan diam, ditemani oleh suara semilir angin, para pembeli yang sibuk berdesakan satu sama lain, serta seorang pengamen yang duduk disana, memetik gitar, sembari menyanyikan lagu dengan merdunya.
Ketika engkau datang,
Mengapa disaat ku tak mungkin menggapaimu...
Meskipun tlah kau semaikan cinta...
Dibalik senyuman indah...
Kau jadikan seakan nyata...
Seolah kau belahan jiwa...
Meskipun tak mungkin lagi...
Tuk menjadi pasanganku...
Namun ku yakini cinta...
Kau kekasih hati....
Lagu itu, menggambarkan kisah mereka berdua. Bertemu, disaat mereka tak mungkin lagi bersama. Dan meski mereka berada di persimpangan yang berbeda, keduanya tetap meyakini, bahwa mereka akan ada di satu tujuan yang sama.
Diambang rasa penasaran terhadap bekerjanya sang Semesta yang dengan tiba-tiba mempertemukan mereka, mereka pun masih memiliki keyakinan. Bahwa mereka, dipertemukan tuk menyelesaikan sesuatu yang belum selesai diantara mereka.
Entah untuk kembali bersatu,
Atau untuk berpisah dan beradu.
“Boleh aku tanya sesuatu?” Andra menarik nafas dalam-dalam.
“Tanya apa, Ndra?”
Andra tersenyum getir. Pertanyaan yang sedaritadi ingin ia tanyakan, meski sebenarnya, ia sudah tau jawabannya. “Apa kamu bahagia?”
Bayu memandang mata Andra, dengan serius. “Soal apa?”
“Ah, lupain aja.. Aku tau, jawabannya.. Kamu pasti bahagia, kan?”
Dan pria itu mengangguk. “Ya. Bahagia. Sebelum bertemu kamu lagi, aku bahagia..”
“Berarti, setelah bertemu aku... Bahagia kamu hilang, ya?”
“Bukan ilang. Tapi berubah. Jadi gundah...”
“Gundah... Kenapa?”
“Semenjak kamu datang, aku merasa, ada sesuatu yang belum selesai diantara kita. Entah apa... Tapi ini berhubungan dengan perasaan kita di masa lalu.. Bertemu kamu, aku merasa menemukan jiwaku yang selama ini hilang.. Bertemu kamu, membuat aku memahami, kalau takdir memang tak bisa dipermainkan...”
Gadis itu tercengang sesaat. “Takdir tak bisa dipermainkan? Apa maksudnya?”
“Satu kedipan mata, sudah diatur sedemikian rupa. Dan itu yang membuat aku yakin, kalau pertemuan kita, pasti ada maksud dan tujuannya...”
Sembari menyuapkan satu sendok nasi goreng, gadis itu menghela nafas. “Sepertinya aku tau, apa tujuannya..”
“Apa?”
“Untuk menyelesaikan apa yang belum selesai diantara kita,” kata Andra.
“Memang, apa yang belum selesai?” Bayu bingung, mengerutkan keningnya.
“Bagi kamu, semua memang sudah selesai,” ucap Andra. “Tapi bagiku, belum.. Perasaanku ke kamu, belum selesai. Dan mungkin, pertemuan ini menjadi pertanda, kalau kamu sudah dimiliki orang lain, sehingga aku harus menghentikan perasaan ini Agar aku bisa menghentikan harapan-harapan tentang kita, yang selama ini masih ada dalam khayalanku.”
Agar aku bisa menghentikan harapan-harapan tentang kita, yang selama ini masih ada dalam khayalanku.
Kata-kata itu terngiang berulang kali di pikiran Bayu. Ia mematahkan hati gadis di hadapannya dengan sangat sempurna. Dan ternyata, itu juga menyakitinya.
Sebegitu besar gadis di hadapannya menggantungkan harap padanya. Dan dengan sebuah pengakuan, semua itu hancur begitu saja.
Entahlah. Laki-laki ini merasa... Mati rasa.
**