Loading...
Logo TinLit
Read Story - Langit Biru Istanbul
MENU
About Us  

Pagi itu cahaya matahari menyelinap pelan ke dapur rumah tua melalui jendela kecil di atas wastafel. Aroma kopi Turki sudah lebih dulu mengambang di udara saat Ameera turun dari kamar. Ia melihat Hatice Hanım duduk di kursi kayu, mengenakan apron bergambar bunga delima, tengah menggiling kopi dengan alat kuningan tua.

“Günaydın, kızım,” sapa Hatice sambil tersenyum.

“Günaydın, Babaanne,” jawab Ameera, lalu mencuci tangan dan mulai mengeluarkan bahan-bahan dari kantong belanjaan kemarin.

Dapur itu kecil, tapi hangat. Ubin lantainya bermotif kuno, dan lemari kayunya menyimpan piring-piring porselen tua. Di sudut jendela, pot kecil berisi tanaman mint dan basil tumbuh subur. Di atas meja kayu, Ameera mulai menyusun bawang, cabai, dan sayuran.

“Kita mulai dari sayur asem dulu ya,” katanya sambil menoleh.

Hatice mengangguk antusias. “Apa pun yang kamu masak, aku siap untuk mencobanya.”

Ameera mulai mengiris bawang dan cabai. Ia menjelaskan pelan-pelan, “Sayur ini biasanya kami makan saat cuaca panas. Tapi aku pikir cocok juga di sini, karena kuahnya segar.”

Ia menumis bumbu dalam minyak panas, dan dalam sekejap, aroma bawang putih dan lengkuas memenuhi dapur. Hatice terdiam sejenak, lalu menghirup dalam-dalam.

“Hmm… wanginya kuat, tapi tidak seperti makanan Turki.”

Ameera tersenyum.

Saat air dalam panci mulai mendidih, ia memasukkan jagung, buncis, labu, dan tomat. Lalu mencicipi sedikit kuah dengan sendok kayu.

Hatice mendekat dan ikut mencicip. Matanya berbinar. “Asam, tapi segar. Ada rasa manis juga… ini aneh tapi enak.” 

“Kalau kentang kukus ini, akan kamu masak jadi apa?” tanya Hatice antusias.

“Aku mau bikin perkedel kentang. Kamu bisa bantu aku bentuk bulat-bulat?” kata Ameera sambil mengambil mangkuk perkedel 

Hatice tertawa kecil. “Aku tukang roti dulunya, tentu aku bisa membuat bulatan kentang itu!”

Mereka bekerja berdua di meja dapur. Ameera menghaluskan kentang, mencampur dengan daging cincang, daun bawang, dan telur. Hatice mulai membentuk bulatan-bulatan kecil dan meletakkannya di atas nampan. Di sela kesibukan itu, mereka bercerita—tentang masa kecil Ameera di Palembang, tentang masa muda Hatice di Bursa, tentang makanan, cinta, dan kehilangan.

“Suamiku dulu suka makan pedas,” ujar Hatice pelan sambil membolak-balik perkedel. “Tapi tidak sepedas sambal mungkin.”

Ameera tertawa. “Kalau beliau masih ada, mungkin aku sudah masak sambal khusus untuknya.”

Saat semua hidangan selesai, meja makan penuh: semangkuk besar sayur asem berwarna cerah, perkedel keemasan, sepiring nasi hangat, dan satu gelas teh melati yang Ameera bawa dari Indonesia. Hatice memandangi semuanya dengan takjub.

“Aku tak pernah menyangka, akan makan makanan Indonesia di rumah ini,” katanya.

“Dan saya tak pernah menyangka, akan memasaknya di dapur Turki,” sahut Ameera pelan.

Di lantai atas, suara langkah kaki terdengar sesaat, "Itu pasti Emir" gumam Hatice. 

Tapi tak lama, hening kembali. Ameera sempat menoleh ke atas, namun tidak ada wajah Emir yang mendekat ke meja makan.

"Emir...." panggil Hatice "Öğle yemeği hazır, hadi yiye! 

"Evet Canım, Aku akan segera kesana," pekik Emir. Tak lama kemudian suara langkah kaki turun dari lantai dua terdengar jelas. Emir berjalan menuju meja makan dan bergabung makan siang bersama Babaanne dan Ameera.

Tak ada suara yang keluar dari mulut Emir, ia hanya fokus pada makanannya. Kontras dengan Ameera dan Hatice yang mengobrol panjang dengan ceritanya masing-masing.

***

Siang harinya Ameera memutuskan untuk keluar sendiri. Cuaca sedang cerah, dan katanya, Spice Bazaar adalah tempat yang wajib dikunjungi.

