“Setelah ini, kita kemana?” tanya Andra.
“Aku mau ajak kamu ke Gedung Sate.. Pernah, belum?”
Gadis cantik berambut sebahu nan hitam lebat itu menggeleng. “Belum. Ada apa disana? Bukannya, itu gedung jaman Belanda, ya?”
“Iya. Nanti aja aku jelaskan..”
“Ah, jiwa-jiwa tour guide-nya, muncul, nih,” ledek Andra.
Disambut tawa, keduanya memulai perjalanan mereka lagi, usai dari Armor Kopi yang membuat kepala mereka sedikit pening, karena dihantui obrolan sedikit penting.
Setidaknya, Bayu paham, bahwa Andra masih sangat mengharapkannya.
Dan karena hal itu, Bayu mulai mengalami pergolakan jiwa. Setelah sebelumnya sangat yakin dengan sosok wanita yang telah mengikat hatinya kini.
Entahlah. Beberapa hari ini, segalanya akan terjawab sempurna.
**
Perjalanan dari Armor Kopi menuju Gedung Sate, cukup singkat. Sekitar lima belas menit, mereka sudah tiba di parkiran Gedung Sate.
Sepertinya, semua orang pernah mendengar nama Gedung Sate.
Bagaimana tidak. Gedung Sate Bandung merupakan salah satu tempat tujuan wisata di Bandung yang sangat populer. Mungkin, nama yang disandang memang sedikit aneh. Hal itu disebabkan karena terdapat ornamen yang mirip tusuk sate pada menara gedung sentral.
“Nak.. Jadilah pria yang kokoh, seperti bangunan Gedung Sate ini. Selalu kokoh. Karena ia kokoh, maka ia berguna. Dulu, dijadikan pusat pemerintahan Belanda. Dan sekarang, jadi tempat wisata. Selalu mempunyai fungsi dan makna, kan?” kata Bapak, penuh keyakinan, kala itu.
Bayu tertawa. “Iya, Pak.. Bayu pasti berusaha kuat dan kokoh. Karena dengan begitu, Bayu akan jadi manusia berguna..”
“Nah... Pinter..”
Gedung Sate merupakan salah satu ikon kota Bandung yang para wisatawan kunjungi ketika berlibur ke Bandung. Kawasan Wisata Gedung Sate Bandung merupakan kawasan bersejarah karena banyaknya bangunan peninggalan Belanda, seperti Museum Geologi, Museum Pos Indonesia, Gedung Dwiwarna, dan sebagainya yang dapat para wisatawan kunjungi saat berada di kawasan tersebut. Lokasi wisata Gedung Sate Bandung ini berdekatan dengan lapangan Gasibu, yaitu sebuah lapangan yang dijadikan lokasi rutin bagi warga Bandung berolah raga setiap hari Minggu.
Indah, kan?
“Pernah kesini?” tanya Andra.
“Pernah. Sama almarhum Bapak,” balas Bayu, lirih.
Andra menepuk bahu Bayu. “Maaf bikin kamu sedih...”
“Aku baik-baik aja, Ndra... Dan aku bahagia, bisa kembali ke sini... Semua masih sama indahnya.. Belum banyak berubah...”
“Ada bedanya, kok..” Andra meringis manis, menunjukan deretan giginya yang rapi.
“Apa?”
“Dulu, kesini sama Bapak. Sekarang, sama aku.”
Deg.
Bayu tergagap. “Eh.. Iya...”
Canggung seketika. Terlihat sekali jika Andra memang mengaguminya dan memiliki harapan mengembalikan hubungan mereka seperti dulu.
Belum sempat kecanggungan itu berlangsung lama, suara adzan dhuhur sudah mengejutkan mereka.
“Kamu sholat dulu, gih. Aku tunggu di depan masjid,” kata Andra, menunjuk masjid yang ada di area sekitar Gedung Sate.
Bayu tersenyum getir. “Like we used to do, ya.”
