“Nah, telur tomat dengan rasa yang pantas disajikan.” Induk semang meletakkan piringnya di atas meja makan tinggi. Meja itu terlihat transparan dari atas, tipe meja makan jadul yang biasa dipakai.
“Terima kasih bi.” Tentu Alice masih belum terbiasa kalau tiba-tiba ia harus memanggil induk semang sebagai nenek. Ia pastinya sudah menghargai dan juga melihat induk semang sebagai nenek kandungnya. Meskipun hal itu harus dipastikan melalui tes DNA.
Hidupnya menjadi lebih baik selama dua pekan ini. Induk semang membiayai hampir seluruh kebutuhannya, meskipun begitu, gadis itu tetap bekerja di kafe sampai larut malam karena ia membutuhkan uang untuk dirinya sendiri.
“Sudah kau putuskan? Berhentilah-lah bekerja, aku punya banyak uang yang bisa kau gunakan. Tinggal katakan saja nominalnya-“ belum selesai induk semang berbicara, Alice sudah menggeleng dengan mulutnya dipenuhi suapan nasi yang besar.
Ia benar-benar merasa beruntung sekaligus bersyukur karena tidak perlu kelaparan, memiliki kamar yang nyaman untuk ditinggali bahkan setiap paginya meja makan sudah dipenuhi menu-menu masakan buatan induk semang.
Ia juga sudah mencoba ayam mentega buatan bibi sebelah rumah, benar-benar lezat seperti yang digosipkan para arwah gentayangan.
Entah karena perasaan senang atau apa, lama kelamaan ia semakin tidak bisa melihat arwah gentayangan lagi. Sosok mereka lama-kelamaan semakin menghilang, semakin tidak jelas di balik gelap, semakin bersinar di bawah sinar matahari.
Apakah kemampuan ini memang hanya bersifat sementara? Atau ia juga sama seperti para arwah gentayangan itu? Ia sudah menemukan apa yang selama ini menjadi beban di hatinya, melepaskan beban itu artinya ia sudah merasa puas.
Meski begitu, di sisi hatinya yang lain. Ia tetap berharap kemampuannya masih sama, tidak berubah. Mungkin saja, lelaki itu kembali lagi, mungkin saja ia tidak menghilang di malam hari itu.
Alice memandangi piringnya, terdapat pantulan wajahnya di sana. Gadis itu memainkan sendoknya di sana, membuyarkan pantulannya.
“Bibi, tidak apa-apa. Aku senang bekerja, karena lelah bisa membuatku lebih cepat tertidur.” Lagi-lagi ia tersenyum.
“Baiklah.” Induk semang balik tersenyum, ia mengusap lengan Alice. “Jadi bagaimana telur tomat masakanku? Tidak seburuk masakan ibumu, kan?”
Alice tak bisa menahan tawanya mengingat betapa buruknya rasa masakan ibunya itu. Benar-benar mirip dengannya, memasak masakan yang tidak pantas dimakan.
“Benar, ini seratus kali lebih enak ketimbang masakan ibu!” tawa keduanya menggelegar di ruangan yang saat ini berbeda dengan ruangan yang ditinggali Alice dua pekan lalu. Rasanya tawa mereka membuat sebuah kehidupan yang lebih baik lagi.
Akhir-akhir ini Alice berangkat bekerja lebih pagi karena kelas kuliahnya ditiadakan secara mendadak hari ini. Ia mulai belajar cara membuat kopi yang benar, serta kelas memanggang dengan David di waktu luangnya. Ia ingin belajar banyak hal saat masih bisa.
Sebelum pergi, ia sempat mengecek donasi yang sempat ia sebarkan melalui media sosialnya untuk biaya operasi anak dari paman pekerja konstruksi yang meninggal itu. Ia juga sempat pergi ke ruang ICU saat menyerahkan semua dana yang bisa ia kumpulkan. Di sana, sangat ramai, ia juga sempat mencari nama Joseph, tentu saja lelaki itu sudah tidak terbaring di sana. Entah ke mana cahaya matahari membawanya pergi.
Saat keluar dari pintu utama, ia menemukan seorang lelaki dengan masker serta kacamata di wajahnya berdiri di depan pintu gerbang kecil.
Alice membukakan pintu gerbang kecil itu, apa mungkin orang itu mencari kamar? Sedangkan kamar tersisa hanyalah kamar loteng.
“Maaf?” sela Alice.
“Ah, pemiliknya ada? Saya mencari kamar untuk ditinggali.”
“Satu-satunya kamar yang tersisa hanyalah kamar kecil di loteng. Kalau kau mau melihatnya, aku bisa mengantarmu. Aku masih ada waktu setidaknya satu jam lagi.” Alice mengecek jamnya.
Lelaki itu hanya memantukkan kepalanya tanpa melepaskan masker di hari yang super panas dengan sinar matahari menyengat.
Mereka berdua kembali masuk, induk semang belum siap merapikan ruangannya. Jadi Alice langsung mengambil kunci pintu dari balik rak di meja informasi. Kunci yang dengan sengaja ia berikan gantungan kunci bergambar nasi.
Melelahkan bahkan untuk Alice menaiki tangga sampai ke atas sana. Lelaki itu juga berjalan lebih perlahan, sambil terus menarik napas panjang. Sepertinya ia tidak akan suka kamar loteng yang sempit.
Alice memasukkan kunci, memutar kenopnya dan mempersilahkan lelaki itu masuk. Lelaki itu meletakkan koper besarnya di luar.