Ia turun dari trem di Eminönü, melangkah melewati para pedagang simit dan pengemis tua yang duduk bersandar di tiang. Peta digital di ponselnya berputar-putar tanpa arah. Ameera menghela napas.

“Belok kanan,” katanya pelan, “atau... kiri?”

Salah. Ia masuk ke lorong kecil penuh toko rempah. Warnanya indah dari kuning kunyit, merah cabai, hijau mint kering. Tapi semuanya tampak sama. Ia celingukan.

“Kamu kelihatan kayak turis yang nyasar,” kata suara di belakangnya.

Ameera menoleh. Emir berdiri tak jauh, kamera di tangan, mengenakan jaket hitam dan syal abu-abu.

“Emir?”

Ia mendekat, agak lega, agak bingung juga.

“Lagi memotret?” tanya Ameera.

“Selalu,” jawabnya singkat dan dingin, karena dirinya terpaksa mengikuti Ameera karena permintaan Hatice.

Ameera menatap ke arah kameranya. “Kamu sering ke sini?”

“Sering. Tapi nggak buat belanja.” Jawabnya sedikit ketus. Kemudian Ia mengarahkan kameranya ke arah seorang pedagang rempah tua yang sedang menata botol kaca. Klik.

“Jadi... kamu motret orang?”

“Orang. Bayangan. Cahaya. Apapun yang nggak bicara terlalu banyak.” Jawab Emir tanpa sedikitpun menoleh ke arah Ameera.

Ameera menahan senyum. “Kayaknya kamu juga begitu,” ledek Ameera.

Emir meliriknya. Tak tersinggung, tapi juga tak membalas. “Mau aku tunjukin jalan ke pintu keluar?” tanyanya dingin.

“Kalau nggak merepotkan…” jawab Ameera pelan sampai hampir tidak terdengar. "Tapi aku mau beli teh Apel, dan kacang-kacangan terlebih dahulu," lanjutnya

“Oke ikuti aku, khawatirnya kamu nyasar disini, Babaanne bilang aku lalai jaga tamu rumah,” ujarnya datar.

Mereka berjalan beriringan melewati gang sempit di antara toko-toko tua. Sesekali, Emir berjalan lebih cepat dibandingkan Ameera yang membuat Ameera harus mempercepat langkahnya untuk mengimbangi Emir.

Tidak ada percakapan sepanjang perjalanan, hanya ada diam namun berisik olah suara penjual yang sedang menawarkan barang dagangannya.

Akhirnya Ameera menemukan barang yang ingin dia beli. Teh Apel, daun mint dan kacang-kacangan. "Teşekkür ederim Emir," 

Emir tidak menjawabnya, ia hanya tersenyum simpul.

***

Sore hari, mereka duduk di bangku taman dekat Galata. Penjual teh lewat menawarkan gelas kecil berwarna bening. Ameera mengambil satu.

“Teh apel?” tanya Emir.

Ameera mengangguk. “Favoritku.”

Emir mengambil teh biasa. “Manis atau pahit?”

“Manis. Seperti harapan,” jawab Ameera sambil tersenyum.

Emir tak membalas, tapi matanya menatap ke arah langit.

"Ameera!" 

Terdengar suara wanita memanggil namanya, Ameera mencari ke sekelilingnya mencari sumber suara itu.

"Emir, kamu dengar nggak kalo ada yang panggil nama aku?" Tanya Ameera.

Emir mengangguk.

"Ameera!" Suara itu mendekat dari arah belakang Ameraa. 

Ameera menoleh ke belakang, dan ternyata itu Lejla. Ameera tersenyum ke arah Lejla, meminta ia mendekat ke arahnya. "Lejla come here!" pekik Ameera.

Lejla melangkah cepat, rambut panjangnya tertiup angin saat ia menyebrangi jalan kecil menuju taman. Pipinya memerah, entah karena udara dingin atau antusiasme melihat Ameera.

“Ameera! Ya Allah, akhirnya kita ketemu lagi!” serunya dengan logat khas Bosnia-nya yang lembut. Ia langsung memeluk Ameera erat.

Ameera tertawa kecil. "Iya, aku sangat merindukanmu,” ujar Ameera bercanda kemudian melepaskan pelukannya.

“Aku juga," Lejla menepuk pelan pundak Ameera. "Dua insan yang saling merindukan pasti Allah pertemukan dengan cara tidak terduga," lanjutnya sambil tertawa kecil. 

Ameera menawarkan Lejla teh "mau minum teh?" tawarnya.