Dijawab dengan anggukan, kedua manusia tersebut sudah melenggang berdampingan menuju masjid. Bayu, pergi tuk tunaikan ibadah. Sementara Andra, mengikuti tuk sekedar menunggu lelaki tersebut hingga selesai menunaikan ibadahnya.
Terlihat bahagia, namun menyesakan.
Sangat.
**
Lima belas menit berlangsung, keluarlah sosok yang ditunggu, bersamaan dengan para jamaah sholat lainnya.
Dan Andra menahan nafas mati-matian. Sudah lama sekali ia tak menikmati pemandangan ini. Bayu yang baru saja menunaikan sholat, dengan rambut basah pasca wudhu yang ia lakukan. Itulah pemandangan yang paling menyejukkan hati, bagi Andra
“Hayo, masih naksir sama rambut aku yang basah, ya?” tebak Bayu, seolah tau pikiran Andra.
“Sok tau deh, kamu..” kilahnya.
“Alaaah, ngaku ajaaa...”
Andra memutar bola matanya. “Ada deh.”
“Ngomong-ngomong... Makasih, ya, udah tungguin aku..”
“Iya... Dan aku mau, kok, menemani kamu sholat terus. Sampai besok, besoknya lagi, dan besok hingga rambut kita sama-sama putih.”
Glek.
“Maksudnya?” tanya Bayu, pura-pura tak paham.
Andra mengendikkan bahunya. “Udah, ah, ayok jalan-jalan. Katanya, mau jadi tour guide?”
“Oh iya. Ayo,” ajak Bayu.
Dan mereka, mulai mengelilingi bangunan ini, sembari sesekali bercerita. Tepatnya, Andra bertanya, sementara Bayu sibuk menjelaskan tentang jawaban dari pertanyaan Andra tersebut.
“Gedung ini dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda,” kata Bayu, buka suara.
Gedung Sate, ikon Kota Bandung nomer satu. Berdiri megah menghadap utara Gunung Tangkuban Perahu ini memang tidak mudah diakses oleh warga kota Bandung, karena gedung ini memang digunakan sebagai gedung pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Namun keadaan ini berubah sejak Museum Gedung Sate mulai dibuka untuk umum pada bulan Desember 2017. Museum yang dibuka dari hari Selasa hingga Minggu dari jam setengah 10 pagi sampe jam 4 sore ini hanya mengenakan biaya masuk 5 ribu rupiah aja.
“Pada pemerintahan belanda gedung ini disebut Gouverments Bedrijven atau GB dirancang oleh tim ahli dari belanda yang terdiri dari arsitek muda Ir. J. Gerber, Ir.Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks. Proses pembangunan ditangani oleh Generate van bandoeng yang diketuai oleh Kol. Pur. VL. Slors. Dimana dalam proses ini melibatkan 2000 tenaga kerja ahli yang terdiri dari 150 orang ahli bongpay pengukir batu nisan dan kayu kebangsaan cina. Selain itu, 2000 pekerja tersebut merupakan warga sekitar kota bandung saat itu,” ucap Bayu, sembari mengambil gambar dari segala sisi gedung ini, menggunakan DSLR kesayangannya.
Mereka mengambil foto berulang kali. Seperti biasa, mereka saling memfotokan satu sama lain; dan juga memperdayakan wisatawan lain untuk mengambil gambar mereka berdua. Sungguh, Bayu dan Andra, seperti pasangan muda yang baru saja menikmati bulan madu mereka.
“Aku kagum sama bentuk bangunan ini. Kesannya... Luar biasa. Aku sampai heran, kok bisa ya, ada manusia merancang bangunan seperti ini...” Andra berdecak kagum.
“Ini dikarenakan gedung ini memiliki sentuhan Khas Eropa yang di padu dengan nuansa arsitektur tradisional nusantara. Dalam bukunya Bandoeng en haar Hoigvlagtet tahun 1952, Ruhl mengatakan bahwa Gedung Sate adalah bangunan terindah di Indonesia..” Bayu, mencoba menjelaskan.
“Superrr. Google berjalan, ya, kamu,” puji Andra.