“Silahkan lihat-lihat saja, semua yang ada di sini bisa digunakan. Kulkas, kompor, rak-rak dinding, bahkan air di kamar mandi juga masih lancar. Hanya saja lebih sempit, dan harga sewa lebih murah.” Alice menambahkan, ia bersandar di pintu kemudian acuh tak acuh langsung pergi dari sana.
Baru saja ia menuruni tangga pertama, Alice teringat pintu kulkasnya. Masih banyak coretan-coretan yang lupa ia ambil dari sana. Dengan secepat kilat, ia berlari menciptakan suara dentuman besar di lantai.
Gadis itu langsung mendobrak pintu, tapi ia terlambat.
Lelaki itu masih mengenakan masker bahkan kacamatanya, memandangi setiap kertas notes yang tertempel di pintu kulkas secara perlahan. Raut wajahnya tidak terlihat, tapi Alice tau, lelaki itu pasti berpikir bahwa Alice dulunya mencari tau tentang lelaki bernama Joseph itu, bahkan sampai menuliskan fakta-fakta rahasia.
Sial, sekarang ia tidak akan digosipkan oleh arwah gentayangan lagi, tapi seorang manusia hidup! Induk semang pasti akan kecewa berat. Padahal saat induk semang melihat kertas notes itu, ia juga bertanya banyak macam kepada Alice. Mengira gadis itu jatuh cinta dengan lelaki bernama Joseph. Memang benar ia menyukainya, tapi kan Joseph sudah tidak ada. Jadinya ia malah tidak bisa menceritakan bahwa ia menyukai orang yang sudah tiada di dunia ini.
“Itu- itu! Hanya nota kecil, kau bisa mengabaikannya.” Alice bergerak maju, menutupi pintu kulkas dengan separuh tubuhnya.
Gadis itu tidak bisa merubah raut wajahnya, ia separuh tersenyum dengan alis berkerut.
Lelaki itu mendeguskan tawanya, ia menutup separuh wajahnya dan tertawa dengan keras. Perlahan-lahan tangannya membuka kacamata miliknya, serta masker yang masih ia pakai. Sekarang, wajah tampannya terpampang dengan jelas.
Mirip sekali, benar-benar mirip dengan seseorang yang gadis itu kenal. Joseph, benar, Seseorang mirip Joseph sekarang berdiri di depannya.
Alice menepuk-nepuk pipinya tidak percaya, sedangkan lelaki itu memandanginya dengan sorot mata sendu. Gadis itu meraih wajah lelaki itu, lalu menarik kembali tangannya. Namun, Joseph malah menarik kembali tangan gadis itu, meletakkannya di wajahnya.
“Hah?” pekik Alice tak percaya. “Kau?”
“Aku, Joseph. Bukankah seharusnya kau mengucapkan ‘selamat datang’ padaku?”
“Ah- iya- aku...” lagi-lagi jantungnya berdegup kencang, seluruh wajahnya panas. Alice menyeka matanya yang berair dengan tangannya yang satunya. Aneh sekali, sedetik yang lalu ia tidak ingin mencampuri lelaki ini, dan sekarang ia menemukan orang yang seharusnya sudah meninggal malah hidup.
Pipi lelaki itu terasa hangat. Ia tidak menangis, hanya terus mengemban senyumnya yang paling indah.
Joseph menarik tubuh Alice, dekat dengannya. Sampai keduanya bisa merasakan degup jantung satu sama lain. Alice mendekap lelaki itu lebih erat lagi.
Perasaan apa ini? kenapa aku tiba-tiba seolah merindukannya lagi? pikir Alice sekarang.
“Maaf yah, aku datang lebih terlambat. Setelah menghilang hari itu, kukira aku akan melihat bagaimana suasana alam baka. Siapa yang duga saat membuka mata, aku malah mendapati kedua orang tuaku di sana? banyak orang berkeliling disekitarku. Ibuku menggengam tanganku erat-erat, sedangkan ayahku mengusap dahiku. Keduanya menangis tersedu-sedu, sedangkan orang yang memakai masker itu merasakan sebuah mukjizat.” Jelas lelaki itu.
Alice mengangguk-anguk, sekarang ia bisa merasakan baju Joseph basah karena air matanya.
“Seharusnya aku langsung mencarimu saat bangun, tapi aku harus melakukan pengecekkan, fisioterapi, psikologi untuk trauma pasca kecelakaan. Wah, aku sampai muak, jadi aku menundanya sampai aku punya muka untuk bertemu denganmu. Untung saja aku membawa ingatan saat masih menjadi hantu.” Joseph mengelus kepala gadis itu, perlahan-lahan menguraikan rambut gadis itu menggunakan tangannya.
“Jadi, kau tidak akan pergi lagi, kan?” Alice mengangkat kepalanya.
“Janji, tidak akan pergi lagi. Karena itu, sekarang dan kedepannya adalah kesempatan kedua bagi kita berdua, mengenal satu sama lain dan menjalin hubungan.”
“Tidak perlu menunggu di kehidupan selanjutnya?” tanya Alice lagi.
“Hahahah, hubungan kehidupan ini, sampai seterusnya dan seterusnya seterus-terusnya sampai kau bosan.” Joseph menjetikkan jarinya ke dahi Alice.
Gadis itu mengemban senyumnya yang paling indah. Untungnya, ia tidak pernah membenci matahari dan sengatan panasnya. Ia juga tidak bisa membenci kehangatan yang terpancar dari tubuh Joseph.