"Boleh," jawab Lejla singkat, kemudian melirik ke arah Emir yang masih duduk tenang di samping Ameera. “Sebentar... ini pasti pacarmu, ya?”

Ameera tersedak teh apel yang baru saja diminumnya. “Ha? Hah?! Bukan! Lejla, ini Emir. Dia temanku. Bukan pacar.”

Emir hanya tersenyum kecil, menunduk sopan. “Halo.”

Lejla tampak canggung sesaat, lalu tertawa menutupi rasa malunya. “Oh! Maaf… aku kira… cara kamu lihat dia tadi tuh… ya, kamu ngerti lah…”

Ameera menoleh ke Emir, lalu cepat-cepat menatap ke depan lagi. Ia bisa merasakan pipinya memanas. “Ya ampun, Lejla…” batinnya.

Lejla duduk di sisi lain bangku, di antara keduanya. “Jadi, kalian teman?” tanyanya, menatap Emir dengan penasaran.

“Teman satu rumah. Aku tinggal di bawah, Ameera di atas. Kami kebetulan sering ketemu karena... ya, kota ini kecil,” ujar Emir singkat, nadanya tenang tapi terdengar tidak keberatan.

Lejla menatap Ameera, menahan senyum geli. “Teman satu rumah, huh?”

“Lejla…” Ameera memelototinya.

“Baiklah, baiklah,” Lejla mengangkat tangan, pura-pura menyerah. “Tapi serius, aku senang banget bisa ketemu kalian di sini. Istanbul terlalu besar untuk merasa sendirian.”

Emir mengangguk. “Tapi cukup kecil untuk mempertemukan orang pada waktu yang tepat.”

Lejla menatap Emir, sejenak terdiam. Lalu ia berkata, “Kamu penyair atau fotografer?”

“Fotografer,” jawab Emir.

“Pantes. Cara kamu bicara kayak orang yang terbiasa melihat sesuatu lebih dalam dari yang kelihatan.”

Emir hanya menanggapi dengan senyum samar.

Ameera mencubit lengan Lejla pelan. “Udah, jangan ngerusuh.”

“Enggak kok, aku suka suasana kayak gini,” kata Lejla. “Kayak adegan dalam film. Tiga orang asing, duduk di bangku taman, di bawah langit Galata, minum teh dari gelas bening, ngomongin hidup.”

Ketiganya terdiam sejenak, membiarkan suasana meresap. Langit di atas mereka mulai berubah warna biru keemasan, lalu tembaga. Burung-burung camar melintas rendah, dan azan maghrib mulai terdengar dari kejauhan.

***

Langit Istanbul sudah berubah menjadi bentangan kelam bertabur cahaya. Gemerlap lampu kota menyebar pelan-pelan di permukaan jendela kamar Ameera, membentuk bayang-bayang yang bergerak seiring langkah waktu.

Ameera baru saja tiba di kamarnya. Ranselnya diletakkan di sudut, dan kerudungnya dilepas perlahan. Rambutnya sedikit berantakan, tapi ia biarkan saja. Masih ada sisa senyum di wajahnya, namun tak lagi selebar tadi siang.

Kebersamaannya dengan Lejla dan Emir terasa hangat, tapi menyisakan ganjalan yang tak bisa ia namai. Ia merebahkan diri di atas kasur, menatap langit-langit kayu yang menguning dimakan usia.

“Pacarmu, ya?”

Kalimat Lejla berputar lagi di kepalanya. Entah mengapa kalimat itu menusuk lebih dalam dari seharusnya. Ia tahu itu hanya salah paham, celetukan khas Lejla yang impulsif. Tapi mengapa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat saat Emir menunduk dan hanya menjawab, “Teman satu rumah”?

Ameera menatap ke jendela. Di luar sana, lampu-lampu jalan masih hidup. Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Tapi yang membuatnya terusik bukan keramaian Istanbul, melainkan keheningan di dalam dirinya sendiri.

Ia berjalan ke meja kecil di dekat tempat tidur. Membuka jurnal perjalanannya, buku kulit tua yang mulai lusuh di ujung-ujungnya. Di sana, ia menulis:

Hari ini aneh! Hari ini aku nyasar, lalu ketemu Emir. Dia masih dingin, tapi sekarang aku tahu kalau dia nggak seangkuh yang kukira.

Kami pergi ke Galata, hanya duduk di bangku taman. Minum teh dari gelas bening. Sedikit bicara, tapi kenapa rasanya seperti halaman pertama dari sesuatu yang lebih panjang?

Lejla mengira Emir pacarku. Lucu ya!, tapi saat itu Emir tidak langsung membantah dan hanya diam sebentar. Ada sesuatu yang bergerak di dadaku. Bukan marah, bukan malu, hanya bingung.....