“Ah, bisa aja... Bapakku yang kasih tau semuanya. Dan aku masih sedikit ingat...” Bayu mencoba mengingat kalimat demi kalimat, yang bapaknya jelaskan tuk mendeskripsikan tentang gedung ini padanya.
Kemudian, Bayu melanjutkan lagi. “Perpaduan arsitek bernuansa timur dan barat pada gedung ini bertemakan Renaissance Italia. Jendelanya bergaya spanyol, menara gedung memiliki atap pura Bali dan Pagoda dari Thailand. Nah, desain arsitektur bangunan yang seperti inilah yang membuat Gedung Sate Bandung menjadi unik dan indah di mata kalangan ahli bangunan ternama di dunia.”
“Wah... Keren...”
“Terus, selain itu ciri khas dari bangunan gedung ini berupa ornamen tusuk sate di menara sentralnya. Makanya, namanya Gedung Sate...”
Andra tertawa. “Aku kira, Gedung Sate itu karena banyak penjual sate di dalamnya. Ternyata bukan, ya?”
“Bukan, lah, Ndra..”
“Hahahaha..”
Keindahan wisata Gedung Sate Bandung tak hanya ada pada ornamen dari menara gedung yang mirip tusuk sate. Namun juga pada taman di sekeliling gedung yang tertata rapi dan terawat secara baik. Bahkan tanaman hijau di taman tersebut sengaja dibuat tulisan Gedung Sate Bandung. Di taman tersebut Dolaners dapat berfoto-foto dengan keindahan taman yang ada serta latar belakang Gedung Sate Bandung.
Mereka pun menjelajah. Dan mereka menemukan beberapa keunikan di dalam museum ini. Terdapat gambaran pemaparan perkembangan kota Bandung dan pembangunan Gedung Sate yang ditampilkan dengan menggunakan kombinasi proyeksi pada layar datar dan video mapping pada maket yang konturnya dibuat menyerupai kontur dataran Bandung. Selain itu, ada pula tiga buah layar sentuh sehingga pengunjung dapat berinteraksi untuk menampilkan profil Gubernur Jawa Barat dari masa ke masa.
Unik, kan?
“Cari kuliner, yuk? Aku mulai capek,” kata Andra.
Bayu mengangguk. “Ayo. Aku tau tempat enak di sekitar sini. Tapi, itu kedai kopi, sih..”
“Nggak masalah. Aku nggak laper. Cuma pengen cari tempat aja biar bisa istirahat. Di kedai kopi malah enak, bisa sambil minum kopi, kan...”
“Oke. Ayo,” ajaknya.
Hingga kaki mereka mulai merasa lelah, mereka pun akhirnya memutuskan tuk mencari kuliner di sekitar Gedung Sate, tuk sekedar menikmati menu yang ada, sembari meluruskan kaki yang mulai kaku karena seharian berjalan.
*
Mereka mampir di salah satu kedai kopi, yang berada di samping kanan Gedung Sate. Kedai tersebut bernama Java Preanger Coffee House.
Ada berbagai macam kopi yang bisa dinikmati di sini, seperti kopi rasa buah nangka, coklat, dan lainnya. Satu cangkir kopi ini dihargai sekitar dua puluh ribu rupiah.
“Kok unik, ya? Lucu nggak, sih, kopi rasa nangka?” tanya Andra, mengerutkan kening.
“Ya.. Lucu.. Tapi itulah khasnya...”
“Khasnya?” tanya Andra. “Rasa nangka?”
“Java preanger merupakan salah satu kopi yang banyak di cari oleh para pecinta kopi di Indonesia.” Bayu mulai membuka suara, dan meniapkan diri tuk menjadi tour guide kilat, untuk Andra. “Karakter kopi java preanger terletak pada aroma dan rasanya yang sangat kuat. Aroma yang menjadikannya unik adalah wangi bunga. Membuat peminumnya merasakan relaksasi tubuh saat menghirup aromanya.”
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Andra dan Bayu memutuskan tuk memesan menu yang sama. Yaitu kopi rasa nangka, yang memang menjadi best seller di kedai ini.
“Gimana? Enak?” tanya Bayu.
“Enak, sih.. Aku suka.. Rasanya ringan. Nggak berat...”
“Nah. Itu karena, java preanger coffee ini memiliki tingkat keasaman yang tidak terlalu tinggi.. Makanya rasanya ringan...”
“Oh, gitu...”
Menyesap kopi milik masing-masing, dengan isi pikiran masing-masing, hingga akhirnya, Bayu memberanikan diri tuk membuka suaranya.
“Ndra?” panggil Bayu, pelan.
“Kenapa?”
“Kamu... Kok tadi bilang kalau mau menemani aku sholat terus. Sampai besok, besoknya lagi, dan besok hingga rambut kita sama-sama putih... Itu maksudnya, apa?” tanya Bayu.
Andra menyesap kopinya. “Aku tau kamu paham, Gi...”
“Aku paham. Hanya saja, ada beberapa bagian yang rancu..”
“Yang mana?”
“Kamu mau nemenin aku sampai tua?” tanya Bayu, lagi.
“Iya.”
“Meski kita berada dalam benteng yang berbeda?” Bayu menatap Andra penuh selidik.
Andra menggeleng. “Nggak.”
“Loh?”
“Kita bisa, kok, jadi satu benteng,” jawab Andra cepat.
Deg.
“Aku bersedia ikut kamu,” lanjutnya, lagi.
Dan pernyataan Andra baru saja, membuat jantung Bayu berdebar ribuan kali. Ini bukan efek kopi. Namun ini efek kalimat Andra.
“Ikut aku? Pindah agama, maksudnya?” tanya Bayu, memastikan, apakah ia halusinasi atau memang ini semua nyata.
“Iya.”
“Kenapa?”
Andra menghela nafas. “Karena aku tau, semua agama sama. Sama-sama mengajarkan kebaikan..”
Klasik, dan klise.
Semua agama memang mengajarkan kebaikan. Dan semua orang pasti paham itu. Namun, perkara pindah agama, bukanlah semudah membalikan telapak tangan. Semua butuh proses.
Rasanya, Andra bagai wanita yang pasrah karena tak kunjung menemukan cintanya. Hingga akhirnya, ia sanggup tuk menyerah, bahkan siap tuk mengganti salah satu identitas dirinya, yaitu agama.
“Kenapa baru sekarang?” tanya Bayu, gamblang.
Andra tersenyum masam. “Setelah pisah sama kamu, aku baru berpikir tentang semuanya... Aku baru menyelami agama kamu pelan-pelan... Dan ternyata, sangat indah...”
Bayu tak bisa berkata-kata. Ia senang, jika Andra memiliki pemikiran demikian. Ia senang, jika Andra memiliki pandangan baik tentang agama yang Bayu jalankan. Namun lagi-lagi, waktunya salah.
“Diandra?” panggil Bayu.
“Iya, kenapa?”
Sesak rasanya. Namun jahat, jika Bayu terus menyembunyikannya. Lama-lama, Andra akan tau dengan sendirinya.
“Apa kamu tau...” Bayu menggantung kalimatnya. Membulatkan tekadnya, dikala mulutnya tak mampu tuk berkata sepenuhnya.
“Tau soal apa?”
Dan dalam satu tarikan nafas, Bayu mengucapkan semuanya, secara gamblang dan sempurna. “Apa kamu tau, kalau aku sudah bertunangan dengan orang lain?”
Deg.
Rasa bersalah muncul, Bayu berhasil menyelesaikan ucapannya. Tak sampai hati, rasanya.
“Oh... Selamat,” kata Andra, canggung.
Sungguh, setelah puluhan purnama, baru kali ini air mata muncul di pelupuk mata Andra. Tadi, Andra masih tertawa. Dan dalam hitungan detik, tawanya musnah, digantikan dengan air mata yang memaksa diri tuk keluar.
Dan itu semua, karenanya.