Apakah mungkin kita bisa menyukai seseorang hanya karena caranya diam?

Ia menutup buku itu dan menatap langit dari balik tirai.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi dari Instagram.

emir.bey just posted a photo.

Ia membukanya. Sebuah foto hitam putih. Seorang perempuan muda dengan kerudung warna muda duduk di bangku taman, memegang gelas teh apel. Pandangannya tidak ke kamera, tapi ke langit. Wajahnya teduh. Tersenyum pelan. Latar belakangnya, burung-burung camar terbang di atas menara Galata.

Ameera menelan ludah. Itu dirinya.

Foto itu diambil diam-diam. Tapi anehnya, tak ada rasa terganggu. Hanya degupan yang semakin cepat.

Tanpa pikir panjang, ia mengetik komentar.

ameera.chaudhary: “Kapan kamu ambil foto ini?"

Tak lama, balasan datang.

emir.bey: "Saat kamu tidak sadar sedang bahagia."

Ameera menatap layar ponselnya lama. Lama sekali.

Malam makin larut. Tapi matanya belum mengantuk. Ia hanya duduk di kasur, memeluk bantal, mendengar detak jantungnya sendiri yang kini mulai tak biasa.

***

Note:

Günaydın: Selamat Pagi

Öğle yemeği hazır: Makan siang sudah siap

Hadi yiye!: Ayo makan!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
What If I Die Tomorrow?
424      270     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
Segaris Cerita
529      292     3     
Short Story
Setiap Raga melihat seorang perempuan menangis dan menatap atau mengajaknya berbicara secara bersamaan, saat itu ia akan tau kehidupannya. Seorang gadis kecil yang dahulu sempat koma bertahun-tahun hidup kembali atas mukjizat yang luar biasa, namun ada yang beda dari dirinya bahwa pembunuhan yang terjadi dengannya meninggalkan bekas luka pada pergelangan tangan kiri yang baginya ajaib. Saat s...
KETIKA SENYUM BERBUAH PERTEMANAN
536      379     3     
Short Story
Pertemanan ini bermula saat kampus membuka penerimaan mahasiswa baru dan mereka bertemu dari sebuah senyum Karin yang membuat Nestria mengagumi senyum manis itu.
Heartbeat
222      175     1     
Romance
Jika kau kembali bertemu dengan seseorang setelah lima tahun berpisah, bukankah itu pertanda? Bagi Jian, perjumpaan dengan Aksa setelah lima tahun adalah sebuah isyarat. Tanda bahwa gadis itu berhak memperjuangkan kembali cintanya. Meyakinkan Aksa sekali lagi, bahwa detakan manis yang selalu ia rasakan adalah benar sebuah rasa yang nyata. Lantas, berhasilkah Jian kali ini? Atau sama seper...
Foto dalam Dompet
530      371     3     
Short Story
Karena terkadang, keteledoran adalah awal dari keberuntungan. N.B : Kesamaan nama dan tempat hanya kebetulan semata
RAIN
673      451     2     
Short Story
Hati memilih caranya sendiri untuk memaknai hujan dan aku memilih untuk mencintai hujan. -Adriana Larasati-
Kesetiaan
450      325     0     
Short Story
Cerita tersebut menceritakan tentang kesetiaan perasaan seorang gadis pada sahabat kecilnya
Putaran Roda
567      382     0     
Short Story
Dion tak bergeming saat kotak pintar itu mengajaknya terjun ke dunia maya. Sempurna tidak ada sedikit pun celah untuk kembali. Hal itu membuat orang-orang di sekitarnya sendu. Mereka semua menjauh, namun Dion tak menghiraukan. Ia tetap asik menikmati dunia game yang ditawarkan kotak pintarnya. Sampai akhirnya pun sang kekasih turut meninggalkannya. Baru ketika roda itu berputar mengantar Dion ke ...
My Big Bos : Mr. Han Joe
635      387     2     
Romance
Siapa sih yang tidak mau memiliki seorang Bos tampan? Apalagi jika wajahnya mirip artis Korea. Itu pula yang dirasakan Fraya ketika diterima di sebuah perusahaan franchise masakan Korea. Dia begitu antusias ingin segera bekerja di perusahaan itu. Membayangkannya saja sudah membuat pipi Fraya memerah. Namun, apa yang terjadi berbeda jauh dengan bayangannya selama ini. Bekerja dengan Mr. Ha...
Sang Musisi
379      245     1     
Short Story
Ini Sekilas Tentang kisah Sang Musisi yang nyaris membuat kehidupan ku berubah :')